Crash Landing

7.1K 649 102
                                    

Tahan, Marly! Terus bernapas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tahan, Marly! Terus bernapas. Jangan buru-buru. Santai dulu!

Ibu ada di ruang tengah, menjahit kemeja Fahmi. Kacamata Ibu turun sampai ke hidung, tanda kalau Ibu benar-benar konsentrasi. Ibu nggak bakal memperhatikan hal lain selain bahan jahitannya. Aku punya dua pilihan; mengucapkan salam dengan risiko dapat ceramah atau langsung lari ke kamar pura-pura nggak lihat Ibu. Kalau ditanya, aku bisa pakai alasan jet lag. Ibu memang nggak mengerti apa itu jet lag. Nanti aku cari definisi yang bisa menyelamatkan nyawaku. Sekarang, tugasku cuma menghindari pertengkaran yang nggak perlu biar sampai kamar dengan selamat.

"Mbak? Ngapain?"

Fahmi sial! Kenapa sih dia lahir ke dunia jam dua belas malam? Sudah tahu aku lagi ngumpet dia pakai teriak segala.

"Apa Fahmi?" teriak Ibu kaget. "Marly sudah pulang? Mar? Marly?"

Kutendang tulang kering anak itu sambil merutukinya. Sadar akan kesalahannya, anak itu cuma nyengir dan membisikkan kata maaf.

Percuma!

Nah, kalau sudah begini, yang bisa kulakukan cuma mengeluarkan oleh-oleh dari tasku. Semoga Ibu tegoda untuk membahas tentang makanan ini, bukan kepergianku. Nggak berharap keajaiban cemilan keju ini bisa bikin Ibu lupa niatnya mengomeliku, sih. Nggak mungkin banget itu, sih.

"Marly! Kamu sudah pulang?" panggil Ibu lagi. "Mar! Ngapain di situ? Sini!"

Aku melotot pada Fahmi. "Tuh, lihat! Kamu, sih!"

Setelah perjalanan panjang puluhan jam dengan jalur transit di beberapa negara, aku pengin banget langsung masuk kamar dan menciumi bantal kesayanganku, bukannya menghadapi ceramah begini. Aku tahu, Ibu pasti bakal ngomel panjang lebar. Saat di Los Angeles kemarin Ibu sempat lihat wajah Steve di video call kami. Parahnya, waktu menerima video call Ibu, aku di kamar hotel. Ibu langsung menjerit kayak melihatku diperkosa. Jeritan Ibu itu hanya awal dari rentetan omelan. Setelah Steve pergi, Ibu merapalkan omelan sampai jam dua dini hari waktu LA. Itu juga aku yakin banget, kalau bukan karena masuk waktu salat asar, aku yakin Ibu nggak berhenti ngomel.

Setelah itu, Ibu menyuruhku cepat pulang. Berkali-kali Ibu mengirimiku WA yang nggak kubaca. Bukannya menurut, aku malah keluyuran seharian. Kapan lagi aku jalan-jalan ke Amerika? Jual seluruh organ dalamku saja mungkin nggak cukup untuk jalan-jalan ke sana lagi. Kesempatan nggak datang dua kali. Mumpung dibayarin sama Drey Syailendra, momen ini harus kumanfaatkan.

Semua itu sudah berlalu. Masa-masa indah kebebasanku sudah berakhir, sisanya cuma kepedihan. Semoga kupingku siap menghadapi semua ini ya, Allah.

"Iya, bu," kataku sambil mendekat pelan, persis seperti maling yang menyerahkan diri dengan terpaksa ke polisi. "Aku mau kasih Ibu kejutan, tapi Fahmi ember."

Ibu nggak ngomong apa-apa. Ini level paling bahaya. Kalau Ibu masih bisa ngomel, berarti kesalahanku masih bisa dimaafkan. Kalau sudah mode ngambek begini, berarti aku harus siap dikutuk jadi sapu, kawat jemuran, atau batu ginjal. Satu level di bawah Maling kundang.

The In-Between (Completed In STORIAL.CO)Where stories live. Discover now