Annoying Question

4.5K 518 119
                                    

Seharusnya aku mengambil cuti seminggu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seharusnya aku mengambil cuti seminggu. Saat mengisi blanko cuti kuperkirakan akan butuh waktu tambahan untuk mencuci baju dan bersantai setelah perjalanan panjang. Tapi, dengan kondisi Ibu yang terus membahas soal penikahan Fahmi, aku memilih masuk kerja lebih cepat. Kubawa baju-baju kotor ke laundry dan pergi sebelum sarapan, menghindari momen berkumpul bertiga yang bisa digunakan Ibu untuk mulai mempermalukanku lagi.

Sudah cukup kulihat tadi pagi Ibu menggerutu saat Fahmi makan kue-kue yang kubawa. "Dikira di sini nggak ada keju. Di warung Bu Nurul juga ada kalau cuma kue keju."

Nggak kudengarkan lagi bagaimana perdebatan Fahmi dan Ibu soal makanan itu. Aku juga kehilangan selera untuk memakannya. Kuraup kue banyak-banyak ke dalam tote bag besar untuk kubawa ke kantor. Ijah dan Pita yang selalu lapar setiap bekerja pasti lebih menghargai makanan ini.

"Mbak, nggak sama aku aja perginya," anya Fahmi yang masih mengunyah sisa-sisa kue di mulutnya.

Aku memasang pengait helm di dekat tali masker sambil menoleh padanya. "Entar pulangnya aku bakal lembur kayaknya. Nggak usah. Assalamuallaikum."

Sebelum Fahmi membalas salamku, aku sudah lebih dulu pergi. Sebenarnya, aku buru-buru karena mumpung Ibu masih di WC. Tadi aku cuma mengetuk pintu WC untuk pamitan sama Ibu, cara yang selalu ampuh untuk menghindar dari omelan pagi.

Sebenarnya, aku nggak suka bawa motor sendiri. Lebih enak duduk di busway atau ikut mobil Fahmi. Aku bisa tidur sepanjang jalan dan pasrah mau dibawa ke mana. Tapi, ikut mobil Fahmi berarti mengikuti jadwal pulang Fahmi juga. Rencanaku malam ini aku nggak pulang. Kalau nggak ada kerjaan, aku bisa ngepel atau mengecat ulang kantor. Apa saja deh asal bisa pulang setelah Ibu tidur, terus masuk kamar.

Kantor masih sepi waktu aku sampai. Pak Timo yang selalu membersihkan ruang kantor saja baru mulai bekerja. Dia tersenyum dan mengangguk padaku. Berbeda dengan OB lain yang suka ngobrol dan menyebar gosip, Pak Timo cenderung diam. Kegagapan menyelamatkannya dari banyak dosa mulut. Bukan gagap yang membuatnya malas bicara, tapi bullying yang dilakukan orang-orang di sini. Setiap berusaha ngomong, ada saja yang mengerjainya. Aku sempat melihat Pak Timo menutup mulut dengan ekspresi sedih waktu dibentak Pak Cahyadi. Walau manajer, Pak Cahyadi masih berumur tiga puluhan, belasan tahun lebih muda dari Pak Timo, nggak pantas rasanya membentak orang tua yang berusaha menyelesaikan kalimatnya.

"Orang memang begitu, kan, memperlakukan orang lain sesuai dengan derajat dan pangkatnya, bukan usia? Seharusnya dulu pelajaran PKN dan budi pekerti bukan hapalan, tapi praktik," kata Pita menanggapi amarah Ijah melihat Pak Timo diperlakukan seperti bocah.

Sejak itu, kami selalu memberi oleh-oleh lebih untuk Pak Timo. Bukan cuma oleh-oleh, sih, kadang kami patungan membelikan makan siang juga. Sebagai gantinya, kami menyuruh Pak Timo mengulang-ulang cerita seru tentang kenapa namanya berubah jadi Antimo.

"D-d-d-du-dulu... n-n-n-n-na-na-nama s-s-saya Pur-purnomo. T-t-t-tap-tap-tapi, k-k-k-k-ka-kar-kar-karena sa-sakit-s-s-s-sa-sa-sakit-an j-j-ja-jadi d-di-di-diganti."

The In-Between (Completed In STORIAL.CO)Where stories live. Discover now