Beautiful Sin

4.7K 515 81
                                    

"Buruan angkat, bego!" desis Pita di belakangku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Buruan angkat, bego!" desis Pita di belakangku. "Masa perlu gue ajarin cara angkat telepon?"

Apa memang harus kuangkat?

Entah karena bingung atau apa, yang kulakukan cuma memandangi layar HP sampai nada deringnya habis. Pelan, Ijah menarik HP itu dari tanganku. Barulah aku lihat kalau jariku gemetar.

"Easy... easy...," kata Ijah pelan seolah aku orang yang memakai rompi bom bunuh diri.

Ijah membuka galeri HP-ku. Pita ikut melihat di belakangnya. Waktu aku mau merebut HP itu, Pita mendorong kursiku sampai meluncur ke luar dari kubikel dan menabrak dinding. Aku meringis melihat Pak Adit yang kaget, lalu mengayuh kursi beroda dengan kaki kembali ke kubikelku.

"Kenyang banget mata lu dapat vitamin A di sana. Pantas emak lu nyuruh pulang. Kelamaan di sana, bisa hamil lu," ceplos Pita dengan tawa lebar. "Orang kaya emang cakep-cakep, ya. Beberapa gue pernah lihat di Instagram." Dia menggeleng kagum sambil menarik HP dari tangan Ijah tanpa memedulikan protes dan pukulan Ijah di pantatnya.

"Hamil apanya? Mereka semua punya istri, tahu!"

"Eh, jangan salah!" Pita mengangkat telunjuknya. "Ada yang bilang berenang saja bisa hamil. Kalau sama orang ganteng, lihat-lihatan aja bisa hamil. Spermanya dikirim lewat mata." Dia berkedip cepat setelah menyibakkan poni lemparnya.

"Lu kebanyakan makan hoax corona," gerutu Ijah yang mengayuh kursinya mendekat padaku. "Lu bilang semua sudah ada istrinya, terus Steve itu?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng, menarik napas dalam, kuembuskan pelan, menggeleng lagi, menarik napas dalam, dan kuembuskan panjang lagi. Sebelum aku mengulangnya, Ijah lebih dulu menjepit hidungku.

"Jawabnya nggak usah pakai napas."

"Aku nggak tahu gimana statusnya. Dia itu--"

HP-ku berdering lagi. Kali ini, Pita mengarahkan layarnya padaku. "Dia sudah telepon lu dua kali dari Amerika atau belahan bumi mana gue nggak tahu. Gue yakin ini bukan telepon basa-basi anak SMA. Ini pasti urusan penting."

Dengan layar HP tetap menghadap ke arahku, Pita menekan tombol hijau. Panggilanku tersambung setelah jeda loading beberapa detik.

Steve tersenyum di layar HP. Dia memakai jas kelabu dan dasi bergaris yang bagus. Dandanannya terlihat resmi. Mungkin dia sedang bekerja. Di belakangnya terlihat bagian punggung kursi kulit di dalam mobil. Rambut keritingnya ditata ke belakang memperlihatkan dahinya yang lebar dan licin. Fifi pernah bilang padaku kalau orang bisa main bola di dahi Steve. Dahi itu membuatnya terlihat seperti seorang pemikir, orang yang sangat cerdas.

"Hai, Marly! Semoga aku tidak mengganggumu," katanya dengan bahasa Indonesia yang logat bulenya kental, nggak seperti kakak ipar dan suami Glacie yang memang lama di Indonesia.

"Uhm... Ng-nggak, kok. A-aku baru..."

Aduh... aku baru ngapain?

Ijah memeragakan takbiratul ihram.

The In-Between (Completed In STORIAL.CO)Where stories live. Discover now