ASIH

472 4 0
                                    


Asih namanya. Perempuan 40 tahun yang sedang duduk di depan meja jahitnya. Pekerjaan yang sudah ia tekuni sepanjang separuh usianya. Kalau orang melihatnya sedang menjahit, pasti mereka akan berpikir bahwa Asih saat menjahit, ibarat orang yang sudah terbiasa mengetik setiap hari. Tidak perlu pakai berpikir, tangan dan jemarinya sudah bergerak secara otomatis. Tapi kalau orang lain tahu, di balik semua hal yang sudah berjalan otomatis itu,  sesungguhnya begitu banyak hal yang ada di pikiran Asih saat menjahit. Terlebih satu bulan terakhir ini.  Setiap kali waktunya untuk menjahit telah selesai, Asih merasakan nyeri di tengkuk, bahu dan punggung yang teramat sangat saat meluruskan tubuh, bangkit dari kursi jahitnya. Jantungnya berdebar dan kadang disertai dengan keringat dingin.
Keluar dari pintu modiste kecil yang terletak di bagian depan rumah, berjalan menyusuri halaman depan, dan membuka pintu rumah, menjadi hal yang paling tidak ia inginkan. Rumah itu sudah tidak lagi serupa rumah baginya. Rumah itu adalah tempat dimana Asih selalu merasa diteror, disakiti, diabaikan. Sebenarnya kondisi rumah seperti itu sudah dirasakannya bertahun-tahun. 15 tahun perlakuan buruk suami terhadapnya sudah membuatnya mati rasa. Pernah 5 tahun yang lalu ia kabur, melaporkan ke kantor polisi hasil kekerasan suaminya. Ia merasa sudah tak kuat lagi, karena pukulan  begitu keras di bagian kepala yang menyisakan nyeri kepala berhari-hari. Saat itu Asih berpikir, suaminya boleh menyakitinya, tapi jika siksaannya dapat membuatnya lumpuh, atau tidak waras lagi otaknya, maka ia harus menghentikaannya. Ia takut jika ia tidak lagi mampu mengurus kedua anak yang masih membutuhkannya.  Dia tahu betul, suaminya tak akan mampu mengasuh anak-anak tanpanya. Kala itu, Asih memberanikan diri mengajukan cerai ke pengadilan, namun sang suami dengan kuat berjanji akan merubah diri. Hati asih yang pengasihpun luluh, mencoba memaafkan dan menunggu kebaikan suaminya.
Semenjak kejadian itu, sang suami memang tidak pernah menyakitinya lagi secara fisik, namun dingin dan keras hatinya tak pernah berubah. Ejekan, caci maki, ancaman, dan benda-benda yang rusak karena pelampiasan amarahnya tetap saja ada. Kemana Asih bisa mengadukan semua itu? Tak ada. Suaminya selalu bersikap baik pada tetangga dan teman-temannya. Mereka tak akan percaya apa yang sesunggunya ada di dalam rumahnya. Keluarga suami tahu, namun justru selalu berujung  menyalahkan Asih karena dianggap tak mampu menyenangkan hati suami. Ia sendiri hanya dua bersaudara, kakaknya punya cobaan tersendiri yang tak kalah berat, sementara kedua orang tua mereka sudah meninggal dunia.
Asih  cukup dapat merasakan bahagia sejenak ketika  satu tahun yang lalu ia mengenal seorang laki-laki yang menaruh perhatian terhadapnya.  Mereka sama-sama tergabung di perkumpulan wirausahawan lokal.  Pertemuan bersama sesama pengusaha, obrolan di whatsapp group, berlanjut menjadi obrolan dua orang antara Asih dan laki-laki itu. Obrolan yang semula hanya seputar usaha, atau sekedar sapaan basa basi, lama kelamaan berubah menjadi obrolan yang memasuki ranah pribadi. Asih merasa begitu nyaman, sehingga segala beban yang selama ini ia rasakan dalam kehidupannya bisa ia curahkan pada laki-laki itu. Asih merasa diterima, Asih merasa disayangi, Asih merasa diperhatikan. Kasihpun tumbuh dalam hati Asih terhadap laki-laki itu. Mereka semakin melekat, semakin merasa saling memiliki, meskipun mereka tak menamai apa bentuk hubungan mereka itu.
Sayangnya kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Satu bulan yang lalu sang suami mendapati percakapan mesra Asih dengan laki-laki itu. Saat moment itu datang, Asih sudah bersiap jika tubuhnya harus lebam-lebam merasakan kesakitan lagi oleh tangan suaminya, namun  ternyata sikap yang muncul justru diluar dugaan Asih. Ia tidak dipukul, tidak ditendang, tapi kebebasannya direnggut. Segala hal menjadi selalu tampak salah dimata suami, berujung pada bentakan, cacian, atau ancaman akan menjauhkan Asih dari anak-anak mereka.  Gerak gerik Asih selalu dicurigai, segala koneksi di handphone dipantau, berpergian selalu diantar oleh suami. Pelanggan modiste, jika berjenis kelamin laki-lakipun tak lepas dari tatapan curiga sang suami. Asih pernah berkata “Kamu tahu aku bersalah, aku selingkuh, ceraikan saja aku!”, namun suaminya tak bergeming.  Mungkin suaminya paham bahwa pergi dari rumah membawa anak-anak adalah satu-satunya impiannya, dan memenjarakan Asih di rumahnya sendiri adalah bentuk hukuman yang paling pantas Asih terima.

Dua ArahWhere stories live. Discover now