TERLUKA BERSAMA

190 4 0
                                    

PRAM
Sudah apotek ke-3 yang Pram datangi, obat-obat itu belum berhasil ia dapatkan. Memang tidak semua apotek menjual obat yg sedang ia cari. Apalagi di kota kecil seperti kampung halamannya ini. Pram mendapatkan resep itu seminggu yang lalu, dari seorang kawannya yang kebetulan seorang dokter. Semula ia merasa tidak memerlukan obat itu, namun 2 malam tak bisa tidur sama sekali membuat tubuh dan pikirannya terasa semakin tak karuan. Ia butuh bantuan untuk bisa tidur.

Tak berhasil mendapatkan obat, akhirnya Pram menghentikan motornya di depan sebuah warung kaki lima. Perutnya lapar setelah seharian tak satupun makanan yang dihidangkan di rumah ia sentuh. Dipesannya satu gelas teh hangat, dihisapnya sebatang rokok sambil menunggu pesanan makanannya matang, lalu dilihatnya jam tangan menunjukkan pukul 9 malam. Pram belum ingin pulang. Masih kurang malam untuk memastikan Dira, istrinya, sudah terlelap saat dia datang.

DIRA
Dira hanya bisa memendam rasa sedih dan kecewanya dalam hati melihat lagi-lagi Pram tak menyentuh satupun makanan dan yang disajikannya. Bahkan suaminya itu lebih memilih minum air putih, daripada meminum kopi hitam favoritnya yang sudah disiapkan Dira seperti biasanya setiap pagi. Entahlah suaminya makan dimana. Pram selalu tampak menghindar jika Dira berusaha untuk mengajak bicara. Ia hanya mau menjawab jika Dira bertanya hal tentang anak-anak, itupun dengan kalimat-kalimat pendek seperlunya.

Semula Dira berusaha bersabar menghadapi sikap suaminya. Dira paham, ia melakukan kesalahan. Tapi kesabaran Dira lama-lama menipis, sudah dua minggu sikap suaminya ini tak kunjung berubah. Pram yang biasanya cuek, menjadi semakin cuek. Yang lebih buruk, Dira tak tahu apa yang Pram kehendaki. Sampai kapan akan seperti ini?

Akhirnya kemarin lusa Dira memberanikan diri meminta kejelasan.
"Mas, sampai kapan kamu mau ndiemin aku kayak gini? Jelasin maunya mas kaya gimana jangan diam terus!Kalau mas masih mau nerima aku, maafin aku, bimbing aku biar jadi istri yang baik. Tapi aku butuh perhatianmu. Kalau mas sudah tidak bisa nerima aku, aku udah siap kalau mas ceraikan aku"
Tanggapan Pram justru membuat Dira semakin kesal. Ia hanya menjawab "aku belum bisa bahas" lalu pergi entah kemana hingga larut malam..

PRAM
Pram masih merasa tak karuan, tapi harus tetap berangkat bekerja. Di meja kerjanya ia terdiam sesaat. Rasanya berat menyentuh pekerjaannya. Pram menghela nafas, membuka beberapa chat Whatsapp yang masuk. Ia buka chat pertama, dari Ana. Ana rekan sekantor yang memahami masalah Pram, tapi belum lama ini pindah ke kantor cabang yang lain.
"Gimana kamu Pram?"
" Masih gini aja Na" jawab Pram singkat.
"Anak-anak?"
Membaca pertanyaan tentang anak-anak entah mengapa wajah Pram terasa memanas, matanya mulai berkaca-kaca. Pram, lelaki yang tampak kuat bagi siapapun yang melihatnya secara fisik, menitikkan air mata saat isi hatinya disentuh.
"Aku mikirin anak-anak terus Na. Aku takut kehilangan anak-anak"
"Kenapa?"
" Dira minta cerai kalau aku nggak maafin dia. Tapi aku udah nggak bisa Na...aku udah nggak bisa maafin. Ini udah bukan yang pertama kali. Dan kalau kamu tahu Na, nggak ada ekspresi bersalah di wajahnya waktu aku memergokinya bersama laki-laki itu. Aku udah muak lihat wajahnya"
"Sebenernya apa sih yang memicu Dira setega itu sama kamu?", tanya Ana kemudian.
"Nggak tau juga. Dia memang sering protes aku terlalu cuek sama dia. Dia butuh diperhatiin lah. Tapi nggak ngerti lagi aku bentuk perhatian macam apa yang dia mau. Tiap hari aku bantu dia urus anak-anak. Dia bahkan nggak becus ngurus anak. Suka nyari kesenengannya sendiri. Jujur aku nyuekin dia juga karena banyak sikap dia yang aku nggak suka"
" Terus rencanamu apa Pram?"
" Belum tahu. Masih belum bisa mikir jernih aku. Aku belum bisa..."

DIRA
Malam ini Pram kembali belum muncul hingga tengah malam. Dira menangis...kali ini bukan karena sedih, tapi karena marah. Ya, kesabarannya telah habis dan berubah jadi marah. Segala emosi yang terpendam pada Pram muncul di kepalanya. Semua keburukan Pram. Pram yang cuek, Pram yang jarang menyentuhnya, Pram yang tak pernah memperhatikan kebutuhan jasmani, kebutuhan batin maupun finansialnya, Pram yang selalu memprotes caranya mengurus anak di depan anak-anaknya, Pram yang tak pernah paham apa yang disukai dan dibencinya. "Aku tak perlu mencari sosok lain, jika bukan karena sikapmu mas! Dan sekarang kamu menghukumku seperti ini..", jerit Dira dalam hati

PRAM & DIRA
Sama-sama terluka...

Dua ArahWhere stories live. Discover now