Chapt.22| Buruk.

1.3K 97 5
                                    

Mohon maaf jika banyak typo😂

***

"Tolong keluarga pasien jangan panik terlebih dahulu. Kondisi pasien lebih buruk dari sebelumnya, tolong jangan membuat pasien kebanyakan berpikir, itu akan mengganggu kerja jantungnya." Dokter berkata demikian, Anya masih menangis di pelukan Ricko-ayah tiri Naufal.

"Apa maksud dokter menyembunyikan keadaan anak saya yang sebenarnya?" Ricko bertanya seolah dia tenang, perasaannya tak apa, padahal sebaliknya.

Sekarang mereka berada di luar ruangan Naufal.

"Itu semua di luar yang saya bayangkan, waktu itu pasien sangat sulit jika di suruh meminum obat, hingga saya memberi tahu keadaan dia, dia sempat diam beberapa saat, tapi setelahnya dia meminta saya untuk berjanji tidak memberi tahu siapa pun, dan dia akan minum obat tanpa harus di paksa." Dokter menjelaskan semuanya agar tidak salah paham.

"Saya percaya, dan membuat janji dengan dia, tapi saya tidak berfikir bahwa dia malah membuang semua obatnya. Saya mohon maaf atas kebodohan saya." Dokter tulus meminta maaf, terlihat dari raut wajahnya yang terlihat menyesal.

"Harusnya dokter kasih tau saya. Saya ibunya dok, dokter harusnya kasih tau saya." Anya menarik-narik jas yang dokter kenakan. Dia terus meracau sambil menangis.

"Tolong jangan biarkan pasien memikirkan terlalu banyak masalah. Usahakan untuk menghibur dia dan memotivasi dia untuk sembuh. Saya permisi." Kata sang dokter kemudian meninggalkan mereka semua, diikuti perawat di belakangnya.

"Mas, Naufal mas. Aku nggak mau kehilangan Naufal." Anya masih terus meracau.

Alana yang melihat itu merasa bersalah. Apa ini gara-gara dia? Apa dia membuat Naufal memikirkan banyak hal?

Dokter juga berkata bahwa kardiomiopati Naufal semakin parah dan jika di biarkan tanpa adanya pengobatan dan terapi, itu akan menjadi semakin parah, dan merambat menjadi gagal jantung. Hal itu terus berputar di kepala Alana, sungguh. Alana tidak ingin kehilangan Naufal.

Ricko mengajak Anya pergi, untuk menenangkan Anya yang sedari tadi menangis tanpa henti. Sedangkan Alana, setelah kepergian Anya dan Ricko, dia memutar knop pintu, dan kembali masuk ke dalam ruangan Naufal.

"Kak.." Alana berkata lirih setelah melihat ternyata Naufal sudah sadar.

"Kakak makan dulu ya, abis itu harus minum obat."  Alana mengambil makanan yang disediakan, lalu menarik kursi dan duduk di sana.

Alana mengaduk makanan tersebut, lalu menyendok, dan menyodorkan sendok rersebut ke mulut Naufal yang di terima tanpa penolakan.

"Gue jahat banget ya. Gue maksa lo buat jadi pacar gue, tapi ternyata gue malah penyakitan kaya gini." Ucap Naufal tanpa menatap Alana.

"Lo inget, waktu gue ngomong gue tau semua tentang lo? Itu karena gue tau lo adeknya Ryan. Awalnya gue nggak tau, tapi setelah gue stalking instagram lo, gue liat foto keluarga lo, dan di situ gue tau kalau lo itu Alana adeknya Ryan yang dulu selalu nangis minta ikut setiap Ryan mau main bola sama gue."

"Lo pasti nggak inget, karena gue nggak pernah ngomong sama lo, begitupun sebaliknya. Tapi lo harus tau, gue udah merhatiin lo dari dulu, karena rumah kita masih satu komplek dulu, dan gue sering banget tanya-tanya lo sama Ryan." Lanjut Naufal

Alana yang sedang mengaduk-aduk makanan pun terhenti, benarkah dia anak yang sering melihat dirinya setiap kali mereka bertemu? Dulu Alana masih kecil, dan tidak tahu apa arti tatapan Naufal. Hal itu terjadi sebelum orang tua Alana dan Ryan mengalami kecelakaan.

"Jadi itu alasan kakak jadiin aku  pacar kakak waktu itu?"

"Iya, karena gue udah suka sama lo dari kecil. Tapi karena waktu itu gue nggak tau yang namanya suka-suka an, gue cuma nganggep perasaan gue waktu itu sebagai perasaan ingin berteman. Bukan rasa suka." Jawab Naufal.

"Tapi sekarang gue nyesel. Gue sayang sama lo, tapi gue buat lo harus jadi pacar orang penyakitan kaya gue. Lo udah tau kan keadaan gue sekarang. Mungkin hidup gue nggak bakal lama lagi, lo mau nggak ngabulin satu permintaan gue?" Lanjut Naufal.

Alana hanya mendengarkan, meski dalam hati dia merasa sedih, dia merasa takut untuk kehilangan Naufal. Alana terus mengaduk makanan yang dia pegang.

"Boleh nggak gue egois untuk yang terakhir kali? Gue mau lo di sini, di samping gue. Nemenin gue sampe takdir gue dateng. Entah itu gue bakalan mati atau sembuh, gue pengen lo ada di samping gue saat terakhir gue ada di dunia." Naufal berkata demikian dengan ekspresi datar, bahkan tidak memandang Alana, namun Alana merasa dengan jelas, bahwa kalimat tersebut adalah kalimat penuh harapan, dan tak ingin siapapun kecewa.

"Kakak minum obatnya ya. Biar aku siapin." Alana bukannya tidak menghiraukan apa yang Naufal katakan, namun sekarang dia benar-benar sudah tak bisa membendung air mata yang mendesak keluar.

Alana bangkit, membuka laci nakas, lalu mengambil obat yang tersimpan di dalam sana dengan gemetar.

"Gue tau lo bakal nolak, orang bodoh mana yang mau nemenin orang yang udah sekarat kaya gue." Naufal tertawa penuh kesedihan di akhir kalimatnya, sungguh rasanya Alana ingin memeluk dia, namun Alana takut.

"Ini obatnya kak, aku permisi."

Namun saat Alana hendak pergi, Naufal menahan lengan Alana, dan saat Alana menoleh, tatapan mereka bertemu, Alana dapat melihat air mata mengalir dari pelupuk mata Naufal, begitu pula Naufal, dia bisa melihat wajah merah Alana yang menahan tangis.

"Sakit Al, gue nggak tahan. Gue nggak tahan harus pake semua alat-alat ini"

Keadaan Naufal yang semakin memburuk, membuat dokter harus memasang selang untuk pernapasan Naufal, juga infus yang tak pernah ketinggalan. Miris sekali jika kalian melihat langsung.

"Kakak nggak usah minta aku buat nemenin kakak.."

"Karena tanpa di minta pun, aku akan selalu ada buat kakak. Kakak harus kuat, kakak harus sembuh. Demi aku, demi Mama, papa, sama Maura. Juga demi semua orang yang sayang sama kakak." Air mata Alana keluar tanpa halangan.

Naufal langsung menarik lengan yang ada di genggaman nya dan memeluk gadis cantik yang berstatus kekasihnya. Mereka menangis bersama, dalam ruangan penuh warna putih, dalam keheningan siang itu. Mereka mengeluarkan segala keluhan dengan tangisan pilu.

***

Esok hari

Gadis cantik itu mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk lewat tirai jendela.
Suster datang membawa sarapan dan membuka tirai jendela.

"Mbak udah bangun? Ini sarapan buat mas nya, dan ini obat nya. Tolong nanti di berikan jika pasien sudah bangun." Kata sang suster.

"Baik sus, terima kasih." Balas Alana.

Alana ingat kenapa dirinya bisa terbangun di ruangan Naufal. Karena kemarin malam Naufal mengeluh sakit kepala, dan tidak mengijinkan Alana untuk pulang. Anya dan Ricko tak bisa terus-terus an meninggalkan pekerjaan dan juga Maura. Sedangkan Alana, hari ini seharusnya dia berangkat sekolah, tapi mengingat Naufal yang ingin Alana tetap di sini, akhirnya Alana kesiangan dan tidak bisa berangkat sekolah. Baiklah, tak baik menyalahkan orang yang sedang sakit.

Tak lama  setelahnya, Naufal bangun, kemudian mendapati Alana sedang menyiapkan sarapan, membuat Naufal tersenyum.

"Kakak udah bangun? Tadi suster anter makanan, kakak mau makan sekarang?" Alana bertanya dengan sangat lembut.

"Gue mau makan lo aja boleh?" Ya, Naufal mulai mengigau, sepertinya.

"Nggak lucu." Itulah yang Alana ucapkan, tapi sebenarnya dia tersenyum malu namun di sembunyikan.

Hari ini mereka habiskan dengan mengobrol dan tertawa, sesekali Naufal mengeluh mengantuk, namun tak kunjung tertidur.

Ya, mereka sudah kembali seperti semula, saling mencintai dan memberi dukungan. Semoga selanjutnya menjadi lebih baik. Semuanya.





Tbc.

***

Huaaaa dua chapter lagi menuju ending😭

Vote komen ya dears💜

Terima kasih💜

ALANAWhere stories live. Discover now