Part 2 Determinasi

569 110 25
                                    

[...dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan]

Natasha tidak begitu senang dengan kondisi malam ini. Ia belum menemukan air untuk minum. Lubang kondensasi yang ia buat di dalam tanah tidak menghasilkan tetesan air dengan cepat, sementara ia sudah kehausan. Salju tebal di sekitarnya juga bukanlah sumber air minum yang aman karena tidak higienis. Ia mengumpulkan semua barang bawaan dan terus melangkah makin jauh ke dalam malam. Berusaha mencari sungai atau mata air sekecil apapun.

Parka yang ia kenakan terbilang tebal, meskipun ia sama sekali tidak merasa kedinginan. Kulit Oestrov memang tahan terhadap suhu ekstrim, tapi parka buatan ibunya itu adalah satu-satunya benda yang memberinya semangat. Bulan berbintik di langit menerangi langkah tegas Natasha pada sebuah sebuah bukit curam, tubuhnya yang punya gen setengah Oestrov mengeluarkan tenaga melebihi manusia biasa. Berkilo-kilometer tanjakan sanggup ia jalani meskipun membawa banyak barang. Dalam perjalanan, Natasha menyadari sesuatu, kulitnya sekarang lebih sering berpendar kebiruan dibanding sebelumnya. Ia juga merasakan ada bau aneh keluar dari tubuhnya.

Natasha mendekati bebatuan besar di dekat puncak. Batu-batu itu terlihat agak lembap, dan di dasarnya ditumbuhi lumut. Ia menggunakan tangannya yang sangat keras untuk menggali salju tipis dan tanah di dekat bebatuan itu. Benar saja, ia menemukan mata air. Meskipun pinggirannya sudah mulai membeku, ada aliran yang terus keluar dari bagian dalam bebatuan itu, karena temperatur di dalamnya lebih hangat.

Ia menggali lubang yang lebih besar, membuat jalan untuk aliran air yang lebih deras. Natasha, menyiapkan botol untuk menampung air. Ia juga mengambil sampah botol plastik yang berserakan di sekitar bukit, mencucinya sampai dirasanya benar-benar bersih dan menampung air jernih yang keluar dari bebatuan itu. Kira-kira tiga puluh liter air bisa ia bawa pulang.

Ia tidak menetap di sekitar bebatuan tadi karena terlalu curam untuk mendirikan tenda, maka ia akhirnya menuruni bukit, berjalan cepat dan mencari daerah yang lebih datar. Dua menit berjalan Natasha menemukan satu tempat yang cukup datar untuk berbaring. Ia meletakkan semua barang bawaannya dan mulai membuat tempat tinggal darurat dari barang-barang rongsokan di sekitarnya. Di dekatnya ada rumah kecil yang dulunya digunakan sebagai tempat singgah para penjelajah hutan, tetapi atap dan dindingnya sudah rusak parah. Natasha mengambil besi-besi dari bangunan itu dan memotongnya menjadi lebih pendek. Ia hendak membuat tenda kecil dari rangka itu, tetapi belum menemukan plastik atau kain untuk melengkapinyya menjadi tenda sungguhan.

Natasha berkeliling di sekitar area datar itu dan mencari lembaran plastik atau kain yang cukup besar. Atau jika tidak beruntung, ia berniat menyambungkan kantong-kantong plastik kecil menjadi satu. Beberapa menit berkeliling, yang Natasha temukan hanyalah potongan kantong plastik rapuh yang mudah robek karena pengaruh cuaca.

Saat Natasha bergerak ke arah Barat dan menuruni lereng curam, dari kejauhan ia melihat satu perahu karet berwarna oranye tertelungkup di dekat jurang. Entah bagaimana sebuah perahu karet bisa ada di tempat seperti itu, tapi Natasha bisa menebak bahwa di tempat ini dulunya ada sungai karena banyak tulang ikan berserakan, juga tulang belulang manusia. Di situ juga banyak berserakan gaun pengantin berwarna putih. Hal itu membuat Natasha merasa tidak nyaman. Tak ingin berlama-lama, ia membuang semua plastik di tangannya dan segera menyeret perahu karet tadi keluar dari tempat itu.

"Ini akan jadi tenda yang bagus."

Tak butuh waktu lama bagi Natasha untuk membuat tenda darurat. Ia merobek perahu karet tadi dan mengubahnya menjadi atap. Ujung tiap rangka besi sudah tertancap kuat ke dalam tanah, dan bagian-bagian perahu karet sudah terpasang kuat pada rangka. Tenda itu pasti sanggup menahan angin kencang. Ia juga membuat semacam tungku dari kaleng besi rongsokan.

Sekitar dua liter air yang sudah terkumpul ia didihkan. Natasha meminumnya saat suhunya lebih dingin. Ia memperhatikan air itu dengan saksama, jernih dan tidak berbau. Natasha pun segera meminumnya. Kaget dengan rasanya, ia langsung memuntahkannya.

MINDFRAME [ONGOING]Where stories live. Discover now