Skizofrenia

17 3 0
                                    

~•~

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

~•~

Terhitung sudah tiga psikolog yang datang ke apartemen milikku. Ibu bilang, kali ini dia merupakan seorang psikolog berpengalaman yang akan membantuku sembuh dari penyakitku; Skizofrenia. Penyakit ini merupakan penyakit yang menyebabkan pengidapnya sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan. Katanya sih, penyakit ini diakibatkan karena masa lalu yang membuat trauma. Hanya saja aku tak berpikir bahwa aku mengidap penyakit itu karena aku baik-baik saja.

Aku sehat, sudah berulang kali aku mengatakan itu pada ibuku. Tapi, wanita kulot dengan lingkaran hitam di sekitaran matanya yang diakibatkan karena tak bisa tidur itu malah menatapku dengan tatapan sendu sembari mengatakan bahwa aku harus menuruti perkataannya. Jadi sembari menghela napas, aku mengiyakan saja perkataan yang dia ucapkan. Aku juga tidak mau ambil pusing akan masalah ini. Tidak apa-apa, toh yang menghabiskan uang untuk membayar psikolog itu adalah ibu.

Hari ini hari libur, aku bahkan tidak tahu bahwa psikolog itu akan meluangkan waktunya untuk datang mengunjungi pasien di hari libur begini. Tapi, lagi. Aku hanya pasrah dan kembali menghela napas. Tidak menghabiskan waktu bersama dengan pacarku satu hari saja tidak apa-apa, bukan?

Aku terdiam sembari menunggu sang psikolog yang katanya sudah membuat janji denganku pada pukul sepuluh pagi, tapi sekarang bahkan sudah lewat tiga puluh menit. Menghela napas lagi, aku mulai merasa kesal karena sudah mempersiapkan diri sejak jam tujuh pagi. Kalau tahu begini, lebih baik aku bersantai saja dulu. TV yang menampilkan acara kartun di pagi minggu masih menyala, teh yang aku buat sebagai sambutan sang tamu sudah dingin, begitu pula kue kering yang tadi pagi aku buat khusus untuknya.

Beberapa menit setelah menggerutu, suara ketukan pintu terdengar. Aku langsung beranjak dan berlari bahkan nyaris melompat kegirangan untuk menyambut sosok itu. Setelah membuka pintu, aku menemukan seorang gadis cantik dengan rambut sebahu yang membuat wajahnya terlihat bulat dan imut. Dia melambaikan tangannya sembari tersenyum, aku yang tadinya tertegun karena kecantikan gadis itu langsung membalas dan membiarkannya masuk.

"Kau sendirian?" tanya gadis itu.

"Aku tinggal bersama dengan pacarku," jawabku tersenyum lebar.

Gadis itu terlihat menelisik seisi ruangan. Gelagatnya sudah bisa aku baca, sebab dia sama seperti kedua psikolog yang pernah datang ke apartemenku. Gadis itu lantas mengeluarkan buku catatannya, namun kali ini kedua matanya terlihat lembut menatapku. Dia ini seorang profesional yang berbeda dari psikolog lainnya, pikirku.

"Siapa nama pacarmu?" tanya gadis itu lagi.

Memperbaiki posisi duduk, aku lantas berdehem pelan. "Alexander," jawabku.

"Dari namanya saja aku yakin kalau dia itu seseorang yang tampan," ujarnya lagi, kali ini mimik wajahnya terlihat antusias. "Apakah dia akan kembali dalam waktu dekat? Aku ingin bertemu dengannya,"

Pertanyaan yang tadi dia ajukan seketika membuatku panik. Payah. Gadis ini tak boleh bertemu dengan pacarku. "Tidak, dia tidak akan kembali hari ini. Dia sibuk," jawabku.

"Benarkah? Sayang sekali," ujarnya, pun menghela napas. "Bagaimana kalau besok? Atau kalau kau mau, kau bisa menghubungiku kalau semisalnya dia ada waktu luang." lanjutnya.

Tanpa sadar aku malah menelan ludah susah payah dengan keringat yang sudah menetes melewati pelipis. "I-iya, ide yang bagus." ujarku, pun teringat akan teh yang tadi aku siapkan. "Minumlah dulu tehnya, aku juga sudah menyiapkan kue kering untukmu."

Gadis itu tersenyum menimpali ucapanku, pun mengangguk dan meraih gelas berisi teh itu. Aku yang memperhatikannya hanya diam sembari bergumam di dalam hati agar obat tidur yang aku letakkan di dalam teh bisa segera bekerja. Masih memperhatikan sosok itu lekat, aku kemudian tersenyum lebar saat gadis itu mulai menggelengkan kepala dengan tubuh yang terlihat tak nyaman duduk di tempatnya. Hingga beberapa menit setelahnya, tubuh itu benar-benar terjatuh dan aku nyaris tertawa keras.

Setelah memastikan kalau dia sudah tak sadarkan diri, aku menarik tubuhnya ke dalam salah satu ruangan di mana Alexander (pacarku) berada. Pemuda itu terlihat tersenyum manis dengan dua tubuh dari psikolog yang kemarin ibu datangkan ke apartemenku. Di dalam hati, aku merasa begitu bahagia karena Alexander sekarang tak lagi menangis karena takut sendirian di ruangan itu. Matanya dengan manik sebiru lautan itu menatapku dan bergumam tak jelas. Meskipun begitu aku tahu bahwa dia sedang menatapku penuh cinta dan rasa terima kasih yang begitu besar.

Highlight News
Pemuda yang dinyatakan hilang selama setahun oleh pihak keluarga telah ditemukan di sebuah apartemen milik seorang gadis. Di dalam ruangan itu juga ditemukan ketiga psikolog yang juga menghilang beberapa bulan terakhir. Keempat korban masih dalam keadaan hidup, tapi saraf tubuh mereka tak bisa digerakkan. Para tetangga si pelaku tidak menyangka dengan penemuan ini, karena pelaku dikenal sangat baik dan juga ramah.

"Kenapa kau melakukannya?"

"Karena Ibu selalu mengatakan padaku bahwa aku mengidap skizofrenia hanya karena aku mengatakan bahwa aku punya pacar bernama Alexander, jadi saat itu aku menculiknya dan kusembunyikan di dalam rumahku. Hanya saja Ibu semakin tak percaya dan malah menyuruh psikolog untuk mengobatiku, jadinya kubuat psikolog itu yakin bahwa aku tidak mengidap skizofrenia dan membiarkan mereka menemani Alexander."

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now