See You To The Hell

41 6 0
                                    

Aku tidak tahu apa yang terjadi saat ini, bahkan aku tidak pernah ingat kapan terakhir aku bisa tersenyum begitu lebar seperti sekarang. Jantungku berdetak begitu kencang, seperti ada jutaan kupu-kupu yang siap aku muntahkan. Rasanya ingin menari-nari, tertawa terbahak-bahak, lalu merayakan keberhasilanku dengan sebuah pesta. Tapi tidak, aku tidak punya teman lagi untuk merayakan sebuah pesta. Aku lantas menarik napas, wajahku tak sumringah lagi saat mengingat bahwa temanku masih berada di dalam lemari.

Dalam hitungan menit, kepalaku sudah kembali terdongak menatap bagaimana orang-orang di ruangan ini terlihat sibuk kesana-kemari. Setelah kedatanganku, mereka jadi terlihat lucu dengan wajah kacau itu. Apa ceritaku semenarik itu sampai mereka jadi heboh begini? Senang rasanya, sampai-sampai aku menarik napas begitu dalam kemudian mengulas senyum. Lantas setelahnya, aku menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang sebenarnya tak senyaman kursi belajarku--tempat favorit di mana aku menyiapkan hari besar seperti sekarang.

"Kau tidak sedang bercanda, 'kan?" Kalau dihitung, pertanyaan itu sudah keluar lebih dari belasan kali dari ceruk bibir hitam itu. Aku tebak, dia pasti pecandu rokok.

Aku mendengus, lalu melipat kakiku. "Kalau tidak percaya, kau bisa lihat sendiri ke rumahku."

Setelah aku mengatakan itu, dia (lelaki itu) kembali berdiri dengan ponsel menempel pada telinga sementara dia nampak berkacak pinggang bersama raut wajah campur aduk yang membuat perutku terkocok. Aku, hampir tertawa terbahak-bahak karenanya. Pun detik ketika suara bising itu mendadak berhenti, aku kembali dibuat tersenyum lebar saat lelaki itu mengumpat begitu kencang di depan wajahku.

"Kau... kau benar-benar membunuh ayahmu?" Tanya lelaki itu, nada suaranya tak setinggi tadi sebab dari pandanganku terlihat dia sedang meredam amarahnya.

Aku tersenyum lagi, kemudian mengangguk. "Iya, aku membunuhnya dan aku menyimpannya di dalam lemari. Tapi aku tidak menyesal," wajah lelaki itu kini berubah, kedua manik hitam miliknya kini melebar. "Aku malah merasa puas," lanjutku.

"Kau apakan ayahmu?" Tanyanya lagi.

Aku mengedikkan bahu, lantas kembali menjawab. "Hanya menusukkan pisau ke tubuhnya setelah sesi bercinta kami," lalu aku terkekeh, "kau harusnya ada di sana untuk melihat wajah ayahku saat aku tusuk, itu benar-benar menyenangkan."

"Lalu kenapa kau mengakui kejahatanmu?" Lelaki itu menarik rambutnya, nampak frustasi sebelum akhirnya mendengus. "Maksudku, kenapa kau tidak lari?"

"Karena aku merasa bersalah pada ayahku," aku menekuk wajahku sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada suara yang dibuat seolah sedang sedih. "Aku bilang padanya untuk berhenti menyiksaku, tapi dia tidak mendengar. Jadi... ya, sudah. Aku bunuh saja,"

Aku menarik napas lagi, setelahnya menatap langit-langit kantor polisi yang nampak tak terurus ini. "See you to the hell, Honey."

Setelah bergumam sebentar, aku kembali menatap pantulan wajahku pada kaca di sebelah kanan tubuhku. Di sana, aku melihat seseorang yang tengah tersenyum lebar. Di sudut bibirnya nampak biru, yang sebenarnya hampir mendekati ungu. Di sudut matanya juga sama, tak jauh berbeda. Lalu jika aku membuka baju, akan banyak sekali warna-warni yang membekas pada epidermis. Dan ya, orang itu adalah aku.

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now