Chapter 1. Sita, Sang Putri Angkat

13 3 2
                                    


"Kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku juga,
maka aku akan berusaha membuat kalian selalu berbahagia."
(Sita)

Dering handphone merek Vivo Y20s bergema di ruang tidur milik Sita yang sudah ditempati selama sepuluh tahun terakhir. Ruangan ini tampak tidak pernah dirapikan karena beberapa barang tergeletak tak berdaya di tempat yang tidak semestinya. Baju kaos tergeletak diranjang, handuk tersampir di kursi belajar, beberapa buku tergeletak begitu saja di lantai.

Suasana ruang tidur ini hening seolah-olah menandakan tidak ada penghuni. Sekali lagi dering handphone terdengar dan kali ini hanya berbunyi sekali saja. Sepertinya si penelepon sudah menyerah.

Terdengar suara langkah kaki cepat yang berasal dari balkon. Lebih tepatnya berlari dengan tergopoh- gopoh. Napasnya memburu dan dobok yang dikenakan penuh keringat.

Gadis tomboy ini segera meraih handphone dengan casing jagoan favoritnya, wonder woman. Ia segera menelepon kembali nomor tadi dan beberapa menit kemudian hubungan tersambung. Sita berusaha mengatur napasnya.

"Haloo ...," sapanya ramah, "maaf ya."

"Kamu darimana saja sih, Ta? Aku udah menelepon berkali-kali tapi dicuekin. Emang enak dicuekin," rungut Ana yang berada di saluran seberang.

"Maaf, Say. Tadi aku lagi latihan. Ada apa? Bukannya hari ini kta tidak ada kegiatan, 'kan?" tanya Sita sambil berusaha mengingat-ingat janjinya.

"Ada acara mendadak nih, Ta. Kakak Lina sudah pulang. Itu tuh yang aku incar sebelum dia berangkat ke Jakarta. Masih ingat ngak?"
lagi ke rumah Lina. Terakhir saat merayakan uang tahun Lina dua tahun yang lalu. Setelah itu mereka sibuk dengan kegiatan bimbel dan pelaksanaan ujian akhir. Benar-benar sangat melelahkan dan Sita tidak punya keinginan untuk bersenang- senang sebelum semuanya selesai.

Kini sudah hampir seminggu kegiatannya hanya menunggu pengumuman dan terus latihan taekwondo bersama kakak angkatnya, Tyo. Tidak lama lagi akan ada pertandingan dan Sita ingin ambil bagian. Secara dia belum pernah memenangkan pertandingan apa pun karena ilmunya masih kurang.

Padahal jika Sita mau belajar, Tyo pasti bersedia untuk mengajarkan teknik yang tepat padanya. Itulah Sita, gadis berusia delapan belas tahun yang tidak perlu membuktikan apa pun pada orang lain.

Baginya mempunyai ilmu beladiri saja sudah cukup. Tidak perlu mengembangkan bakat atau menunjukkan kepada orang lain. Pikirannya sangat sederhana karena ia hanya ingin hidup tenang dan membalas kebaikan orangtua angkatnya.

"Aku tidak bisa berjanji ya, Na. Sepertinya minggu ini aku sibuk buat persiapan untuk pertandingan bulan depan. Waktunya sangat mepet, Na," terang Sita dengan nada rendah. Tidak tterdengar jawaban dari seberang dan Sita merasa sahabatnya ini sedang sedih.

"Na, kamu masih di sana, 'kan?"
"Iya ... Iya. Aku masih mendengarkanmu. Apakah tidak bisa nemani aku semalam aja, Ta? Please," suara Ana terdengar memelas. Sita tampak berpikir sesaat.

"Sebaiknya aku diskusikan dulu dengan keluargaku ya, Na. Tapi aku tidak berjanji akan pergi lho. Kapan rencananya?" tanya Sita.

"Kalau besok gimana?" Ana balik bertanya.

"Baiklah. Nanti malam setelah aku dapat persetujuan, kamu segera kuhubungi, deh. Tapi cuma semalam ya," pinta Sita.

"Wah ... siap, puteri. Segera persiapkan diri dulu. Kutunggu kabar darimu ya dan aku yakin keluargamu pasti menyetujuinya. Miss you, Puteri." Ana segera memutuskan hubungan percakapan. Sita masih memikirkan cara memberitahu keluarganya.

Sita menyadari bahwa apa yang dikatakan Ana tadi adalah benar. Orangtua angkatnya sangat menyayanginya dan begitu pula dengan kakak angkatnya. Mereka selalu mengabulkan semua permintaan Sita tetapi dengan satu syarat, Sita harus bisa jaga diri. Namun, hal ini juga yang membuat Sita sungkan tuk meminta sesuatu kecuali benar-benar sangat diperlukan.

Bukan Cinta BiasaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ