Chapter 4. Persetujuan Mama Rahma

4 0 0
                                    


“Ketika kepercayaan itu kau bebankan di pundakku, maka aku takkan pernah mengkhianatimu sampai
kapanpun juga”
(Sita)

Kepulangan Sita disambut dengan isak tangis dari mama Tyo. Wanita paruh baya ini tampak berduka sekali. Sita segera berlari memeluknya setelah melepas sepatunya secara tergesa-gesa di teras rumah. Sita paling tidak bisa melihat kesedihan di wajah penuh kasih ini.

“Ada apa, Ma?” tanyanya tampak bingung.

“Tyo tetap berangkat, Ta. Dia sudah mengurus semuanya meskipun tanpa persetujuan Mama,” isaknya sambil memeluk Sita.

“Sabar ya, Ma. Nanti Sita coba bicara langsung dengan Kak Tyo. Mama tidak boleh sedih seperti ini,” bujuk Sita sambil menghapus airmata di wajahnya.

“Beneran ya, Ta. Kamu harus bisa mencegahnya. Jangan biarkan dia pergi jauh dari Mama, Nak!”

Wajahnya berusaha tersenyum. Sita hanya menganggukkan kepala. Hatinya masih belum yakin akan mampu merubah keputusan Kak Tyo. Selama ini Sita mengenal Kak Tyo seorang yang berpegang teguh pada prinsip dan sangat sulit dipengaruhi jika sudah menyakini sesuatu.

Sita akan berusaha mengurai satu persatu permasalahan yang bermula dari keinginan Kak Tyo. Sita harus tahu benarkah keputusan ini murni dari kak Tyo ataukah hanya demi Mirah.

Mungkinkah karena dia? pikir Sita.
Setelah mama agak tenang, Sita segera membawanya ke kamar untuk beristirahat. Sedangkan Sita sendiri menunggu kedatangan Kak Tyo. Hari ini Sita harus bicara dengan Tyo. Harus!

***

Sita terjaga ketika merasakan seseorang menepuk pundaknya.

“Kenapa tidur di sini? Sana masuk kamar!” tegur Tyo dengan suara pelan.

Sita mencoba untuk enghilangkan rasa kantuknya. Ternyata saat menunggu Kak Tyo, Sita malah ketiduran.

“Apakah kita boleh bicara sebentar, kak?” tanya Sita.

Tyo berbaik dan menatapnya heran. Perlahan ia mengambil posisi di sofa yang ditiduri Sita tadi dan tersenyum.

“Boleh. Ayo, duduk di sebelah Kakak,” ucapnya sambil menepuk pelan sofa disampingnya.

Sita segera duduk di sampingnya. Beberapa detik berlalu tanpa ada yang berani mengeluarkan suara. Keduanya merasa canggung setelah lama tidak pernah berdiskusi karena kesibukan masing-masing.

“Ada apa? Kamu habis nangis ya?” tanya Tyo beruntun dan menatap mata Sita.

Setelah menatap Kak Tyo sesaat, Sita segera berdiri dan mengatur jarak darinya. Sekarang ia tidak ingin bersenda gurau dengan sang kakak seperti biasanya.

“Kak, apakah perpindahan keluar negeri karena Kak Mirah? Apakah Kak Tyo sudah memikirkan perasaan Mama? Beliau sangat sedih mendengar keputusan Kak Tyo ini,” ucap Sita dengan nada rendah.

Sita memilih duduk agak jauh dari Tyo dan menatapnya. Terdengar suara tarikan napas Tyo yang penuh beban Dan perlahan Tyo langsung menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Apakah salah jika Kak Tyo mengambil kesempatan yang diberikan Universitas Oxford? Apakah kamu tidak ingin mendukung karir Kak Tyo ke depannya? Memang sekarang Mama sulit menerimanya, tetapi Kak Tyo yakin suatu hari nanti beliau akan mengerti dengan keputusan ini,” jawab Tyo singkat.

Tiba-tiba ia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap Sita.

“Apakah kamu juga akan menahan Kak Tyo dan tidak akan mendukung keinginan Kak Tyo untuk meraih peluang emas ini? Apakah kamu akan membiarkan Kak Tyo selalu berada dalam bayang-bayang Mama dan Papa?”

Bukan Cinta BiasaWhere stories live. Discover now