Chapter 10 -- Hepar

19 2 0
                                    

Mobil fortuner itu berjalan pelan, bersamaan dengan banyak kendaraan memadati jalanan Semarang arah Simpang Lima. Randu sengaja membuka setengah kaca jendela mobil. Ia langsung merasakan betapa rapatnya polusi malam ini, meskipun udara terasa sejuk menyentuh permukaan kulitnya. Di samping ia duduk ada Dewangga yang masih fokus gas-rem ketika antrean kendaraan bermobil tampak mengular dari depan ke belakang.

Setelah beberapa menit dilanda kemacetan, akhirnya Mobil Fortuner itu bisa langsung menepi ke pinggiran jalan dekat jejeran stand makanan. Randu turun duluan, langsung meregangkan tubuhnya, senam kecil-kecilan. Seharian ini ia dilanda kesibukan. Mulai dari belajar bersama 'Dadakan Club' di perpustakaan, kuliah siang, dan terakhir nge-band kurang lebih 2 jam. Lantas begitu ingin merebahkan diri ke kasur yang empuk, Randu malah dipaksa ikut jalan-jalan malam bersama Dewangga.

"Ndu, kepengen apa kamu? Kopi susu anget?" Ternyata, kakak ketiganya ini ingat kesukaan Randu. Ia kira lupa lantaran kesibukan Dewangga sebagai dokter umum IGD. Terharu dikit boleh, lah.

Randu mengacungkan jempolnya. "Iya, Mas. Kalau ada pisang atau tempe goreng aku mau, deh."

"Tenang, aku mau traktir kamu makan rawon juga," ucap Dewangga, lalu ia gegas duduk setelah memesan beberapa minuman serta makanan berat dan ringan. Enggak lupa, dua puntung rokok ia beli. Sudah lama Dewangga berjarak dengan benda yang satu itu. Ada larangan untuk enggak merokok di area rumah sakit tempatnya bekerja. Tentu, demi kenyamanan bersama dan kesehatan diri sendiri.

"Mas, mbok jangan ngerokok saiki, toh. Asap e ngebul pol!" Randu mengibas-ngibaskan kepulan asap rokok yang baru keluar dari mulut Dewangga. Ia pun sampai pindah tempat duduk sementara waktu.

Dewangga terkekeh. Saking rindunya dengan nikotin, ia rela beli diam-diam tanpa sepengetahuan ayahnya. Bisa habis manis sepah dibuang kalau sampai Priambodo tahu. Kemungkinan besar, Dewangga akan digantung di pohon mangga.

"Udah, Ndu. Aku cuma ngerokok satu batang aja, kok, enggak jadi dua. Takut paru-paruku rusak karena ini," ucap Dewangga selagi mengangkat batang rokok yang tinggal setengah itu. "Lagian, aku cuma kangen sensasinya."

Gelengan kepala disertai decakan sebal sebagai respons Randu. Seburuk-buruknya Randu, si keras kepala yang terkadang menjadi pemberontak ayahnya sendiri, ia sama sekali enggak pernah dan akan mau mencoba merokok. Baginya, masa depan yang masih abu-abu itu lebih penting daripada sekadar kesenangan sesaat.

"Kangen, kok, ngerokok, toh, Mas. Mending, kamu, tuh, kangen sama cewek, deh," cibir Randu. Selang beberapa saat ia bicara, pesanan mereka datang. Dua gelas kopi hangat dan es teh diletakkan lebih dulu ke meja, lalu disusul dua piring nasi rawon. Ternyata, Dewangga pesan dua minuman lagi. Air mineral dingin sebagai penyegar di akhir.

"Tumben banget Mas Dewa ajak aku nongkrong. Biasanya sok sibuk di rumah sakit." Sejenak, Randu menyeruput kuah rawon. "Ada apakah gerangan?" tanyanya lagi.

Dewangga tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, sih. Aku cuma pengen tahu keadaan adek bungsuku aja. Udah lama kita enggak pergi bareng. Biasanya, kan, kamu rajin temenin aku nongkrong atau minimal temenin aku cari baju di Eiger."

Benar, sih. Sebelum kesibukan melanda Dewangga, ia sering mengajak--lebih memaksa--Randu agar ikut pergi dengannya. Entah kenapa, Dewangga merasa nyaman berada di dekat Randu. Mungkin karena Biru dan Laksmita terlalu sibuk, melebihi dirinya. Kesempatan mereka bertemu sangatlah tipis.

"Alhamdulillah, aku baik-baik aja, Mas. Doakan aja selalu begini. Soalnya, hampir mendadak gila di tengah jalan," ucap Randu sambil terkekeh singkat. Fokusnya masih pada sepiring nasi rawon yang mendekati tandas.

"Lagian, kenapa kamu nurut sama ayah, tah? Bukannya kamu pengen kuliah di ISI?"

Randu mendengkus. Ia mengangguk pelan. "Pengen banget, Mas. Tapi keadaan enggak memungkinkan. Ayah, tuh, bilang kalau aku nekat kuliah di ISI, aku bakal disuruh ke Australia. Ya, aku ndak mau lah."

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Where stories live. Discover now