Chapter 11 -- Clavicula

22 4 0
                                    

Cipratan air terasa mengenai mukanya, Randu yang terlelap sejak semalam tersentak kaget, kemudian terpaksa bangun. Ia bahkan lupa mengganti seragam yang dikenakan dengan baju tidur biasa. Kepalanya mendadak pening. Dilihat samar-samar, sosok ibunya tengah berdiri selagi tersenyum kecil.

"Ini udah jam 6, Ndu. Cepetan sana salat subuh. Masa udah dewasa, salat kesiangan terus," tukas Prameswari. Ia sering memergoki anak bungsunya tidur sampai melupakan kewajiban lima waktu. Terlepas dari itu, Prameswari pun terkadang memandangi wajah Randu lama. Ia melihat segurat lelah terpampang nyata di sana. Mungkinkah, perkuliahan yang memusingkan menjadi penyebab utama Randu sering kebablasan tidur?

Randu menguap lebar, kemudian ia berjingkat dari kasur menuju kamar mandi yang letaknya di dalam kamar. Ia membasuh wajahnya cepat, enggak lupa melepas seragam kampus. Setelahnya, Randu cepat-cepat salat subuh sebelum waktunya habis.

"Ikut sarapan yuk, Ndu?" Ternyata Prameswari masih setia di kamar anaknya. Kini, ia duduk di tepian ranjang. "Bareng sama yang lain. Kamu, tuh, jarang sarapan kayaknya. Pantes, ibu lihat badanmu kayak kurus kering gitu."

Randu berdecak pelan sambil melipat sajadah, kemudian ditaruh di atas kasur. Ia ambil posisi duduk di sebelah ibunya.

"Tsk. Randu mending sarapan sama onigiri IndoApril daripada harus nahan emosi kalau makan di rumah, Bu," jawab cowok itu jujur. Mungkin, kalau Priambodo pergi dan enggak ikut sarapan, barulah Randu mau. Ia juga heran. Kenapa ketiga kakaknya yang lain betah berlama-lama satu meja makan dengan ayahnya itu ? Lagi-lagi, ini tentang anak bungsu yang dikucilkan.

"Ada apa, toh? Kamu jarang cerita sama Ibu, lho." Nada bicara Prameswari tenang dan sabar. Selama ini, Randu ingin menceritakan segala keluh kesah kepada ibunya, tetapi perasaan ragu yang membuatnya maju-mundur. Akhirnya, ia memilih memendam semuanya sendiri. Ia juga berpikir buat apa menceritakan segala yang dia pikirkan, kalau pada ujungnya enggak ada yang berusaha mengerti.

Randu merebahkan diri sambil menopang kepalanya dengan kedua telapak tangan. "Sebenernya, aku kepengen cerita banyak hal, Bu. Tapi kayaknya belum nemu waktu yang pas. Sekarang, Randu lagi pengen fokus ngejar mimpi," ucapnya.

"Bagus, dong, kalau fokus kamu ngejar mimpi. Karena enggak semua orang bisa fokus dalam hal itu. Mereka udah disibukkan oleh beberapa hal untuk bertahan dalam hidup. Seharusnya, kamu lebih banyak bersyukur, Randu."

Benar. Randu memang harus bersyukur lebih banyak. Banyak orang di luaran sana yang memutuskan untuk mengubur mimpinya lantaran harus fokus terhadap satu tujuan utama, yaitu mempertahankan hidup. Dan berusaha memenuhi kebutuhan seperti makan, papan, dan sandang. Boro-boro memikirkan impian, bertahan dalam segala ketidakmungkinan itu saja sudah bagus. Randu sadar akan hal itu, tetapi ia pun sedang bertahan, meskipun dalam kondisi yang berbeda.

Randu mendesah pelan. "Tentu, Bu. Tapi herannya, ada aja orang yang enggak setuju sama impianku yang satu ini. Padahal, katanya setiap orang bebas memilih jalan hidupnya, toh, Bu?"

"Maksudmu, impian jadi musisi, 'kan?" tanya Prameswari memastikan. "Ibu dulu sama kayak kamu. Cita-cita Ibu malah kepengen enggak punya anak, tapi ... qadarulloh ketika lahir Mas Biru untuk pertama kali, entah kenapa hati Ibu mendadak tersentuh. Ternyata, punya anak enggak seburuk yang dipikirkan. Benar apa kata ayahmu dulu. Katanya, punya anak, tuh, sumber rezeki."

"Intinya, enggak ada yang salah soal impianmu jadi musisi. Ikuti kata hatimu, Ndu. Dan enggak usah peduli apa kata orang. Meskipun, ayahmu enggak mendukung, kan, masih ada ibu, toh?"

Sebuah senyuman terbit. Ternyata, selama ini Prameswari diam-diam memerhatikan Randu. Ia pun bangkit dari posisi rebahannya. "Makasih ya, Bu. Aku bakal doain ibu sehat terus sampai Randu beneran jadi musisi legendaris," ucapnya.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang