Chapter 15 -- Sella Turcica

18 1 0
                                    

Randu: "Halo, apakah pemilik nomor ini masih hidup?"

Sebenarnya, ponsel itu masih aktif. Pemiliknya kerap memantau siapa saja yang mengirimkan pesan serta panggilan. Namun, hatinya seperti terbelenggu untuk sekadar membalas. Ia takut, berbagai pertanyaan timbul dan membuat banyak orang khawatir. Ia tidak mau berakhir membebani pikiran dan perasaan. Cukup dirinya yang menahan sakit sekarang.

Sebentar lagi, senja menyapa malam. Ia menunggu hadirnya sambil membaca novel kesukaan di atas ranjang pasien. Kondisi tubuhnya terlihat baik, tetapi sebenarnya tidak begitu. Segala hal soal sedihnya tertutupi oleh senyuman yang ia lontarkan selama ini. Ia berharap setelah ini, kebahagiaan selalu menanti dirinya lagi.

"Maaf. Belum sempat kasih kabar ke kamu, Ndu," gumam Yuranita, lalu pandangannya teralih pada semburat merah senja yang perlahan menghiasi langit sore. Ia jadi teringat pertama kali bicara dengan Randu, berujung dekat sampai sekarang.

Kala itu, Yuranita iseng pergi ke balkon gedung pascasarjana. Awalnya, ia ingin merenung sambil membaca novel dan mendengarkan lagu melalui headphone. Lambat laun, Yuranita malah teringat soal kematian. Ia sempat berpikiran sama seperti Randu yang ingin lompat dari gedung.

Namun, entah kenapa keinginan cewek itu runtuh tatkala bertemu Randu. Mungkin, ketika keduanya saling menguatkan serta memberi nasihat, Yuranita berpikir masih ada banyak kesempatan selama manusia itu hidup di bumi.

"Randu, mending kamu, tuh, fokus belajar. Daripada mikirin hidup dan mati. Masalah itu, biar Tuhan yang atur. Lagian, mati termasuk takdir yang pasti terjadi."

Yuranita tersenyum ketika mengingat ucapannya sendiri pada Randu. Ia pun enggak menyangka akan dekat dengan cowok yang bermimpi menjadi seorang musisi dan punya band sendiri. Mulai dari belajar bersama, pergi ke toko buku, dan sesekali Randu menjadikan Yuranita sebagai tempat mencurahkan rasa.

Kini, Yuranita hanya berharap setelah ia berhasil melewati badai besar, dirinya akan bertemu Randu dan teman baik lainnya lagi. Seperti sedia kala.

"Ra? Kamu nggak bosen di kamar terus?" Suara ibunya membuyarkan lamunan dalam kesendirian. Yuranita tersenyum, lalu menggeleng.

"Enggak, kok, Bu. Malah enak di kamar. Asal ada buku aja, sih."

Indah, sang ibu, ber-oh-ria, kemudian berjalan mendekati anak perempuannya. "Nduk, semangat, ya. Ibu sama Bapak pokoknya mengusahakan yang terbaik."

"Makasih ya, Bu. Aku bakal berusaha dan banyak berdoa. Setelah ini, Yuranita masih bisa ngampus lagi, 'kan?"

Anggukan di kepala sebagai jawaban. "Lho? Harus, toh, Ra. Pasti, Ben, Eliza, Jaki, pada kangen sama kamu," ujar Indah. Tentunya, tambah satu orang lagi, Randu.

Yuranita tersenyum. "Insyaallah, besok pagi, deh, Bu, aku mau jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Boleh, 'kan?"

"Apa, sih, yang nggak boleh buat kamu, Ra?" Lalu, ibu dan anak perempuannya saling mendekap erat. Seperti menyalurkan banyak energi positif satu sama lain.

***

Sebelum melancarkan aksinya, berulang kali Randu menghapal lirik serta chord gitar untuk dinyanyikan pada seseorang. Berbeda dengan Ben, ia sama sekali enggak berminat mengikuti ide gila Randu.

"Udahlah, Ndu. Kayaknya, nggak mungkin banget kita bisa kasih kejutan ke Yura, apalagi di rumah sakit. Bakal ganggu pasien lain."

Akan tetapi, Randu enggak menghiraukan ucapan Ben yang dipenuhi overthinking itu. Ia terus memetik gitarnya sambil bernyanyi seorang diri. Sampai kemudian ia berhenti hanya ingin memastikan ada kabar terbaru dari Yuranita.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang