Chapter 13 -- Wrist Joint

20 1 0
                                    

"Jadi, ceritanya kamu ini lagi aksi minggat dari rumah?" Ben bertanya sambil menggaruk kepala. Rambutnya terlihat acakadut. Tanpa memakai kacamata, Ben cukup tampan untuk seorang cowok. Sangat berbeda auranya ketika menjadi anak wibu.

Randu merebahkan diri ke atas kasur berukuran minimalis 90×200 cm belapis sprei kotak-kotak hitam. Ia lalu menghela napas kasar. "Iya, kayaknya lebih enak minggat daripada terus-terusan di rumah, dah. Bikin sakit hati yang ada."

"Terus, kenapa Anda malah minggat ke kosku? Mending yang jauh sekalian, lah, tanggung amat jadi orang." Ben mencibir. Kantuk masih menyelimuti dirinya. Ia ingin tidur lagi sebentar sebelum azan isya berkumandang. Namun, malah ada Randu yang tengah menguasai singgasana terbaiknya. Belum lagi, cowok itu membawa satu gitar rusak dan sekumpulan kaset tahun 80'an. Bau tak sedap pun datang dari dua benda itu. Dicium lebih dekat, Ben bisa tahu ada aroma sampah basah menyeruak, membuatnya refleks terbatuk-batuk sambil menjepit kedua lubang hidungnya dengan jemari tangan.

"Ya allah! Mambu opo iki, sih?" Ben bangkit dari duduknya. "Ini gitar siapa, toh, Ndu? Ambune kaya telek sapi," cecarnya lagi.

Ben tampak mengomel. Ia pun gegas membuka jendela kamar lebar-lebar, lalu menyalakan kipas angin, kemudian menyemprotkan pengharum ruangan. Enggak lupa, Ben menyuruh Randu untuk memindahkan gitar serta kasetnya ke luar kamar.

"Ya allah, Ben. Ini gitar kesayanganku, lho. Masa suruh taruh di luar?" Randu cemberut. Ia seperti anak kecil yang minta dituruti.

Ben bersedekap. Matanya turun setengah. "Atau, kamu mending pergi aja dari kosku?"

"Iya, iya. Aku pindah di luar dulu." Terpaksa, Randu beranjak dari kasur, lalu membereskan gitar serta kaset miliknya. Ia menata persis dua benda kesayangannya di dekat pintu masuk kamar Ben, kemudian ia menatap Saranghaeo sambil berjongkok.

"Maaf ya, Mbah. Belum bisa ngejaga dengan baik gitar pemberian Mbah Djiwo ini. Senarnya malah hilang tiga. Baunya juga bau sampah. Pokoknya, ini semua salah Randu," ucap cowok berjaket biru tua itu pelan. Tanpa sadar, Ben memerhatikan dari ujung pintu. Ia bisa melihat sosok Randu sedang dilanda kesedihan. Sorot matanya sendu, seperti ingin menangis, tetapi berusaha ditahan. Mungkin malu dianggap cowok lemah. Padahal, menangis itu hak setiap manusia, bukan masalah lemah atau tidaknya.

Setelahnya, Randu masuk lagi ke kamar Ben, yang langsung diajak untuk salat isya di musala dekat kos. Karena sebentar lagi azan isya berkumandang. Randu iya-iya aja. Ia pun berniat mampir ke angkringan setelah salat.

Dua bungkus nasi sambal teri diambil Randu. Ia mendadak kelaparan lantaran menahan gejolak emosi di rumahnya tadi. Ben yang duduk di sebelahnya menatap heran.

"Ada masalah apa, toh, jane sampe nginep ke kosanku?" Sambil mengunyah telur puyuh, Ben bertanya karena penasaran. Pasalnya, Mereka enggak begitu akrab sebelumnya. Dekat juga baru kemarin saat enggak sengaja belajar bersama di perpustakaan. Lantas, tiba-tiba Randu menginap di kos Ben, itu suatu ketidaksengajaan yang banyak mengundang kekepoan hakiki.

Randu belum langsung menjawab. Ia menyeruput teh anget dulu, lalu menghela napas panjang. Seolah beban yang baru saja dipikul hilang seketika.

"Pengen minggat wae. Suntuk di rumah terus," jawab cowok berkaus oblong putih yang tengahnya ada gambar one piece-nya.

"Tsk. Terus, kenapa kudu ke kosanku? Nggak ke masjid terdekat aja?" dakwa Ben.

Sejujurnya, Randu pun enggak tahu kenapa kosan Ben jadi incarannya. Spontanitas saja, Randu kepikiran kosan cowok itu. Mungkin karena terakhir kali Randu bicara soal Ben bersama Yuranita saat di kampus. Jadi, deh, kebawa-bawa.

"Kepikiran aja. Deket soalnya dari kampus," jawab Randu asal. Lebih ke sok tahu, sih. Masalahnya, ia sendiri saja tahu alamat kos Ben baru beberapa menit yang lalu. Beruntung, enggak nyasar juga.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Där berättelser lever. Upptäck nu