Masih Kupuisikan Malam

14 0 0
                                    

Mungkin sangatlah mengagumkan, mengarti sifat kausa langit menerjemah hak sunyi-- menebar bintang-- menanam biji rembulan, serupa dengan lukisan wajah-wajah kelaraan yang kerap ku-puisikan, atau jejak kaki-kaki pena tak berkalam yang sungguh-sungguh kutasbihkan.

Kiranya sentuhan gerimis dari mata ini tak begitu sempurna. Hingga saat datang shubuh, fajar bergemuruh, memanggilku-- menemui luruhku yang kian menyemat ayat-ayat mokhsa sederhana, dan puncaknya, tangisan kata-kata menghabisi usia tanpa makna.

Ada nyeri yang selalu kubantah, kala gelap teruslah memainkan perannya di kepala-- pun ada jeritan himne-himne kosong yang membuat fana tak lagi ragu dicumbu, dan adalah aku.

Pada kekata sia-sia, bila pagi mencoba bernyanyi lantang sebelum khatam malam, darah sadarku terpasung lemah di lidah kaum-kaum tanah, lalu polosnya kisahku semakin memilih esok yang entah.

Jika di antara keredupan alam konsonan fakta aku telah merebah, karena belas-asih yang disedekah, biarlah kenang akanmu yang pantang dikata punah-- lalu, cukuplah urat saraf namaku bersinar di pusara tanah.

Pada sebentuk akhiran yang lebih pantas kugoreskan titik, menjadi kalam dan pena di kematian kata tiadalah menarik-- tiadalah mungkin tercipta sajak cantik. Sebab, langit masihlah enggan berkisah dengan pagi, walau tebaran bintang kilaunya padam-- dan biji rembulan yang tertanam, layu sebelum kisah terjawab senyuman-- sebelum malam di jantung penghabisan.

dan TerbacalahWhere stories live. Discover now