Bab 1A

96 15 8
                                    

Katanya memulai hari itu harus diawali dengan senyuman supaya harimu berjalan dengan indah. Menurutku itu pernyataan yang salah, karena yang harus kamu lakukan pertama kali saat bangun tidur itu mandi, beribadah lalu makan. Pada dasarnya menjalani hidup perlu tenaga bukan senyuman. Kamu bisa pingsan kalau nggak makan.

Doaku setiap hari selalu sama agar Tuhan menjaga dan membuat ayah bahagia, karena hanya ayah yang kupunya saat ini.
Bundaku sudah meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan. Aku masih ingat bagaimana terpuruknya ayah waktu mengetahui kabar itu. Ayah sampai mengalami stres berat, marah-marah, bahkan hampir bunuh diri. Akan tetapi itu hanya kejadian lawas yang nggak mau aku kenang.

Keadaan ayah saat ini sudah membaik karena kakek membawanya ke psikolog, perlahan tapi pasti ayah pun kembali sehat dan dia sudah mulai aktivitasnya sebagai dokter. Meski sudah sembuh, kakek dan nenek masih sering mengunjungi kami, katanya sih kangen sama aku yang manis ini.

Rasa cinta ayah pada bunda bagitu besar, bahkan aku berani menjamin ayah adalah budak cintanya bunda. Mungkin karena rasa cinta yang besar itu, makanya ayah sampai sekarang nggak mau menikah lagi.

Menurutku kisah ayah dan bunda sangat menarik untuk diceritakan, tapi itu nanti saja ceritanya, karena sekarang aku lagi nggak berminat untuk mendongeng. Tiba-tiba senyumku mengembang mengingat betapa romantisnya mereka, tapi agak ilfil karena ayah dan bunda nggak kenal waktu dan tempat kalau lagi bermesraan. Bahkan mereka seperti nggak peduli dengan umurku yang masih muda ini.

Aku menuruni setiap anak tangga dan menghampiri ayah yang sedang meneguk kopi hitamnya sambil membaca Koran.

"Selamat pagi sayangku," sapa ayah dengan kecupan singkat di keningku.

Ayahku romantis 'kan? Tentu saja. Dia adalah laki-laki terbaik yang Tuhan berikan untukku. Itulah mengapa aku sangat menyayanginya.

Aku mendaratkan bokong kecilku ke kursi makan, pagi ini bibi menyiapkan nasi goreng lada hitam, salah satu menu yang paling kusuka ketika bunda masih ada dulu. Ayah sudah nggak pernah sarapan lagi beberapa bulan ini, kalau kutawari makan bersama pasti ada saja alasannya, yang masih kenyang lah, malas, sarapan di kantor saja, nggak selera makan.

"Hari ini ayah mau ke rumah sakit?" tanyaku.

Ayah mengangguk, perhatiannya pada koran benar-benar nggak bisa teralihkan. Aku juga nggak menggubrisnya karena bagiku itu hal yang lumrah, mirip seperti novel-novel yang kubaca. Seorang ayah akan meneguk teh atau kopinya sambil membaca koran.

"Ini nasi gorengnya, Mbak." Bi Nana meletakkan sepiring nasi goreng pesananku lengkap dengan irisan tomat yang lumayan banyak.

Aku mulai menikmati sarapanku, sesekali kulihat ayah yang masih sibuk antara membaca dan membalas pesan. Biasanya ayah nggak pernah sesibuk itu sama ponselnya, mau sepenting papun kalau sedang bersamaku ayah akan mengabaikan semua panggilan ponselnya.

"Nanti malam kita makan malam di luar, ya. Ayah mau kenalin kamu sama seseorang." Ayah meletakkan ponselnya ke meja dan melipat koran yang dibacanya tadi dengan rapih.

Sendok yang masih berada di dalam mulutku terpaksa berhenti di sana. Kupandangi ayah yang masih tersenyum ke arahku. Ayah terseyum lagi?

"Makan di luar?" kataku memastikan.

Ayah mengangguk, katanya dia juga mau mengenalkanku dengan sesorang yang sudah dikenalnya belum lama ini. Aku masih belum mengeluarkan sendok dari dalam mulut, kepalaku berusaha mencerna dengan baik. Ayah bukan orang yang senang mengajak keluarganya bertemu dengan orang lain tapi kenapa ekspresi ayah seperti berharap aku ikut.

"Biasanya juga makan di rumah," ujarku.

"Di rumah terus nggak bosan?" Ayah balik bertanya.

Sebenarnya bosan tapi rasanya aneh saja. tumben banget ayah ngajak keluar buat ketemu orang. Jangan-jangan aku mau dijodohin. Aduh, amit-amit deh. Ini 'kan bukan jaman Siti Nurbaya.

I HATE TO LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang