BAB 3A

40 10 2
                                    

Aku memperhatikan Clara yang terus sibuk dengan ponselnya. Nggak jarang ceritaku hanya dibalas dengan gumaman atau senyuman belaka.

Padahal aku sedang bercerita tentang ibu tiriku. Bertanya soal bagaimana aku harus mengerjainya lagi.

Kukira Clara hanya mengabaikanku sebentar, ternyata nggak. Lama-lama kesal juga kalau diabaikan, apalagi sama teman sendiri.

Bantal bergambar minion kulempar sampai mengenai wajahnya. Aku terhenyak, tatapan Clara tidak seperti biasanyan. Ekspresi yang seakan aku ini adalah lawan, bukan kawan. Nggak pernah aku melihat tatapannya yang seperti itu.

Perasaanku mendadak sakit, tapi nggak berdarah. Iya lah nggak berdarah, kan sakitnya di dalam tubuh, bukan di luar.

Beberapa detik kemudian Clara kembali tersenyum, ekspresinya berubah seperti sebelumnya. Nggak ada aura permusuhan apalagi mengajak perang.

"Jadi lo mau ngapain sekarang, Mei?" ujar Clara.

Aku mengedikkan bahu. Nggak ada yang mau kulakukan sekarang, rasanyaerbaring di tempat tidur itu jauh lebih baik. Ayah sebentar lagi sampai rumah, lalu aku akan kembali menjadi Meisya yang sebenarnya. Penurut, patuh, tidak berulah apalagi membuat ayah kesal.

Aku akan bersikap baik pada Kaina di depan ayah seolah dia sudah kuterima sebagai ibuku.

Hari sudah sore, waktunya Clara pamit untuk pulang ke rumahnya. Kini tinggal aku sendiri di ruang tamu, lalu Bi Nana yang sedang memasak makan untuk nanti malam. Tib-tiba dia datang menghampiriku.

"Mbak Meisya mau jus alpukat ndak?" Bi Mana menunjukkan buah alpukan di tangan kanannya.

"Boleh, alpukatnya campur susu putih ya."

Bi Nana mengangguk lalu kembali ke dapur. Nggak lama setelah itu dia kembali sambil meletakkan jus alpukatnya.

Akan tetapi Bi Nana nggak langsung kembali ke dapur. Dia berdiri di dekatku seperti orang linglung.

Aku mengerenyit melihat Bi Nana yang sedang berdiri sambil menunduk. Nggak lama dia mengatakan sesuatu.

"Mba Meisya belum bisa menerima ibu, ya?" ujarnya tiba-tiba.

"Kepo." Wajah Bi Nana terlihat agak takut-takut.

"Mbak, tadi pagi Ibu langsung sakit waktu kita nyetel lagunya kenceng-kenceng. Terus mukanya pucat banget."

Duh, si bibi ini yah. Kok jadi sekutunya kain pel sih! Segala bilang lagunya kekencengan, biasanya juga volume lagu segitu 'kan?

Mau aku bersikap bagaimanapun ke Kaina, dia nggak berhak ikut campur. Kaina kan bukan ibu kandungku. Lagi pula aku nggak menyukainya. Siapa juga yang pingin ibu tiri? Kalau bukan karena ayah, aku juga nggak mau deh kenal dia.
Amit-amit.

"Bi, kalau dia sakit itu bukan urusanku. Lagian punya badan kok lembek banget kaya tape. Masih bagusan tape malahan!"

Bi Nana kembali ingin berbicara, tapi aku memintanya untuk kembali membuat makan malam. Aku nggak mau mood-ku jadi semakin berantakan. Cukup hidupku aja yang suram, mood-ku jangan ikut-ikutan.

Semenjak ada wanita itu di rumah, semua orang jadi perhatian ke dia. Mulai dari ayah sampai ke Bi Nana dan supir. Semuanya jadi sekutu.

Nggak! Aku harus cepat-cepat cari bukti soal keburukan Kaina. Kalau ketahuan dia hanya mengincar harta ayah dan menikah hanya karna ayah ganteng. Beneran deh. Pengen banget mukul wajahnya pakai panci.

Pukul 17.30 WIB, aku mendengar suara mobil di depan rumah. Segera kulari dan membuka pintu.

Aku melihat ayah baru keluar dari mobil, aku hampir berteriak memanggilnya. Namun suaraku tercekat ketika ayah membukakan pintu untuk wanita itu.

Aku tidak jadi memanggil ayah. Jadi, yang kulakukan saat ini hanya bersedekap di depan pintu sambil memperhatikan kemesraan ayahdan istrinya.

Aku kasihan dengan mataku ini. Setiap hari akan radiasi melihat kemesraan mereka berdua. Ya ampun.

"Meisya!" panggil ayah sambil berjalan menghampiriku.

"Tumben nggak lari terus meluk ayah?".

Aku hanya tersenyum, nggak mau mendekat apalagi melambaikan tangan. Pasti wanita itu nggaka akn mau melepaskan ayah.

Aku melihat ke arah Kaina, lalu tersenyum ke ayah.

"Sudah ada yang menyambut ayah. Jadi aku hanya menunggu di sini lalu ...."

Aku menepis lengan Kaina yang sedang di bergendengan tangan dengan ayah. Aku melompat dan memeluk ayah sambil tertawa.

Ayah tergelak lalu berkata kalau aku harus banyak makan supaya badanku sedikit berat.

"Kalau berat badanku nambah nanti ayah bisa sakit pinggang pas gendong aku," ujarku.

Ayah kembali tertawa, aku pun turun dari gendongan ayah. Kami bertiga masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa bersama.

Bi Nana meletakkan dua cangkir teh manis untuk ayah dan Kaina. Kulihat ayah masih menggenggam lengan wanita itu.

Mereka berdua sibuk mengobrol. Sesekali ayah juga mengelus wajah serta pucuk kepala Kaina.

Nggak ingat sama umur ya, sudah tahu di sini ada anaknya. Malah mesra-mesraan. Lama-lama rumah ini kubuat banyak sekat juga deh, biar nggak bisa lihat keromantisan mereka berdua.

Aku pamit kembali ke kamar. Kutinggalkan keduanya di ruang tamu. Biarlah ayah bahagia, tapi besok setelah ayah berangkat kerja, aku akan kembali membuat Kaina merasa nggak betah tinggal di rumah ini.

Ya Tuhan, tolong bantu aku untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya. Apakah dia cat woman? Wonder woman? Atau malah macan garong?

Ah mau apa kwk terserah. Yang penting aekarang aku mau tiduran sambil menyetel musik keras-keras, tapi nanti saja deh. Sekarang sudah mau masuk waktu salat maghrib.

***

Aku mendengar suara ketukan pintu kamar beberapa kali. Kubuka pintu itu dan terheran-heran melihat ayah berdiri di depan pintu.

"Tumben, kenapa Ayah mengetuk pintu kamarku?"

"Boleh ayah masuk?"

Aku mengedikkan bahu. Pintu kamar kubuka lebar lalu mempersilahkan ayah untuk masuk.

Aku duduk di tepi tempat tidur sedangkan ayah duduk di bangku belajarku. Kami sama-sma diam untuk beberapa saat.

Beneran deh, aku nggak suka keheningan dalam bentuk apapun. Untung lah musik masih menyala, jadi nggak sepi-sepi banget.

"Jadi, ada apa?" tanyaku.

Ayah tersenyum lalu melihat kevarah laptopku yang masih menyala dan menampilkan layar musik.

"Meisya, boleh nggak ayah minta tolong sama kamu, mulai sekarang jangan menyalakan musik dengan suara yang keras."

Aku menoleh ke ayah. Menyerenyit bingung. Nggak biasanya ayah melarangku untuk mendengarkan musik dengan volume suara yang tinggi.

"Bundamu nggak kelihatannya agak terganggu. Dari tadi tidurnya kelihatan nggak nyaman."

"Tapi aku suka suara keras, Yah."

"Iya ayah paham. Ayah nggak meminta kamu buat mematikan musiknya 'kan? Hanya dikecilkan suaranya. Atau mungkin kamu pakai earphone saja?"

Aku berdecak sebal. Kaina lagi, kaina lagi. Selalu kaina. Aku mulai disuruh mengalah!

Kapan sih sekali saja kalau kita bicara itu ayah nggak sebut namanya. Rasanya telingaku mau pensiun dini kalau begini caranya.

Semua orang berubah, sekarang apa-apa bukan soal Meisya, tapi Kaina. Bi Nana, pak Ujang, bahkan Ayah.

Mereka sudah meletakkanku dibagian paling belakang ingatan mereka.




To be continued ....
Sabtu, 31 Oktober 2020


1024

I HATE TO LOVE YOUDär berättelser lever. Upptäck nu