BAB 3B

50 13 0
                                    

Ayah pernah bilang, hidup itu nggak mulu soal sakit hati dan kesedihan. Bahkan hal yang menyakiti hati pun ada obatnya. Masa lalunya kemarin adalah pelajaran berharga.

Nah, masalahku sekarang ini adalah sikap ayah yang mulai berubah. Bayangkan, aku sering disuruh mengalah demi menyenangkan hati Kaina.

Semua dimulai dari hal yang terkecil. Soal sarapan di pagi hari yang nggak boleh berat-berat, termasuk jus buah yang sering kuminum pun dilarang. Menyetel lagu dengan volume seadanya, jangan terlalu bising, usahakan selalu bersih dan nggak ngelantur kalau lagi main.

Dulu waktu masih ada almarhumah bunda semua kegiatanku nggak ada yang dilarang. Menurutnya, selama yang kulakukan nggak merugikan orang lain, itu artinya aman.

Kepalaku belakangan ini sering terasa pening. Ya ampun, kayaknya keimutanku bisa menurun kalau sering memikirkan banyak hal.

Ayah pernah bilang, perempuan itu nggak boleh terlalu keras dalam berpikir, nanti syarafnya tegang dan bisa bikin susah tidur, ujung-ujungnya muka jadi terlihat pucat seperti ngga punya harapan untuk hidup lagi.

Aku menghela napas. Hari ini aku malas pulang ke rumah lebih awal. Aku juga sudah mengirim pesan kepada Pak Ujang buat nggak jemput. Aku mau ke belakang sekolah untuk menghilangkan rasa bosan.

Di sana ada pohon besar yang biasa kusinggahi sebagai tempat persembunyian dari para guru yang mau menghukumku karena datang terlambat atau aku sedang malas dikeramaian.

Kantuk menyapa dan membuatku ingin merebahkan diri di salah satu bagian pohin besar ini. Saat kedua mataku hampir terpejam, tiba-tiba seseorang datang dan memanggil namaku.

Aku terperanjat dan hampir terjatuh. Dasar pantat panci, siapa sih main teriak manggil-manggil namaku!

Kulihat kebawah, di sana berdiri seorang laki-laki yang sudah lama aku kenali. Billy, kekasihku.

Dia berkecak pinggang sambil menggeleng pelan. Sepertinya aku akan kena omel lagi karena memanjat pohon.

"Bisa turun sekarang?" ujar Billy.

Aku bergeming. Kalau aku turun sekarang nanti dia ngamuk aeperti macan, tapi kalau nggak turun aku bisa kena amuk lebih lama.

"Kalau aku turun nanti dijewer nggak?" ujarku.

Salah satu alis mata Billy terangkat, kemudian tersenyum kecil.

"Iya, aku mau jewer kamu. Jadi sekarang kamu turun." Billy bertolak pinggang.

Aku tergelak melihat Billy, baiklah aku mengalah dan memilih turun segera dengan cara melompat dari atas pohon.

Kuhampiri Billy dan menerima sambutan tangannya untuk kugenggam. Seperti biasa, dia selalu tahu cara membahagiakanku dengan cara sederhana.

"Lain kali jangan manjat pohon begitu, ya. Nggak baik. Kalau kamu jatuh nanti siapa yang repot?" ujar Billy.

Kalau jatuh aku sendiri yang repot, bukan orang lain. Sebenarnya kalau luka ya tinggal diobati, nggak perlu seperti kebanyakan orang. Kaalu sakit, buat status di WhatsApp. Memangnya kalau buat status visa langsung sembuh? Nggak lah, bagaimana sih!

Billy mengantarku sampai ke rumah. Kalau jam segini biasanya Bi Nana sudah selesai memasak untuk makan siangku. Jadi kuajak Billy untuk makan bersama.

Akan tetapi, saat kami mau menyantap makanan tiba-tiba wanita itu datang dan menghampiri kami. Dia tersenyum singkat kepada Billy lalu bertanya padaku kapan sampai di rumah.

Aku menjawab seadanya lalu kembali menikmati makan siangku. Billy pun melakukan hal yang sama. Dia tidak merasa aneh dengan sikapku yang begitu pada Kaina. Karena aku selalu bercerita soal keluarga baruku padanya.

"Mei, makannya sedikit sekali?" tanya Kaina.

Aku mengerling malas. Jujur aku nggak suka kalau makanku diganggu. Ditambah lagi dia melakukan interaksi yang jelas-jelas tau kalau aku akan menolaknya.

"Mei, besok lagi jangan bawa sembarang laki-laki ke rumah, nanti bisa jadi fitnah."

Aku berdecak, tapi msih berusaha menikmati makan siangku.

"Meisya ...." Dia menarik napas sejenak tapi aku bisa melihat dia meremas kedua tangannya sendiri.

"Meisya dengar 'kan?"

Aku menggebrak meja. Makan siangku benar-benar terganggu sekarang dan aku nggak bisa menahan diri untuk menekan emosiku.

Kaina terperenjat saat aku menggebrak meja, bahkan Bi Nana sampai menghampiri kami dan sedikit menjaga jarak.

"Bisa nggak sih, kalo gue lagi makan jangan diganggu. Ngilangin selera banget, deh, ah!"

"Tapi Mamah cuma mengingatkan."

"Bisa nanti pas gue udah selesai makan?"

Kaina bergeming, sepertinya dia mau menjawab tapi Bi Nana mendekat dan mencoba untuk menenangkan Kaina. Bi Nana berkata kalau sikapku sudah keterlaluan kepada Kaina.

"Terserah! Nggak usah berharap banyak kalau gue bakal bersikap baik," ujarku.

Jujur, aku nggak bisa marah sama Bi Nana. Dia sudah menemaniku sejak bayi. Bahkan Bi Nana sudah kuanggap seperti keluarga. Kalau aku membentaknya, siap-siap jadi Sangkuriang deh nanti.

Kaina masih berdiri sambil menatapku, lalu kubalas menatap balik. Nggak lama setelah itu dia pergi meninggalkan kami bertiga.

Sendok yang ada di tangan hampir kulempar kearahnya. Andai saja Billy nggak menahan tanganku, aku yakin sendok ini sudah mengenai kepalanya.

Aku bergeming. Perkataan Billy membuatku sadar dengan misi utama. Aku nggak boleh asal bertindak, harus pelan-pelan dan hati-hati supaya bisa menunjukkan sifat Kaina yang sesungguhnya sampai dia nggak punya wajah lagi!

Selesai makan siang, Billy berpamitan untuk pulang. Ketika dia sudah benar-benar pergi Kaina langsung kembali menghampiriku. Ekspresi di wajahnya saat itu sulit kuartikan. Seperti depkolektor mau menagih hutang.

Kaina kembali mengatakan kalau aku nggak boleh sembarangan mengajak laki-laki ke rumah. Namun aku membantahnya, ayah sudah kenal dengan Billy. Jadi itu bukan masalah besar.

Beberapa bulan ini Billy juga sering ke rumah dan bertemu Ayah, bahkan mereka berdua pernah makan bersama. Jadi nggak ada yang salah sama itu.

"Dia bukan laki-laki baik, Mei!" Kaina terlihat aneh. "Dia bukan laki-laki yang baik! Percaya sama saya."

Apaan sih maksudnya? Tiba-tiba bilang kalau Billy nggak baik. Dia saja baru pertama kali melihat Billy hari ini, masa bilang begitu? Memangnya dia dukun yang bisa menebak segala sesuatu?

Aku mengambil sendok yang ada di meja makan. Kusodorkan kepadanya dan bertanya apa yang ada di tanganku.

"Itu sendok," ujarnya.

Lalu sendok itu kugenggam erat seakan ingin memukulnya.

"Nah, sendok ini bakal melayang ke muka lo kalau selalu ikut campur urusan gue. Gue yang pacaran, gue yang jalanin, kenapa lo yang repot. Urus aja hidup lo sendiri!"

Aku pergi meninggalkan kaina sendiri di ruang makan. Lalu berbalik sejenak dan menjulurkan lidah meledeknya, tidak lupa juga kutepuk bokongku sambil berkata ....

"Dasar Nenek Sihir!"

Aku berlari menuju kamar dan menutup pintu dengan kencang. Suara dentuman keras dari pintu kamar pasti membuatnya terkejut lagi. Bodo amat deh!











To be continued ....
Minggu, 01 November 2020

1007

Bab selabjutnya ada di akun kak  dyahayu55 yaaaa

I HATE TO LOVE YOUKde žijí příběhy. Začni objevovat