BAB 4B

44 8 0
                                    

Pemandangan di belakang vila sama sekali nggak ada yang berubah. Semua masih sama waktu aku terakhir kali ke sini.

Aku mengikuti keinginan kakiku untuk melangkah semaunya. Sepertinya naik ke atas pegunungan nggak ada salahnya.

Dulu, dari atas sana aku bisa melihat jelas pemandangan luas. Pohon-pohon tinggi, daun cengkeh yang sedang dipanen dan melihat banyaknya pekerja kebun yang sedang memetik daun teh.

Dulu almarhum bunda paling senang berfoto di sini sambil memeluk lengan ayah. Pemandangan semanis itu terlihat sangat indah. Itu dulu, sebelum semuanya berubah, tapi ya sudahlah. Semua sudah berlalu, tidak baik mengungkitnya

Suara dahan yang saling bergesekan, membuatku ingin memejamkan mata. Tiba-tiba aku teringat pada Clara. Kuambil ponsel di dalam saku celana dan langsung menghubunginya.

Hanya dalam hitungan detik dia langsung mengangkatnya dan berteriak kencang. Aku reflek menjauhkan ponsel dari telingaku.

"Lo ke mana? Kenapa nggak ada kabar?" ujar Clara.

Aku tertawa sambil meminta maaf karena lupa memberitahunya kalau pergi ke Puncak untuk berlibur. Lagi pula, ini kan masa-masa liburan sekolah setelah semesteran.

"Lo kangen sama gue?" ujarku meledeknya.

Clara mengumpat sangat panjang, hal itu membuatku tergelak. Anak ini kalau marah selalu saja pakai umpatan, nggak ada sopan-sopannya.

"Gue lagi kesel, Ra."

Suasana heboh sebelumnya mendadak sunyi, Clara di sebrang sana tak bersuara. Dia masih mendengarkan kelanjutkan ceritaku.

Aku menceritakan semua kejadian dari insiden aku membentak Kaina. Lalu hari ini, dia menolak sarapan pagi dengan alasan konyol. Nggak suka bubur? Apa-apaan itu!

Aku mendesah, nggak tahu lagi mau berbuat apa. Semakin aku menjahilinya, wanita itu semakin dekat dengan ayah.

"Gue harus ngelakuin apa lagi ya, Ra?"

Beberapa detik aku tidak mendengar respon Clara, tapi saat dia memberi jawaban aku seperti menerima tusukan dari belati tajam.

"Kenapa lo nggak nerima dia aja, Mei?" ujar Clara dengan suara datar.

"Maksud lo?"

"Gue capek dengar lo ngeluh soal Kain Pel, daripada lo capek hati, mendingan lo terima aja. Gampang kan?" ujarnya.

Mana bisa begitu? Dia nggak tahu rasanya memiliki ibu baru setelah sekian lama ditinggal pergi oleh ibu kandung.

"Kok lo bilang begitu?"

"Aduh, Mei. Udah ya, gue masih ada kerjaan lain nih. Dah," tukasnya langsung mematikan ponsel.

Dasar cireng basi! Kok main matiin saja sih!

Aku sangat kesal, kenapa sih sama Clara ini? Nggak biasanya dia mengabaikan ceritaku.  ditambah lagi dari kemarin aku susah menghubungi Billy.

Krikil yang ada di depan kakiku langsung kutendang. Rasanya mau melepaskan kesal dengan cara apapun!

Akan tetapi, tiba-tiba saja aku mendengar suara orang mengaduh.

Mampus lah, apa jangan-jangan batu yang kutendang tadi mengenai kepala orang?

Aku segera berbalik hendak berlari, tapi kurasakan sebuah tangan menahan bahuku. Cengkramanya begitu kuat.

Oh Tuhan, sejak kapan di vila ini ada preman?

"Lo yang nendang batu barusan 'kan?"

Aku meringis mendengar suaranya yang berat itu. Mau berbalik, tapi takut. Kurasa posisi sekarang aman, lebih baik nggak usah menengok ke belakang.

"Bu, bukan gue! Salah orang kali!" ujarku.

Dia menarikku dan tubuhku otomatis berbalik. Aku reflek ingin memukulnya, rapi dia segwra menahan tanganku.

"Elo?" Dia langsung melepas tanganku dengan tiba-tiba.

Aku menatapnya. Wajah kami sama-sama terkejeut. Aku berkedip beberapa kali untuk memastikan apakah aku salah melihat atau nggak.

Senyum yang selalu terlihat indah, menyejukkan hati sampai aku nggak bisa melupakannya.

"Meisya?" panggilnya dengan wajah bingung.

"Bukan, gue Marsha," ujarku.

"Dan gue bearnya." Dia tertawa.

Kami berdua tergelak. Dia Fattah, kawan lamaku yang sempat pindah sekolah waktu masih SD. Aku nggak nyangka bisa ketemu teman lama di sini. Bahkan dengan perantara batu yang melayang mengenainya.

"Lo di sini? Sama siapa?" ujar Fattah.

"Sekeluarga."

"Alhamdulillah kalau sekeluarga, nggak kabur-kaburan lagi 'kan? Sudah bisa nerima ibu baru lo?"

Dia tersenyum. Diam-diam aku memperhatikannya. Ekpresi senyumnya nggak pernah berubah dari jaman dulu. Masih saja menggemaskan, gemas rasanya mau kupukul pakai sandal.

Fattah memang pindah sekolah, tapi dia selalu mengirimiku pesan. Sayangnya Fattah nggak punya akun medsos, jadi aku nggak tahu wajahnya seperti apa sekarang.

Aku mengajaknya duduk ke bangku di bawah pohon yang nggak jauh dari kami. Aku baru mau melangkah, tapi malah tersandung dan jatuh. Alhasil, celana dan tanganku kotor karena terkena lumpur.

Semalam hujan deras, jadi semua tanah di sini basah dan jadi becek.

Aku hendak bertanya sesuatu padanya, tapi tiba-tiba aku mendengar suara Kaina dan berteriak memanggil namaku.

Ya Tuhan, kok dia tahu aku ada di belakang vila?

Fattah menoleh ke sisi belakangku, dia kembali tersenyum dan menundukkan sedikit kepalanya memberi salam ke Kaina.

Oh ya, Fattah mengenali wajah Kaina karena waktu pernikahan ayah aku pernah mengiriminya foto wanita itu. Jadi, wajar saja kalau dia langsung menyapa Kaina.

Kaina memperhatikan Fattah dari atas sampai bawah.

"Teman Meisya?" tanya Kaina langsung.

"Iya tante. Tapatnya sih teman waktu masih kecil."

"Ngapain lo ke sini? Ngikutin gue ya?" ujarku memotong pembicaraan mereka.

Kaina dan Fattah melihatku bersamaan. Kulihat Kaina menghela napas dan Fattah yang mengerenyitkan dahi.

Aku berdecak, kenapa di mana-mana selalu ada Kaina? Dia ini manusia yang punya jurus teleportasi ya?

"Mama-"

"Siapa yang lo sebut mama? Lagian lo ngapain sih di sini? Ngerusak pemandangan tau nggak!"

Fattah menyentuh bahuku, dia menegur ucapanku barusan. Katanya nggak sepantasnya aku bicara seperti itu ke Kaina.

Aku bergeming, lupa kalau Fattah nggak pernah tahu bagaimana komunikasi antara aku dan Kaina. Karena menurutku aku dan dia nggak terlalu dekat, jadi aku nggak pernah mau cerita. Hanya Clara dan Billy yang mengetahui, tapi Clara mulai bosan dan langsung mematikan panggilan secara sepihak.

Aku mendekati Kaina, aku ingat kalau tanganku masih basah oleh lumpur. Kuraih lengannya sejanak sambil tersenyum.

"Mau ikut gue jalan-jalan?" ujarku barusan dan malah disambut teriakan Kaina.

Kalau saja aku nggak langsung menutup telingaku, aku yakin pasti gendang telingaku langsung pensiun dini, deh.










To be continued ...
Senin, 09 November 2020

917

I HATE TO LOVE YOUWhere stories live. Discover now