BAB 6B

55 8 0
                                    

Suasana rumah malam ini lebih sunyi dari biasanya. Setiap hari nggak ada seru-serunya. Sepi seperti hati yang nggak berpenghuni.

Aku berjalan ke balkon, dari sini bisa kulihat Pak Mamat sedang berbicara dengan Pak Ujang, satpam kami. Kalau Bi Nana, mungkin dia sedang di kamarnya. Lalu Kaina? Nggak tahu deh, mungkin lagi telponan sama ayah.

Pandanganku tertuju pada langit malam. Gelap, nggak da bintangnya, mungkin bintangnya sedang mengungsi ke tempat orang-orang yang sedang bahagia.

Saat ini baru jam 20.00 WIB, cacing di perut tumben banget minta nutrisi di jam sekarang. Biasanya kalau malam nggak pernah lapar.

Aku pergi ke dapur, jalan dari kamarku ke dapur melewati kamar Kaina dan Ayah. Waktu melewati depan kamarnya aku sempat melihat kalau pintunya nggak tertutup rapat.

Nggak tahu kenapa aku jadi penasaran dengan apa yang dilakukan Kaina saat ini. Namun, ketika aku melihatnya dari balik pintu, ia sedang mengenakan peralatan solat.

Kaina terlihat khusyuk ketika sedang beribadah. Aku bergeming menyaksikannya. Entah, kenapa hatiku mendadak hangat.

Nggak! Nggak! Aku nggak menyukainya! Apaan sih, ngga boleh sampai menyukainya, wanita ini penuh misteri. Aku masih belum tahu apa tujuannya menikah dengan ayah.

Aku kembali memperhatikannya, tiba-tiba pandangan kami bertemu ketika Kaina sedang melipat sajadah. Aku terkesiap, nggak nyangka kalau dia akan melihatku.

"Meisya?" panggilnya.

Naluriku bergerak sendiri, aku lari dari sana dan pergi ke dapur. Sempat kudengar dia memanggil namaku tapi nggak kugubris seperti biasa.

Tubuhku bergetar. Rasanya aneh. Ada ketakutan yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya. Melihat Kaina tiba-tiba mengingatkanku pada almarhumah bunda. Dulu, kami sering melakukan ibadah bersama, tapi semenjak bunda meninggal aku nggak pernah melakukannya lagi.

Tuhan sudah mengambil apa yang menjadi milikku dengan cara yang kejam, lalu kenapa aku harus kembali meminta dan berdoa pada-Nya?

Aku duduk di kursi makan, Bi Nana datang menyapa sambil bertanya apa ada yang kuinginkan. Aku hanya menggeleng, rasa lapar yang tadi kurasa tiba-tiba hilang nggak tahu kemana.

Bi Nana masih di sampingku, ia menarik kursi yang da di sebelahnya. Kulihat Bi Nana sedang tersenyum kearahku sambil mengusap kepalaku seperti biasanya.

"Mbak Meisya mau makan?" tanya Bi Nana.

Aku menggeleng, hanya senyum yang mampu kuberikan. Belakangan ini sudah banyak kejadian yang nggak bisa aku atasi sendiri. Semua seakan datang secara beruntun.

"Bibi buatkan susu coklat, ya." Bi Nana meninggalkanku ke dalam dapur.

Aku masih bergeming ditempatku. Kepala ini seakan nggak bisa mikir jernih. Aku menghela napas yang sudah kesekian kali hari ini.

Andai saja ada hal kecil yang bisa membuat suasana hati membaik, mungkin aku bisa merasa lebih nyaman untuk melakukan apapun.

Jam di dinding kini menjadi perhatianku. Setiap detiknya ia mampu membuatku semakin merasa kantuk. Namun tiba-tiba ponselku berdering. Kulirik sekilas ada nama pengirim pesan di layar. Dia Fattah.

"Malam, Mey. Besok hari minggu, Umi  menyuruhku untuk mengajakmu ke rumah. Katanya kangen."

Aku lupa kalau besok hari minggu. Sepertinya nggak ada salahnya kalau aku menerima ajakan Fattah. Lagi pula uminya Fattah teman ibuku, sudah lama juga nggak berkunjung ke sana.

Bi Nana meletakkan susu coklat di meja. "Terima kasih, Bi."

Bi Nana tersenyum seperti biasa. Ia kembali duduk di sampingku dan bertanya kenapa aku senyum-senyum sendiri sambil menatap ponsel.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 06, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I HATE TO LOVE YOUWhere stories live. Discover now