Bab 1B

61 11 4
                                    

Akibat berdebat dengan ayah beberapa hari lalu, aku sampai lupa bagaimana cara tersenyum dengan benar. Setiap pagi wajahku seperti pantat ayam yang mau berak, susah banget buat senyum. Pergi sekolah pun rasanya nggak nyaman. pengennya jadi ratu rebahan di rumah sepanjang hari.

Aku masih nggak ngerti sama ayah, katanya cinta mati sama bunda, kok tiba-tiba bilang mau nikah. Nggak hanya itu, Ayah juga semakin rajin mengajak wanita itu ke rumah. Katanya sih biar akrab denganku.

Boro-boro akrab, setiap melihat wanita itu hatiku rasanya mau ngajak perang terus. Darah tuh ngalirnya cepat banget dari kepala sampai ujung kaki. Ini kalau ada lomba cepat-cepatan darah, mungkin aliran darahku yang menang.

Nama wanita itu Kaina Pelangi. Bagaiman aku bisa mengetahuinya? Jelas diberitahu ayah. Ayah bilang aku harus akrab sama calon ibu baruku. Sumpah, males banget tau nggak sih! Akrab karena dipaksa itu apa enaknya?

Ditambah lagi mereka akan menikah minggu depan. Dalam waktu sesingkat itu, apa bisa aku bikin ayah dan wanita itu berjauhan?

Bukannya aku jahat sama ayah, aku hanya takut kasih sayang ayah akan berat sebelah dan ayah hanya mementingkan istrinya. Sudah banyak bukti di luar sana tentang pernikahan kedua dan anak yang terlantar.

Mungkin kalau dibuat film, sudah ada ratusan kisah ratapan anak tiri.

Kuraih ponsel di atas meja dan mengetikkan namanya di kolom search Instagram. Muncul beberapa nama yang mirip, mataku terpaku pada nama dan foto yang mirip dengan Kaina.

“Yaelah, pake di-privacy segala akunnya. Masa kudu gue follow dulu, sih!”

Aku bergeming beberapa saat sambil mencari cara untuk bisa mendapatkan informasi tentang Kaina. Lumayan ‘kan kalau nemu salah satu aibnya, bisa jadi bulan-bulanan biar dia kapok sama kelakuanku lalu pergi meninggalkan ayah selamanya.

Hampir dua jam aku mengutak-utik semua akun sosial media, mulai dari facebook, Instagram, Twitter, Tiktok tapi nggak ada satu pun informasi yang bisa aku dapatkan. Dia hanya punya instagram, itupun di-privacy. Duh ini orang nggak mengikuti jaman banget, ya? Masa nggak ada akun lain, sih?

Ya Tuhan, apa ini yang dinamakan kualat sebelum berbuat jahat?

Nggak ada yang bisa kulakukan lagi, malam ini aku hanya berbaring di atas kasur sambil mencari cara supaya wanita itu kapok dan nggak jadi nikah sama ayah. Jangan harap deh nemuin ketenangan hidup kalau sudah berhadapan denganku, Meisya Yasmine Arashi!

Ponselku tiba-tiba berdering, panggilan telepon yang bisa kutebak siapa pelakunya. Ini orang nggak punya akhlak banget nelpon jam 11 malam.

“Kenapa nelpon malam-malam?” ujarku agak malas.

“Hati gue nggak tenang, kepikiran lo terus dari tadi.”

“Jijik banget dengarnya.” Aku menggerling malas. Orang di seberang sana tergelak.

Ini Clara, salah satu temanku dari SMP. Anaknya luar biasa cerewet. Mungkin kalau ngumpul sama ibu-ibu sosialita mulutnya semakin nggak bisa dikontrol sangking berisiknya. Aku sendiri saja sampai nggak mau dekat-dekat kalau dia lagi ngomong. Gendang telingaku bisa pensiun sebelum waktunya.

“Jadi gimana soal ibu baru lo?” ujarnya penasaran. Dasar ratu gosip!

“Jangan bahas dia dulu deh. Gue nyari informasi soal dia nggak dapat-dapat, nih.” Aku menggigit kuku ibu jariku. Kebiasaan buruk kalau sudah pusing pasti begini. Nggak cacingan saja sudah syukur.

Clara bilang, aku nggak boleh terburu-buru mencari informasi soal Kaina.  Kalau aku mau membuat wanita itu pergi dari kehidupan ayah, harus pakai cara yang elit biar elegan juga dramanya.

Clara paling jago soal menyusun strategi untuk melawan pelakor, tapi bunda sudah lama meninggal, apa masih bisa dibilang pelakor? Terserah apa namanya, yang jelas aku nggak suka kalau ayah menikah dengan Kaina atau wanita manapun di dunia ini.

Wanita itu nggak akan bisa tulus mencintaiku sebagai anak. Dia hanya menyukai ayahku yang tampan. Kalau mereka sudah menikah, aku pasti jadi pembantu di rumah sendiri seperti film di TV dan novel-novel yang pernah kubaca.

“Besok jam istirahat kita obrolin lagi deh. Gue juga masih penasaran sama calon emak baru lo itu.” Aku bisa mendengar suaranya kantuknya.

Salah sendiri telepon kok nggak pakai adab.

Panggilan kami berakhir tanpa salam dan pamitan. Yap, aku sengaja mematikannya sepihak. Kelamaan kalau nunggu dia yang memutus panggilan.

Aku hendak memejamkan mata, tapi suara ketukan pintu kamar begitu mengganggu. Ya Tuhan, Bi Nana mau ngapain sih jam segini.

"Apaan sih, Bi? Nggak lihat sekarang jam berapa? Mataku sudah demo minta tidur!" geramku sambil membuka pintu.

Saat pintu terbuka, mata yang tadinya tinggal lima wat tiba-tiba jadi ribuan wat. Bi Nana ternyata berubah jadi Ayah.

"Kamu punya waktu senggang, sayang?" tanya ayah.

Aku tidak menjawab, jujur aku malas. Paling juga mau membahas Kaina. Waktuku terlalu berharga kalau hanya untuk itu.

"Besok bisa?" ujarku.

Ayah bergeming sesaat sebelum mengatakan sesuatu. Aku diajak turun ke lantai satu untuk berbicara. Rasanya hati mau menolak, tapi wajah ayah terlihat begitu lelah dan penuh harap agar aku bersedia menemaninya.

Kalau sudah memasang wajah begini, aku mana tega?

Akhirnya aku mengikuti ayah. Kami duduk bersampingan. Keheningan menyapa cukup lama. Mungkin kalau ada tetangga iseng menyalakan petasan, kami berdua bisa terkejut dibuatnya.

"Kamu masih marah sama ayah?" tanya ayah.

"Ayah minta maaf kalau baru bilang sekarang. Pernikahan ini juga berlangsung lebih cepat dari perkiraan."

Ayah mengubah posisi duduknya dan menarik bahuku untuk melihat ke arahnya.

"Dia wanita yang baik, Mei. Ayah yakin kamu bisa meberimanya. Tolong ... Ayah butuh dia."

Aku berdecak sebal. Benar 'kan yang kubilang. Ayah lebih mencintai wanita itu dibandingkan aku. Belum menikah saja sudah berhasil memonopoli kasih sayang ayah, bagaimana kalau nanti sudah menikah? Bisa-bisa aku jadi penbantu dan manusia asing do rumah sendiri.

Aku menepis lengan ayah. Kutatap matanya yang selama ini selalu setia padaku dan bunda, tapi kini sudah berdusta.

"Aku menolaknya, ayah!" ujarku tegas.

"Kenapa sayang?"

"Siapa yang tahu kedepannya nanti? Ayah bisa saja membagi cinta atau bahkan melupakan aku yang jelas-jelas anak kandung Ayah!"

Hening. Kami berdua sama-sama diam setelah suaraku memenuhi ruang tamu. Jujur saja, ini pertama kalinya aku berteriak di depan ayah.

Kepalaku terlalu panas untuk berpikir jernih. Setelah teriak barusan, aku baru merasa ada kelegaan. Sepertinya metode ini bisa aku gunakan di lain waktu jika aku sedang kesal.

Kupikir ayah akan balik memarahiku, ternyata dugaanku salah. Tangan besarnya mengusap pucuk kepalaku, ayah juga membawaku ke dalam pelukannya. Aku bisa mendengar tawa ayah yang sudah lama kurindukan.

"Kenapa kamu mikirnya sampai ke sana, sayang?" Ayah melepas pelukannya, "you're the one in my heart."

Aku tidak menjawab, isakanku semakin menjadi. Sepertinya ingus di hidung siap untuk keluar menghiasi wajahku.

Lupakan dulu soal Kaina dan pernikahan. Aku mau malam ini menjadi orang pertama yang mendengarkan suara tawa ayah sampai puas setelah sekian lama.


.


To be continued ....
Jum'at, 23 Oktober 2020

(1040)

Bab selanjutnya ada di akun Kak dyahayu55 yaaaaaa

POV milik Kaina dibuat oleh beliooo

I HATE TO LOVE YOUजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें