1C

166 15 10
                                    

Mahesa Dwipangga. Aku mengenalnya delapan bulan yang lalu secara tidak sengaja. Kami bertabrakan saat dia berlari menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD). Ada pasien kecelakaan lalu lintas yang butuh penanganannya segera. Karena terlalu terkejut, aku bergegas pergi secepat kilat. Tanpa mengucap maaf, atau apa pun.

Namun, nahas. Akibat benturan itu, kakiku keseleo. Saat berlari, aku tidak merasakan sakit sama sekali. Aku hanya ingin segera sampai di ruanganku. Aku baru merasakan sakitnya saat telah tiba di tempat peracikan. Nyeri di pergelangan kaki kurasakan semakin hebat hingga tidak mampu berdiri. Dhita segera memapahku untuk duduk.

Awalnya, aku bertahan untuk mengobatinya sendiri. Aku telah mengompresnya dengan es batu. Aku juga sudah menyiapkan heparin jika nyeri tidak kunjung membaik. Sayangnya, Dhita terlalu mengkhawatirkanku. Paksaannya ke poli ortopedi, tidak bisa lagi aku tolak.

Dhita memegang erat tanganku saat dokter akan memeriksa. Dia sangat paham bahwa aku tidak suka diperiksa. Keringat dingin mengucur di pelipisku. Bukan lagi karena sakit, tapi aku benci saat dokter spesialis ortopedi itu menekan area sekitar pergelangan kaki.

"Apa ini sangat menyakitkan?" tanyanya.

Aku menggeleng. Mengatakan tidak. Namun, air mata telah menetes di kedua pipiku.

"Maaf, tadi saya buru-buru."

Sementara aku masih mencerna kalimat itu, Dhita bersuara dengan kagetnya. "Dokter yang menabrak Kaina?"

"Iya."

Dia melihatku sebentar. Aku segera memalingkan wajah.

"Maaf, saya perlu melakukan ini. Teriakkan jika sudah tidak tahan," ujarnya sebelum menggerakkan pergelangan kakiku ke berbagai arah.

Aku berteriak pada setiap gerakan yang dia lakukan. Tangisku kembali pecah.

"Sakit sekali?" tanyanya.

"Nggak," kataku sambil mengusap air mata dengan kasar.

Dia terlihat kebingungan hingga kemudian Dhita meledek, "Kaina itu kayak anak kecil, Dok. Takut diperiksa."

Dia terkekeh-kekeh. "Berarti nggak terlalu sakit, ya?"

"Nggak!" jawabku cepat. "Cuma pas gerak ke sini saja sakitnya." Aku menunjuk pergelangan di sisi yang dekat dengan mata kaki.

"Angkle sprain. Kamu harus istirahatkan kakimu dulu. Jangan digunakan berjalan."

"Tapi boleh pulang, kan, Dok?" tanyaku. Khawatir diminta rawat inap. Aku benci jika harus ada pemeriksaan maupun pengobatan lebih lanjut. Aku tidak suka diperiksa.

"Boleh. Tapi saya antar."

"Kenapa begitu?"

"Apa kamu bisa pulang sendiri dengan kondisi kakimu itu?"

Aku menggeleng. "Tapi kan ada Dhita."

"No! Aku buru-buru!" jawab Dhita cepat.

Tidak ada alasan lagi. Sore itu, dengan segala perasaan yang tidak kusuka, dia mengantarku sampai rumah. Bahkan keesokan harinya, dia kembali datang. Memastikan kakiku baik-baik saja.

"Kenapa bebatnya dilepas?"

"Nanti saya pakai lagi!" jawabku cepat. Aku tidak mau dia menyentuh kakiku lagi.

Akan tetapi, dengan tidak tahu dirinya, dia meminta es batu pada mama.

"Sini!"

Aku yang tidak bisa bergerak banyak, hanya menurut. Apalagi, melihat mama yang sudah mengancamku melalui matanya, jika aku menolak.

Dia tidak canggung mengompres, mengoleskan obat, lalu membebat pergelangan kakiku.

"Bebat ini untuk menopang kakimu, meredakan bengkak, dan mengurangi pergerakan."

Aku hanya bisa mengangguk mendengarkan titahnya.

Begitulah, dia menjadi rutin datang setiap hari hingga aku dinyatakan sembuh. Aku yang pada mulanya takut diperiksa, lalu mulai terbiasa. Aku tidak lagi menangis, menjerit, atau melakukan kekonyolan lain.

Saat awal aku kembali masuk kerja, dia dengan suka relanya mengantar jemputku. Dia bilang, itu sebagai bentuk tanggung jawabnya. Perbuatannyalah yang menyebabkan kakiku cedera.

Sikap dia yang sangat perhatian, mendapatkan penilaian tersendiri dari mama dan papa. Ketiganya menjadi dekat, meruntuhkan pertahananku hingga aku pun jatuh cinta padanya.

Sebenarnya aku bukan sama sekali tidak mengenal Dokter Mahes sebelumnya. Telah lima tahun kami bekerja di rumah sakit yang sama. Namanya sering kutemukan dalam lembar resep yang disodorkan para pasien atau keluarganya kepadaku. Namun, hanya sebatas itu saja.

"Kaina yang ada dalam pikiran Dokter itu hanya sebuah struktur. Wujud Kaina ada di sini. Jadi, jangan hanya diangan saja, Dok. Sampaikan."

Candaan dari para dokter, teman sejawatnya, kerap kuterima setiap kali dia bertandang ke ruanganku. Aku menjadi risih dan sangat terbebani. Dengan segala perhatian yang ditujukan padaku, duda satu anak itu belum pernah menyatakan apa pun.

Hingga suatu ketika, tiga bulan yang lalu, seorang juniornya berani mengatakan, "Kapan diajak nikah, Dok? Atau boleh saya tikung, nih?"

Candaan yang dilontarkan di kantin saat makan siang itu tidak dia tanggapi dengan senyum simpul atau tawa kecil seperti biasanya. Dia justru mendelik, meninggalkanku bersama teman-temannya. Menyebalkan!

Lalu malam harinya, tanpa kuperkirakan sebelumnya, dia datang pada orang tuaku, melamarku pada mereka. Tidak ada penolakan dari mama dan papa. Pun demikian denganku yang telah memendam rasa.

Kerikil kecil kudapati dua bulan yang lalu. Penolakan dari Meisya. Putrinya yang duduk di bangku kelas 1 SMA itu tidak menerimaku. Begitulah kesan awal pertemuan kami. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pada pertemuan berikutnya, Meisya bisa menerimaku dengan baik. Dia telah mengizinkan aku menikah dengan ayahnya.

Maka, tibalah hari ini, di hadapan semua orang, dia mengucap sumpah hingga membuat arasy bergetar. Sumpahnya disaksikan langsung oleh Allah dan seluruh penduduk langit.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Kaina Pelangi binti Kusuma Rahardian dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Kalimat 'sah' menggema dalam ruangan sakral ini. Hanya ada akad nikah dan pesta kecil yang menghadirkan keluarga dan teman dekat saja. Mas Mahes mewujudkan keinginanku agar tidak menggelar acara yang besar. Aku merasa enggan untuk berhadapan dengan orang banyak, termasuk di hari pernikahanku.

Tangis haruku berbuah menjadi keringat dingin saat pesta akan dimulai. Satu per satu orang-orang yang menaiki panggung memberikan debaran tersendiri bagiku. Kurapalkan sugesti berkali-kali, semua akan baik-baik saja.

Aku menelungkupkan tangan demi menghindari jabat tangan dengan para tamu. Namun, rupanya tidak semua mengerti. Bahkan ada saja yang menarikku dalam pelukannya, membuat dadaku sesak akibat kerja jantung yang memompa darah lebih cepat dari seharusnya.

Berulang kali, aku berusaha menenangkan diri. Mencoba tersenyum dan bersikap seramah mungkin demi menghalau kerasnya degup jantung.

"Selamat, ya, semoga bla bla bla...."

Aku tidak lagi bisa mencerna kalimat tamu yang dengan mudahnya menempelkan pipinya pada pipiku. Dia teman Mas Mahes. Dokter juga sepertinya. Pipi kami saling menempel. Pipiku dan pipinya. Sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak bergidik.

"Kamu capek?"

"Ha?" Aku tidak lagi bisa fokus. Sungguh, aku benci pesta.

"Kamu pucat, Na."

Aku menggeleng. Meski rasanya aku ingin segera pergi dari tempat ini, tidak mungkin aku lakukan. Bagaimana pun, ini adalah pestaku. Mereka datang ke sini demi merayakan hari bahagiaanku. Seharusnya aku bahagia karenanya. Tapi....

I HATE TO LOVE YOUWhere stories live. Discover now