3C

71 11 2
                                    

"Dasar Nenek Sihir!"

Kalimat itu begitu ringannya terlontar dari mulut anak suamiku. Dia menyalahkanku. Dia marah karena aku memintanya tidak berhubungan dengan pacarnya.

Padahal, bukan tanpa sebab aku melakukannya. Dia bukan laki-laki yang baik. Aku pernah melihatnya dulu. Aku pastikan, aku tidak salah.

Ketika itu, dia sedang bermesraan dengan seorang perempuan dan itu bukan Meisya.

Tadi pun, saat dia di sini, sama sekali tidak menunjukkan kesopanannya. Duduk dengan kaki diangkat, lalu bersiul saat ada aku di dekatnya. Sungguh tidak beretika! Aku tentu tidak akan mengizinkan Meisya untuk dekat dengannya. Bahkan berteman saja sebaiknya tidak.

Gebrakan pintu terdengar. Aku sedikit terpekik, tapi lalu menguasai diri. Meisya kembali pada tingkahnya. Masuk kamar dan menutup pintu dengan sangat keras.

"Bu...."

Bi Nana datang menghampiriku dengan wajah empatinya. Aku tersenyum simpul.

"Nggak apa, Bi."

Aku melihat Bi Nana seperti serba salah. Wajahnya yang menunjukkan itu.

"Udah, Bibi beresin ini saja," ucapku.

Bi Nana mengangguk patuh. Piring Meisya masih penuh dengan nasi dan lauk. Anak itu tadi menghentikan makannya.

Apa aku salah telah menegur dia? Apa aku salah mengatakan bahwa laki-laki itu tidak pantas untuknya? Aku melakukan itu demi kebaikan Meisya.

"Bi, piring Meisya biar saya antar ke kamarnya."

Dia harus makan. Aku tidak mau Meisya jatuh sakit. Akulah yang bersalah telah tidak tepat waktu untuk berbicara.

Kuketuk pintu kamarnya perlahan.

"Mei, ini mama."

Tidak ada sahutan. Aku tetap bersabar berdiri di depan pintu kamarnya.

"Meisya?" Aku memanggil nama anakku lagi.

Pintu terbuka seketika. Aku sendikit terkejut, tapi lekas menguasai diri. Meisya berdiri di depanku seraya berkacak pinggang. Matanya melotot dengan tatapan menantang.

"Ganggu banget sih lo! Mau apa lagi?"

Aku menggeragap. Anak ini selalu membentakku.

"Habiskan makananmu, Mei."

"Udah nggak nafsu!"

"Tapi kamu harus makan. Mama nggak mau kamu sakit."

"Lo ngedoain gue sakit?"

"Bukan begitu, Mei."

Pintu kembali dihempas kuat. Aku nyaris terjengkang karena terlalu terkejut. Aku mundur beberapa langkah, menatap pintu yang sudah tertutup dengan nanar.

Sesulit ini kah untuk menjadi ibu yang baik baginya?

Aku mengganjur napas, lalu melepaskannya perlahan. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan bahwa penyesuaianku dengannya akan seberat ini.

Suara musik lalu nyaring terdengar dari kamarnya diiringi dengan teriakan-teriakan dia mengikuti lirik lagu itu. Ah, bagiku itu bukan sebuah nyanyian.

Aku melangkah cepat menjauhi kamar Meisya. Sedikit berlari agar segera sampai ke kamar.

Telingaku kembali berdengung. Nyatanya, meski aku telah di dalam kamar, suara musik yang dinyalakan Meisya tetap aku bisa aku dengar. Entah apa yang terjadi pada anak itu. Mengapa dia senang sekali membuat kegaduhan?

Aku memilih bergelung di bawah selimut. Kugunakan headset untuk menyumpal telinga. Aku benci suara nyaring itu.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aku segera terduduk melihat siapa yang datang.

"Mas...."

Aku mendesah lega. Ternyata Mas Mahes sudah datang. Pantas saja kegaduhan dari kamar Meisya sudah tidak lagi terdengar.

Kusambut tangan suamiku dan kuciumnya dengan khidmat. Mas Mahes melihatku beberapa saat.

"Wajahmu pucat, Na." Dia menyentuh keningku dengan punggung telapak tangannya. "Kamu sakit?"

Aku menggeleng. "Nggak, Mas. Aku baik."

"Ada masalah di rumah?"

Aku menggeleng. Enggan bercerita apa pun yang terjadi. Ini masalahku. Mas Mahes tidak perlu tahu. Aku tidak ingin membebani pikirannya.

"Meisya berulah?"

"Nggak!" seruku sambil menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa kok, Mas. Suer."

Aku mengacungkan telunjuk dan jari tengahku sambil tersenyum semanis mungkin. Tidak ketinggalan, kukedipkan mataku dengan centil.

Mas Mahes tertawa lalu mengusap kepalaku dengan sayang.

Kesedihan dan kejengkelanku pada Meisya, menguap seketika. Tergantikan oleh perasaan hangat yang menyeruak dada karena suamiku.

I HATE TO LOVE YOUWhere stories live. Discover now