3D

68 10 0
                                    

Selesai makan malam, Mas Mahes melarang Meisya masuk kamar. Dia telah berubah menjadi anak yang manis sekarang. Gadis itu menurut. Dengan manjanya, dia menarik-narik tangan ayahnya. Meminta untuk lebih dekat dengannya. Meisya lantas beringsut di sisi kiri Mas Mahes.

Aku hendak beranjak, memberikan kesempatan kepada keduanya. Akan tetapi, tangan suamiku menggenggamku erat. Mempertahankan aku di posisi sebelah kanannya. Aku menurut, meski tidak mendekapnya seperti Meisya.

Aku duduk di sebelahnya, menghadap televisi dan berusaha untuk tidak menoleh kepada bapak dan anak itu. Aku takut, Meisya akan risih jika mata kami bersitatap.

"Mau liburan, nggak?"

Mas Mahes membuka suara. Menghentikan keheningan dari kami bertiga. Aku mengecilkan suara televisi, nyaris hingga nol.

"Mauuu."

Meisya berteriak antusias. Dia selalu manis jika ada Mas Mahes di sampingnya.

"Gimana, Ma?"

Di depan Meisya, Mas Mahes memanggilku mama. Mungkin untuk membiasakan anaknya agar memanggilku demikian.

"Boleh," jawabku seraya tersenyum.

"Ke mana ya?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Mahes. Sedang tidak memiliki ide akan berlibur ke mana. Aku ke mana saja oke, asalkan....

"Ke puncak aja gimana, Yah?"

Matilah aku. Kukira Meisya akan mengajak berlibur ke Pantai Senggigi seperti keinginannya kala itu. Namun, ternyata justru puncak pilihannya. Aku membesarkan hati untuk menerima. Tidak masalah. Asal, Meisya tidak membuat ulah di sana. Seperti mengajakku ke tebing.

"Gimana, Ma? Setuju?"

Aku mengangguk seraya tersenyum riang. Menutupi kegelisahan yang mulai bermunculan di dalam hati. Bagiku, tempat terbaik yang paling menyenangkan adalah kamar. Bukan karena aku pengantin baru. Akan tetapi, memang speerti itulah. 

Aku selalu butuh waktu untuk beradaptasi dengan tempat baru. Itulah sebabnya aku lebih suka dan lebih nyaman berdiam diri di singgasanaku. Berlibur pun, aku selalu memilih tempat yang itu-itu saja. Tempat yang sudah terbiasa kami datangi.

Bukan apa-apa, tidak jarang aku akan merengek meminta pulang jika ternyata tempat wisata yang kudatangi tidak sesuai dengan pilihaku. Jika itu terjadi, mama dan papa tidak akan mengambil risiko. Beliau akan menurut, menggagalkan liburan dan kami kembali ke rumah. Setelah aku dewasa, aku hampir tidak pernah berlibur dengan teman-temanku. Sekali lagi, aku lebih nyaman berada di rumah.

Namun, kali ini agaknya aku harus menyesuaikan diri lebih ekstra. Tidak mungkin jika aku nanti mengacaukan liburan yang telah diidamkan oleh Mas Mahes dan Meisya. Aku harus mempersiapkan diri segalanya agar dapat tetap berada dalam situasi yang nyaman dan menggembirakan.

"Oke. Besok berangkat sepulang ayah kerja."

Setelah terjadi kesepakatan, Meisya pamit ke kamarnya. Mas Mahes mencium kening putrinya dengan suka cita. Kulihat raut wajah Meisya pun tempak sangat ceria. Kebahagian memancar dari bola matanya yang jernih.

Sesaat sebelum Meisya berbalik, kalimat Mas Mahes membuat kami sama-sama terperanjat.

"Cium mama juga, Mei."

Aku dan Meisya saling berpandangan. Degup jantungku bertalu. Sesaat, kurasakan dunia berhenti berputar. Cium? Aku yang akan mencium Meisya atau dia yang akan menciumku. Aku terpaku menatapnya yang terlihat enggan.

"Kapan-kapan saja, ya. Dah Ayah, dah Mama."

Dengan cerianya Meisya mengucapkan itu sebelum berlari kecil menuju kamarnya. 

Seharusnya aku merasa lega. Meisya tidak jadi menciumku dan aku terbebas dari permintaan Mas Mahes untuk mencium anaknya. Akan tetapi, ada rasa tercubit yang menyeruak di dalam hati. Aku merasa seperti terolak dan penolakan itu ternyata menyakitkan.

"Maafkan Meisya, ya."

Aku menggeragap. Tersenyum hambar. Bukan salah Meisya. Toh aku sendiri sebenarnya enggan mencium anak itu. Pun demikian sebaliknya, aku juga tidak bersedia jika Meisya menciumku.


I HATE TO LOVE YOUWhere stories live. Discover now