4A

68 9 0
                                    

Sesuatu yang basah, hitam, dan dingin menyentuh kulit lenganku. Darahku mengalir cepat menuju pusat saraf. Mengantarkan gelenyar aneh yang membuatku bergidik ngeri. 

"Aaaaaaaa."

Aku berteriak kencang tanpa peduli sekitar. Aku benci sesuatu yang menempel pada lenganku. Menjijikan. Benda hitam lembek itu membuat perutku bergejolak dan ingin memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalam sana. Tidak! Aku tidak mual.

Pandanganku terasa kabur. Pening mendera. Aku bukan sedang pusing. Bukan juga sedang sakit kepala. Aku hanya tidak suka dengan jemuas di tanganku. Napasku memburu. Aku tidak sanggup melihatnya. Terlalu memuakkan.

"Apa sih lo teriak-teriak!"

Gadis biang kerok itu mengembalikan kesadaranku. Dia melihat dengan sorot kebencian. Kurasakan kini mataku panas. Aku tidak suka situasi ini. Aku tidak ingin menangis. 

"Kenapa lo?"

Si pembuat onar itu mendekat. Dia memicingkan mata melihatku seakan keheranan.  Aku terkesiap. Rasanya kelopak mataku telah tidak sanggup lagi menahan air mata yang hendak menetes. Sialan! Kenapa aku harus secengeng ini?

"Gue tuh mau ajakin lo ke atas sana."

Meisya tidak lagi membentak. Aku bergeming. Tuhan, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Anak itu pasti salah sangka. Aku benar-benar tidak sengaja. Seluruh respon tadi di luar kendaliku. Aku bukan tidak suka padanya. Bukan. Hanya saja....

"Mama... mama...hanya kaget," tukasku menggeragap.

Sebisa mungkin aku menyembunyikan ketakutan. Juga ketidaksukaan pada lenganku. Kenapa lumpur itu harus menempel di sini? Astaga! Aku harus apa sekarang? Bagaimana caraku membersihkannya? Bagaimana caraku membawa lengan ini? Aku kembali bergidik.

"Ayo!" 

Aku segera menepis tangan Meisya yang akan kembali menyentuh lenganku. Dia terbelalak. Tidak suka pada penolakanku. Ya, dia pasti mengira aku benci padanya. Dia pasti mengira aku tidak menyukainya.

"Mei," panggilku.

Aku melihatnya dengan tatapan sendu. Mencegah hatinya untuk berprasangka. Aku ingin dia menerimaku.

Dia kembali mendekat. Kali ini dengan tangannya yang bersih, dia menarik lenganku yang penuh lumpur. Aku telah tidak peduli pada apa yang akan terjadi. Aku tidak ingin berpikir tentang apa pun. Aku hanya ingin Meisya tidak merasa aku tolak kehadirannya.

Kami melangkah tanpa aku tahu akan kemana. Aku memejamkan mataku erat. Pandanganku tidak bisa mengarah pada tangan yang sedang dipegang anak tiriku. Juga tidak bisa menatap hamparan hijau di sekeliling kami. Beruntung aku tadi menggunakan sepatu kets lengkap dengan kaus kaki panjang. Juga celana panjang yang tebal sehingga kulit kakiku tidak bergesekan dengan ranting dan dedaunan.

Pegangan tangan Meisya terlepas. Aku masih berdiam diri dengan tetap memejamkan mata. Aku tidak berani membukanya. Aku takut.

"Buka mata lo! Apaan sih!"

Dia meninggikan suaranya lalu kemudian terkekeh-kekeh. Aku mengerjap. Ingin melihat apa yang sedang terjadi. 

Tidak!

Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa aku berada di atas sini? Bagaimana jika aku terjatuh lalu berguling nanti? Ya Tuhan! Ini tinggi sekali. Bagaimana caraku bisa turun?

Aku segera mengalihkan pandangan, menatap apa saja selain sesuatu di bawah sana. Meisya merentangkan kedua tangannya menghadap hamparan luas dedaunan di depan. Aku tidak berani mengikuti arah pandangnya. Aku hanya menatap anak suamiku itu dengan seksama. Dia menarik napas panjang lalu melepasnya perlahan seraya tersenyum. Kedua matanya berbinar cantik. Dia tampak sangat bahagia.

"Lihat itu, Mei."

Fattah menunjuk sisi lain yang tidak kuikuti arah pandangnya. Aku memilih memfokuskan penglihatanku pada Meisya seorang. Aku tidak akan mengambil resiko yang kemudian akan kembali disalahartikan oleh gadis itu.

"Wow! Bagus banget!"

Meisya terpekik sangat gembira. Aku menjadi penasaran, apa yang sedang dilihatnya. Perlahan, aku menoleh. Kugerakkan sedikit badanku agar condong menghadap arah yang ditunjuk Fattah. Pelan, aku menyorotkan pupilku pada objek yang sedang dikagumi kedua anak itu. 

"Aaa...."

Seharusnya aku tidak mengikutinya. Seharusnya aku tidak penasaran dengan apa yang mereka berdua lihat. Di sana... di bawah sana... rumah-rumah itu terlihat kecil. Sangat jauh di bawah dan....

Aku telah tidak sanggup lagi membayangkan. Kini, pandanganku bukan lagi kabur seperti tadi, melainkan gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Oksigen di sekitarku seolah pergi menjauh hingga tidak bisa kuhirup lagi. Dadaku semakin sempit, bajuku menghimpit. Aku sulit untuk hanya sekadar bernapas.

Lidahku kelu dan kini kakiku telah tidak dapat lagi menahan tubuhku. Aku lunglai. Tanpa daya, tanpa rasa, lalu semua menjadi gelap gulita.

========



Haiii.... Maafkan aku yang baru nongol ya...
Aku akan segera mengejar ketertinggalan, mohon doakan lancar.

Adakah yang sudah bisa menebak, ini Kaina kenapa sih kok gini banget ya? Pernah ketemu sama orang kayak Kaina nggak sih? Tangan kena lumpur aja segitu histerisnya.

I HATE TO LOVE YOUWhere stories live. Discover now