4B

62 6 0
                                    

Bau minyak kayu putih menyusup masuk indra penciumanku. Menenangkan. Ditambah dengan usapan lembut pada rambut yang kutahu pasti adalah tangan Mas Mahes. Tanpa membuka mata, aku bisa merasakan bahwa dia di sampingku.

"Sayang...."

Panggilan suamiku terdengar sarat kekhawatiran. Perlahan kugerakkan kedua kelopak mata.

Aku mengerjap, merasakan sentuhan lain di kaki. Lalu sekuat tenaga aku menarik kaki dengan cepat. Darahku berdesir bergerak cepat menuju kepala. Aku bergidik. Ngeri.

"Na? Ada apa, Sayang?"

Aku terkesiap, memperhatikan sekeliling. Suamiku menatap bingung. Sementara aku masih menetralkan detak jantung yang memompa bertubi-tubi, tangan itu kembali hendak menyentuh kakiku. Aku menyergahnya cepat.

"Ehm... eng... Nggak usah," ulangku halus. Aku tidak mau ada salah tafsir atas sergahanku tadi.

"Punten, Neng. Bibi cuma mau mijit. Biar enakan, kitu."

Sekali lagi aku menolak. Aku menggeleng dengan sorot mata memohon. "Nggak usah, Bi."

Aku berusaha duduk dengan dibantu suamiku. Menarik kaki agar tidak terlalu dekat dengan Bi Tati, orang yang baru kukenal pagi tadi. Kata Mas Mahes, dialah yang membersihkan vila ini setiap harinya. 

Orang lain memang selalu menganggap aku terlalu berlebihan bereaksi saat terjadi sentuhan dengan orang baru. Dhita sampai mengatakan, aku perlu menuliskan kata "Don't touch me" di jidatku saking parahnya aku memberikan respon. 

Aku paham dengan kebiasaanku yang selalu dianggap aneh ini. Akan tetapi, aku benar-benar tidak bisa mengendalikannya. Bahkan saat sekolah dulu, aku pernah di-bully. Dengan sengaja, teman-teman akan menyentuh lenganku, bahuku, hingga aku histeris dan berteriak kencang. Setelah itu, mereka tertawa terbahak-bahak menganggapku telah melakukan hal konyol. Sementara aku, tentu saja terpaku dengan menahan gejolak emosi antara marah, jijik, jengkel, dan entah apa lagi. Yang pasti, sesaat setelah sentuhan terjadi, aku butuh waktu untuk menormalkan detak jantungku kembali. 

Aku tidak tahu, ada apa sebenarnya denganku. Apa yang terjadi padaku hingga aku harus memberikan respon seperti itu. Jika ditanya, aku hanya menemukan satu kata sebagai jawaban. Risih. 

Reflek itu terjadi di luar kendali. Tanpa harus membuka mata, tanpa harus melihat, tubuhku bahkan bisa menentukan mana yang akan membuatnya histeris. Jadi, respon itu tidak berlaku pada semua orang. Jika orang yang menyentuh terasa dekat di hatiku, maka tubuhku bisa menerima. Seperti pada kedua orang tuaku, pada Mas Mahes, dan Dhita. Sedangkan pada Meisya, entahlah....

"Masih pusing?" Mas Mahes menanyaiku lagi.

Aku menggeleng, merasa baik-baik saja, tapi.... Apa yang telah terjadi tadi? Bukankah tadi aku bersama Meisya dan Fattah ke atas bukit sana?

"Kenapa bisa pingsan?" Ah ya! Aku pingsan tadi. "Apa Meisya membuat ulah?"

"Nggak!" jawabku cepat.

Bukan Meisya yang salah. Aku pingsan bukan karena dia. Dia tidak melakukan apa pun. Aku saja yang penasaran dengan apa yang dilihatnya. 

Ingatanku kembali melayang pada apa yang kulihat tadi. Aku berada di tempat yang jauh dari tanah. Ada tebing curam terhampar di depan mataku, dan.... Kepalaku kembali berputar. Terasa sangat pening. Sekali lagi, peutku terasa di aduk-aduk hingga aku ingin memuntahkan semuanya.

"Na, kamu pucat lagi."

Dekapan tangan Mas Mahes kusambut dengan memeluknya erat. Aku menarik napas berulang, lebih cepat, agar bisa menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. 

"Jangan ke mana-mana, aku takut," kataku dengan suara bergetar.

Kurasakan keringat dingin kini membasahi seluruh tubuhku. Kedua tanganku mencengkeram erat punggung suamiku. Aku tidak ingin dia pergi sedikit pun. Aku ingin dia tetap di sini, memelukku, melindungiku, dan menghapus semua ketakutan yang bercokol dalam kepalaku. 

Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja.

Kalimat itu terus kurapalkan dan kuyakinkan pada diri sendiri. Aku sudah berada di dempat yang aman sekarang. Aku bersama orang yang menyayangiku. Tidak ada yang perlu kutakutkan lagi. Aku baik-baik saja.

I HATE TO LOVE YOUWhere stories live. Discover now