2D

77 11 0
                                    

Setibanya di bandara, jantungku berdegup kencang. Rasanya enggan sekali turun dari mobil. Jika saja boleh, aku akan memilih menunggu di sini saja dari pada harus berjalan ke pintu keluar gedung parkir. Sayangnya, demi hormatku pada suami, aku tidak bisa melakukan itu.

Aku berjalan sedikit cepat, menundukkan kepala, lalu memilih tempat di tepi dinding. Sisi yang jarang dilalui banyak orang. Kukabarkan pada Mas Mahes, tempat di mana aku menunggunya.

Aku berdiri dengan menggenggam erat ponsel di tangan. Kufokuskan pandanganku hanya pada benda pipih itu. Tidak sedikit pun kuberikan kesempatan pada mataku untuk melihat sekitar.

Karena kurasakan tanda-tanda pesawat tiba belum ada, aku memilih memasang headset di telinga. Kembali kuputar lagu Poppy Mercury, seperti saat di mobil tadi.

Asmara yang kita idamkan ini
Dibayangi suasana suram
Mahligai indah yang telah kau bina
Tak tercapai oleh tanganku
Antara kilauan di air biru
Wajahmu sayup tersiksa
Tuhanku satukanlah hati yang setia

Perasaanku mulai tenang. Aku lalu mengikuti lagu itu, menyanyi tanpa suara.

Sampai bila harus ku menanti
Percintaan yang menghukumku
Karena tiada lagi duanya
Terserahlah kepada Mu jua

Kuabaikan hiruk pikuk yang ada di sekitar. Kupusatkan perhatianku hanya pada ponsel dan musik yang sebenarnya sama sekali tidak menggambarkan isi hatiku.

Beginilah aku, entah sedang bahagia, sedih, marah, kecewa, bangga, yang kuputar dan kusukai tetaplah lagu sedih.

Konsentrasiku terganggu saat sepasang tangan dengan tiba-tiba memelukku dari samping. Badanku menegang. Napasku terhenti beberapa detik.

"Kaget ya? Maaf."

Aku belum bisa merespon apa pun.

"Kangen banget sama kamu."

Ototku mengendur, melepaskan ketegangan yang menjalar. Perlahan, aku kembali ingat bagaimana caranya bernapas.

"Mas...." Aku menyandarkan kepalaku di dadanya.

"Lama nunggunya?"

Aku menggeleng dengan tetap berada dalam pelukannya. Kuhirup aroma tubuh suamiku dengan tarikan napas yang panjang. Lalu kulepaskan perlahan, seolah menyebarkan energi ke seluruh tubuhku.

"Ayo pulang. Pak Mamat nunggu di mana?"

"Di rumah."

"Kamu nyetir sendiri?"

Aku tersenyum semanis mungkin. Berupaya agar suamiku itu tidak marah.

Mas Mahes mengusap puncak kepalaku. "Lain kali jangan nyetir sendiri kalau jauh begini."

Aku menggeleng. "Nggak janji."

Dia mencubit hidungku sambil tertawa lebar.

"Ayo," katanya sambil menggandeng tanganku.

Aku menyambutnya dengan antusias. Kudapatkan badanku pada Mas Mahes, lalu aku memegang lengannya dengan erat. Kami melangkah menuju parkir mobil.

Sesekali, aku memejamkan mata. Enggan melihat sekitar. Aku telah percaya, Mas Mahes akan menuntunku dengan benar. Aku merasa aman berjalan bersamanya meski tanpa harus membuka mata.

"Mana kunci mobil?" tanyanya saat tiba di parkiran.

"Eh? Aku saja yang nyetir. Mas pasti capek."

Tidak ada jawaban. Dia membawaku ke pintu sisi kiri sambil menadahkan tangan. "Mana?"

Aku menurut. Memberikan kunci mobil. Mas Mahes membukakan pintu untukku, lalu dia mengitari mobil dan masuk dari sisi kanan.

"Gimana Meisya selama mas tinggal?"

"Eh?"

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang terlontar saat mobil yang kami tumpangi telah bergerak meninggalkan area bandara.

"Nakal, nggak?"

Aku menggeleng. "Meisya baik," kataku. Aku menjeda sejenak. "Ada Clara di rumah."

"Dia sahabat baiknya sejak SMP."

Aku mengangguk paham. Pantas saja jika Clara juga tidak suka padaku. Mereka sangat dekat. Pasti telah ada ikatan batin di antara mereka.

I HATE TO LOVE YOUWo Geschichten leben. Entdecke jetzt