E I G H T

145 87 139
                                    

Sudah dua kali dalam minggu ini Raya dihukum berjemur di depan tiang bendera. Malu? Sudah pasti! Apalagi sekarang di lapangan ada setengah siswa kelas 12 IPS 2 yang sedang olahraga basket. Siswa lainnya berada di cabang olahraga lain.

Untung tidak disuruh hormat ke tiang bendera seperti waktu itu, jadi Raya bisa menundukkan wajahnya dari terjangan sinar matahari. Namun tetap saja! Ia menggerutu dalam hati.

"Dihukum lagi Ray?"

Raya mengedarkan pandangan, sudah familiar dengan suara itu, Nathan.

"Iya! Kenapa? Mau nemenin lo?!" ketus Raya. Di keadaan badmood dan malu, Raya menjadi semakin sensitif. Apalagi disana juga ada Iba! Mau ditarok di mana wajah cantik Raya?

Sinar matahari yang terbit di sebelah timur sangat menyengat kulit gadis itu, padahal jam menunjukkan pukul setengah 11 dimana masih panas pagi.

Sebulir keringat jatuh dari kening Raya hingga membentuk aliran sampai ke leher jenjangnya.  Panas yang semula membakar kulit kini sedikit mereda ditutupi oleh bayangan besar. Tubuh tinggi Iba ternyata berhasil menghalau sinar sang surya.

Raya mengangkat kepala, menemukan Iba berdiri di sebelah kirinya. "Ngapain?"

"Maaf soal yang tadi Ray. Iya, lo bener. Mereka yang salah," kata Iba. Raya tersentak, rare sekali melihat Iba minta maaf atau ini karena Raya belum mengenal Iba sepenuhnya?

Raya mengangguk. "Apologies accepted," ia mengucapkan kata itu dengan nada percis seperti yang dikatakan Iba tadi pagi.

"Lo mau minum gak?" tanya Iba seraya menyodorkan botol minum yang tadi dikasih Ara.

"Enggak ah. Gue bisa beli sendiri, lagian minuman itu dari Ara buat lo kan."

"Gue belum minumnya kok," jawab Iba.

"Gak usah Ba, makasih ya."

"Yaudah." Iba menarik kembali uluran botol minum tadi dan berbalik badan. Kembali ke teman-temannya lalu melanjutkan sesi olahraga.

'No! Jangan Ray! Pasti Iba sama Ara ada sesuatu! Jadi jangan nambah-nambahin masalah dengen suka sama dia! Kalau ditolak bakal sedih lu. Mana mau UN lagi. Fokus ke tantangan aja ya Raya cantik,' batinnya mengingatkan.

✎✎✎

Sepulang sekolah Iba langsung pulang ke rumah karena permintaan mama tirinya kemarin. Hari ini mereka sekeluarga akan berziarah ke makam almarhum Sulis.

Tak ada perbincangan yang terjadi selama perjalanan ke kuburan tersebut. Di dalam mobil bermuatan 8 orang itu, semuanya sibuk sendiri-sendiri. Ah! Mungkin Iba yang terlalu menghiraukan orang lain.

Adam, adik tiri Iba sering sekali mengajak kakaknya itu untuk berbincang, tapi Iba hanya menanggapi seadanya.

"Kak, liat ini! Aku yang rakit," seru Adam dari kursi penumpang, memperlihatkan robot-robotan yang ia susun sendiri.

Iba melirik, mengeluarkan deheman kecil sebagai respon untuk kesekian kalinya. Ayah Iba yang tengah menyetir sedari tadi mengawasi mereka berdua dari kaca spion tengah. Ia hendak menegur putra sulungnya itu namun ditahan oleh Dara.

Tanpa suara, Dara mengatakan "Biarkan saja, dia butuh waktu."

Dimas Lazuardi, ayah biologis Iba merasa bahwa anaknya sudah melewati tujuh tahun setelah kematian sang ibu. Itu adalah waktu yang cukup lama untuk merelakan dan menerima semuanya.

Sampailah mereka di sebuah pemakaman umum elit kota metropolitan, keempat manusia tersebut turun dari mobil menuju ke gundukan tanah yang nisannya bertuliskan nama Nyimas Sulistiana Adhikari.

I Do Dare || JJK BTS Onde as histórias ganham vida. Descobre agora