Bab 5

15 4 0
                                    

Dua puluh menit kemudian aku sudah berpakaian, memakai parfum, merias wajah, menyisir-rambut, dan hampir akan ambruk karena tegang dan gugup ketika Braden memencet bel dari lobi untuk memberitahuku kalau dia akan naik. Jess mengamati penampilanku sekali lagi lalu mengangguk setuju.

"Kau harus ingat, Gab, Braden sama takutnya padamu seperti kau takut padanya."

"Entah kenapa aku meragukan itu."

Bel berbunyi tidak lama kemudian dan secara misterius seluruh oksigen lenyap dari ruangan itu. Akhir-akhir ini hal itu sering terjadi. Mungkin aku juga harus memeriksakan diri ke dokter spesialis paru-paru. Jess berjalan dengan tenang lalu membuka pintu layaknya ayah dari seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang akan pergi ke Pesta Dansa Junior. Dia berhasil terlihat sangat bahagia untukku sekaligus sedikit mengancam.

"Mr. Pierce. Mau masuk?" Ya, sambutan itu kedengarannya hangat dan mengundang.

"Terima kasih." Braden tersenyum dan aku melihat sikap Jess sedikit melunak. "Panggil aku Braden." Pernahkah aku menyadari betapa merdunya suara Braden? Mungkin tidak, karena sebelumnya aku hanya pernah mendengarnya membantah dan menggodaku. Dia berjalan memasuki apartemen kami dengan penampilan yang jauh lebih baik daripada yang berhak dia tunjukkan, dalam balutan celana chino cokelat muda yang pas badan dan kaus berkerah warna putih. Braden seperti baru keluar dari lembar iklan Ralph Lauren. Jam tangan Rolex-nya juga cukup bagus. Dan, oh, aku mencium aroma rempah mint. Nyam.

"Kau juga boleh memanggilku Jessica," sahut Jess sembari mengamati penampilan Braden.

"Terima kasih." Braden berpaling padaku. "Kau tampak cantik," katanya seraya memandangiku dengan terlalu terang-terangan, dimulai dari sepatu Manolo Blahnik yang kupakai, lalu bergerak ke atas. Matanya sepertinya berdiam beberapa detik lebih lama di dadaku. Kurasa dia setuju denganku soal atasan yang kupilih. Akhirnya tatapan Braden pun berhasil bergerak ke atas leherku. "Kau selalu mengikat rambutmu di pengadilan. Aku tidak sadar kalau rambutmu sepanjang itu sampai tadi malam." Braden memandangi rambutku seolah sedang membayangkan tindakan nakal apa yang akan dilakukannya dengan rambut itu. Tiba-tiba, aku sama sekali tidak peduli apakah nanti rambutku akan terasa seperti selimut basah atau tidak. Braden berhasil membangkitkan gairahku hanya dengan menatapku. Pria ini terlalu seksi.

"Terima kasih. Kau kelihatan lebih muda kalau tidak kelihatan terlalu... menuntut."

"Yah, kau tahu, itu karena jubah wewenang atau semacamnya." Braden tersenyum menyeringai.

"Oke, anak-anak, jangan lupa besok Braden harus sekolah jadi jangan pulang terlalu malam."

"Terima kasih, Mom." Aku tersenyum. Braden memegangi pintu untukku dan aku berjalan lebih dulu ke lift. Rasanya seolah udara sudah sangat pekat dengan ketegangan seksual padahal kami baru saja menjalani kencan ini selama lima menit.

"Ini malam yang sempurna untuk berjalan kaki," komentar Braden.

"Bagus." Aku tersenyum dengan kesenangan tulus. "Aku senang berjalan kaki keliling kota di malam hari. Semacam ada firasat yang mengatakan kalau hal yang menyenangkan akan terjadi."

"Mungkin hal yang menyenangkan memang akan terjadi," sahut Braden selagi memasuki lift bersamaku dan menatap lurus ke dalam mataku dengan cara yang membuat napasku memburu. Jelas-jelas oksigen di gedung ini menipis. Ketegangan pun semakin memuncak. Braden melirik tombol berhenti darurat seolah ingin menekannya lalu mendesakku ke dinding. Mungkin aku menyadari hal itu hanya karena aku sedang memikirkan hal yang sama. Namun, tidak satu pun di antara kami berdua yang menekannya. Kami sampai di lantai dasar tanpa terhambat, lalu pintu bergeser membuka, mengakhiri ketegangan itu.

"Restorannya benar-benar hanya dua menit dari sini, tidak jauh dari Sansom. Restoran itu menyajikan kabob. Daging dombanya enak kalau saja kau tidak membayangkan makanan pembuka itu pernah menjadi makhluk yang sangat lucu dan manis."

The Law of AttractionKde žijí příběhy. Začni objevovat