Bab 9

13 3 0
                                    

Sesampainya di puncak tangga, kami berjalan menyusuri koridor panjang, Braden berhenti di depan pintu sebelah kiri. Dia membuka pintu itu, menyingkir untuk mempersilakanku masuk, lalu menyusul di belakang. Braden mendahuluiku untuk menyalakan lampu di atas nakas dan mematikan lampu langit-langit, membuat suasana menjadi jauh lebih intim. Dia menghampiri pemutar musik, menemukan sesuatu pada iPod-nya dan, beberapa detik setelahnya, aku mendengar suara BB King menyanyikan lagu blues yang kedengaran sangat seksi, 'Need Your Love So Bad'. Braden berjalan perlahan ke arahku sambil menatap mataku dengan cara yang sangat nakal. Aku menelan ludah dengan susah payah dan menarik napas dalam-dalam.

"Tahukah kau betapa besar aku menginginkanmu, Gabrielle?" tanya Braden dengan lembut saat tiba di hadapanku. Kakiku seolah akan ambruk dan aku tidak yakin bahwa aku akan melihat diriku dalam keadaan sadar dalam waktu dekat. Aku sudah terlalu bergairah untuk merasa gugup. Jadi, aku membebaskan jiwa wanita nakal dalam diriku. (Catat, aku menyebutnya wanita nakal. )

"Tunjukkan padaku," bisikku.

Braden merangkul pinggulku kemudian mendekapku erat. Dan aku langsung tahu sebesar apa keinginannya. Jawaban dari pertanyaan itu menekan bagian bawah perutku. Braden menunduk dan menciumku nyaris dengan rakus, lidahnya menjelajah ke mana-mana dan membelai lidahku dengan cara yang sensual. Aku merasa sedikit kewalahan olehnya, tapi sekaligus menyukainya. Bibir Braden beralih dari mulutku menuju telinga. "Kau sudah bisa membayangkan dengan lebih baik?" bisiknya dengan nada menggoda.

"Jawabanmu membuatku membayangkan banyak hal. Apa yang akan kau lakukan tentang itu?" Wanita nakal dalam diriku jelas memutuskan bahwa dia senang karena jiwanya dibebaskan.

"Gadis yang lancang." Pria itu tersenyum nakal. "Mungkin aku harus memukul bokongmu." Braden merunduk dan berlutut di kakiku, melepaskan sepatuku, lalu melemparkannya. Kemudian, dia membelai kaki telanjangku dan bergerak ke balik rokku, membiarkan jemarinya menyelinap ke balik celana dalamku, lalu menurunkannya dari pinggulku. Celana dalamku jatuh ke lantai dan aku mengangkat kaki untuk melepaskannya dan menendangnya menjauh. Sambil mengarahkan tatapan penuh gairah padaku, Braden mengulurkan tangan ke balik punggungku untuk menarik ritsleting gaun dan melepas kait bra-ku. Dalam satu gerakan mudah, kedua pakaianku itu jatuh ke lantai. Jika ada kategori melepaskan pakaian wanita dalam pertandingan Olimpiade, Braden akan menjadi pesaing utama dalam meraih medali emas. Dia memiliki keahlian yang luar biasa. Aku benar-benar bisa menggunakan bantuannya di beberapa malam saat kuliah dulu, ketika sedang dalam keadaan mabuk. Aku hanya diam memperhatikan Braden dengan rasa takjub yang diselimuti gairah ketika pria itu melangkah mundur dan memandangi kakiku, lalu membiarkan matanya perlahan-lahan mengamati tubuhku yang telanjang.

"Kau cantik dari ujung rambut sampai ujung kaki, Gabrielle," komentarnya dengan suara parau. "Lepaskan pakaianku."

Tanganku gemetar, tapi berhasil menyelinap ke balik kausnya, lalu menarik kaus itu ke atas. Karena Braden lebih tinggi dariku, dia membantuku sedikit untuk melepaskannya. Saat kaus itu jatuh ke lantai, aku nyaris ikut ambruk. Ya, Tuhan!

Aku belum pernah melihat tubuh seperti itu. Seluruh ototnya sangat kekar. Braden adalah pria pertama yang pernah bersamaku, yang memiliki enam otot perut tanpa tanda-tanda perut buncit akibat terlalu banyak minum bir. Aku menelan ludah, lalu mengembuskan napas yang sedikit gemetar seraya mendongak dan melihat Braden tersenyum geli padaku.

"Kau sangat.... Ya, Tuhan." Tujuh tahun sudah kulewati untuk menempuh pendidikan tinggi, tapi hanya itu komentar terbaik yang bisa kuucapkan.

"Boleh aku menganggap bahwa itu artinya kau juga menyukai tubuhku?"

"Kau boleh menganggapnya apa pun yang kau mau, Tuan."

Aku memaksa tanganku yang sekarang gemetar hebat untuk beringsut menuju celana panjang Braden, membuka kancingnya dan menurunkan ritsletingnya, menarik turun celana itu dari pinggulnya. Celana itu terjatuh ke lantai dan Braden menyingkirkannya. Pria itu menendang sepatunya hingga terlepas dan membuka kaus kakinya sendiri, yang tampaknya menjadi pilihan terbaik. Kaus kaki sama sekali tidak menggairahkan, lagi pula tindakan Braden membuat kami tiba lebih cepat pada acara puncak. Sekarang yang tersisa hanyalah celana bokser biru bergaris. Aku menduga Braden tipe pria yang suka mengenakan celana bokser. Aku menarik napas dalam-dalam dan mendongak untuk menatap matanya, lalu menurunkan celana bokser itu perlahan (menurut pengalaman, gerakan menyentak turun bisa menjadi tindakan yang berbahaya jika melibatkan pria yang sedang bergairah dan celana bokser). Kamudian, Braden mengeluarkan kakinya dari celana itu, masih sambil menatap mataku. Aku pun menunduk, dan untuk pertama kalinya, benar-benar melihat apa yang kusentuh saat di ruang wawancara gedung pengadilan kemarin. Kedua mataku membelalak sementara mulutku ternganga. Astaga! Harvard sungguhlah berkah!

The Law of AttractionWhere stories live. Discover now