3

14.4K 1.1K 95
                                    

Abel menutup pintu kamar mandi rapat-rapat, membuat Agam yang sedang mengepel lantai menoleh kepadanya. Wajah Abel kelihatan antara terkejut dan tidak percaya. Perempuan itu mendekat padanya dengan alis bertaut.

"Lo... yang waktu itu?" tanya Abel dengan tatapan aneh.

Agam menggenggam tongkat pelnya dengan wajah merajuk, menghindari tatapan Abel sambil melanjutkan kegiatannya. "Emangnya Kak Abel kenal sama aku?"

Lelaki itu merajuk. Gemas sih, tapi ini bukan saatnya untuk merajuk.

"Heh, jawab iya apa nggak!" omel Abel sambil mencubit lengannya. "Terus, kenapa lo bisa kerja di rumah Miu?"

Agam meringis, mengelus lengannya yang dicubit oleh Abel dengan bibir manyun. Mata legamnya yang agak sipit menatap milik Abel. Ia punya tatapan tajam, tetapi saat ini ia kelihatan seperti seekor anak anjing yang merajuk. Abel baru teringat wajah lelaki yang ia... perawani? Perjakai? Apa pun itulah, pokoknya lelaki itu ternyata memang Agam.

"Kakak kenapa ninggalin aku?" protesnya dengan alis bertaut.

"Jawab dulu pertanyaan gue!" sahut Abel menatap Agam galak, membuat lelaki itu merengut.

"Iya, emang aku. Aku kerja di sini soalnya aku resign dari kelab yang kemarin," jawab Agam, menatap Abel dengan tatapan antara kesal, tapi senang bertemu dengan Abel lagi. "Kenapa Kakak ninggalin aku?"

Iya juga, Abel baru ingat kalau Agam adalah waiter kelab malam yang Abel datangi waktu itu. Lelaki itu membantu Abel pulang dari kelab, tetapi Abel yang teler meminta Agam membawanya ke hotel yang paling dekat dengan kelab. Makanya mereka berdua berakhir di sana malam itu. Abel menghela napas.

"Gue ada urusan," bohong Abel, memberikan uang yang ia berikan pada Agam pagi itu kembali padanya. "Kenapa dikembaliin ke gue? Ini kompensasi karena bikin lo seranjang sama gue. Lo pasti dipotong gaji sama bos lo gara-gara nggak balik ke kelab, 'kan?"

Agam menatap uang yang diberikan oleh Abel. Dua bulan penuh, meski ia tidak punya uang untuk makan, ia sama sekali tidak mau menggunakannya karena ingin mengembalikannya kepada Abel. Matanya meredup, tatapan kesal bercampur senangnya langsung berganti dengan tatapan kecewa.

"Aku bukan gigolo..." lirihnya pelan.

"Bukan, gue nggak nganggap lo gigolo! Ini buat ngobatin luka di punggung lo, atau terserah deh buat apa!" balas Abel cepat.

"Nggak mau," lirih Agam lagi dengan kepala tertunduk.

"Terima aja. Anggap sebagai tanggung jawab udah narik lo ke kamar."

"Aku nggak mau Kak Abel." Agam menggeleng, meneteskan air matanya dengan wajah benar-benar kecewa.

Abel langsung panik. "Lah, kok lo nangis?"

Agam mengusap air matanya dengan punggung tangan. Kelihatan sangat terluka sampai membuat Abel ketar-ketir. Apa anak ini kerasukan? Soalnya, kalau hamil 'kan, tidak mungkin! Yang punya rahim, ya Abel.

"Memangnya, aku ini seburuk apa sampai... sampai Kak Abel nggak mau aku tanggung jawab?" tanya Agam tersendat-sendat dengan suara bergetar. "Kak Abel bilang mau aku nikahi. Itu 'kan, sama-sama kali pertama kita. Tapi, kenapa Kak Abel lari?"

Abel merasa bersalah, tapi gemas juga melihat Agam. Kalau mau bilang laki-laki itu sedang bersandiwara rasanya tidak mungkin. Tubuh Agam bergetar karena menahan emosinya. Sementara air matanya terus membanjir dan ia batuk beberapa kali karena terisak pelan. Di zaman begini, masih ada ya, lelaki polos macam Agam?

"Hei, jangan nangis!" kata Abel, meraih tisu toilet dan menggunakannya untuk mengusap air mata Agam. "Cup, cup, cup! Udah, udah. Jangan nangis. Gue minta maaf."

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now