33

5.9K 640 84
                                    

Jumat malam itu, Abel pulang dari kantornya lebih awal. Ia memutuskan untuk mengemudikan mobilnya menuju agensi Agam. Ia berjanji akan menjemput Agam hari ini, setelah membujuk dan merayunya lewat telepon semalam. Abel mencoba memasang senyum terbaiknya walau hatinya terasa perih.

Hari ini, akan jadi kali terakhir dirinya membawa Agam jalan-jalan sebagai kekasihnya.

Agam mengenakan kemeja putih dan celana jin hari ini, memasang wajah cemberut saat masuk ke dalam mobil Abel. Aroma deterjen yang ia gunakan pada kemejanya menyeruak ke hidung Abel, mengingatkan Abel pada saat ia pertama memeluk Agam di dalam kamar mandi Miu. Abel memberi senyum hangat, melajukan mobilnya meninggalkan agensi Agam.

"Gimana harimu?" tanya Abel lembut, melirik Agam sekilas.

Agam masih cemberut, tetapi ia tetap menjawab dengan nada datar. "Sibuk."

"Udah makan?" tanya Abel lagi.

"Belum."

"Aku beli nasi goreng sebelum jemput kamu," ujar Abel. "Kemarin, kamu nggak jadi makan nasi gorengku, 'kan?"

Agam mengatupkan bibirnya. Sebenarnya, ia hanya pura-pura cemberut kepada Abel karena masih agak kesal. Ia ingin dikenalkan pada orang tua Abel, seperti Abel yang sudah mengenal neneknya. Namun, Agam tahu diri jika ia tak bisa memaksakan kehendaknya.

Sejak Abel meneleponnya semalam dan mengajaknya kencan hari ini, Agam sudah luluh. Abel membujuknya supaya tidak memaksa Aidan memutus sepihak kontrak kerjanya. Walau Agam yakin, Abel menghubunginya karena diadukan oleh Aidan, tetap saja ia senang diperhatikan seperti ini oleh Abel.

Abel mengemudikan mobilnya menuju pantai, parkir di tempat yang sama dengan yang waktu itu. Mata Abel melirik Agam yang masih memasang wajah cemberut. Tangannya terulur, mengusap pipi Agam lembut dengan senyum sendu.

"Kamu masih marah?" tanya Abel halus, membuat Agam mengamati wajahnya.

Suara Abel terdengar lirih. Matanya sedikit memerah dan bengkak. Abel kelihatan lelah, juga sedih. Cemberut di wajah Agam pudar. Ia merasa bersalah karena membuat Abel memasang ekspresi seperti ini. Agam lantas menggeleng pelan, menyentuh punggung tangan Abel dengan hangat.

"Curang," gerutu Agam dibuat ketus. "Kalau kayak gini, gimana Agam bisa marah lama-lama sama Kak Abel?"

Abel tertawa pelan, meneteskan sedikit air mata di sudut matanya. Tangan Agam yang menyentuh punggung tangan Abel otomatis terangkat, mengusap setitik air mata yang muncul. Hatinya berat, ia tidak bisa melihat Abel bersedih begini.

"Maafin Agam, ya, Kak Abel," lirih Agam lemah.

Abel mengangguk, menyingkirkan tangan Agam yang mengelus wajahnya. "Kamu makan dulu."

Perempuan itu mengambil bungkusan nasi goreng, lengkap dengan sendok plastik dan kerupuknya juga. Abel membukakan bungkusnya, memberikannya pada Agam dengan senyum hangat.

"Makasih, Kak Abel."

Abel tidak mengatakan apa-apa, mengambilkan air mineral yang ia beli dan meletakkannya di tempat yang mudah ia jangkau. Lalu, ia juga ikut makan bersama Agam. Mereka berbincang dengan hangat dan mesra, seolah lupa jika kemarin mereka sempat bertengkar. Senyuman di wajah Abel juga tergurat lebar saat Agam dengan lucunya menceritakan reaksi Aidan saat ia meminta pembatalan kontrak.

Syukurnya, Aidan berhasil meyakinkan Agam untuk tidak membatalkan kontraknya. Jadinya, lelaki itu tidak akan pernah berpikir untuk pensiun dalam waktu dekat. Dengan denda sebesar itu, Agam jelas tidak akan bisa keluar dari agensi Aidan begitu saja.

Matahari hampir terbenam saat mereka sampai. Lalu, ketika mereka selesai makan, matahari sudah sepenuhnya terbenam. Agam menggenggam tangan kanan Abel, bercerita sambil menatap mata Abel dan sesekali memainkan cincin yang ia berikan untuk Abel di jari manisnya.

No Strings AttachedWhere stories live. Discover now