35

6.2K 587 43
                                    

Agam menatap layar ponselnya dengan wajah sendu. Abel masih belum membalas pesannya, juga tidak mau menjawab teleponnya. Ia sempat berpikir untuk menerobos masuk ke rumah Abel, memaksa perempuan itu bicara padanya. Namun, Aidan melarangnya. Lelaki itu memberitahukan kepadanya jika Abel yang meminta dirinya supaya menahan Agam.

Perempuan itu sudah bisa menebak jika Agam akan mendatanginya. Makanya, ia meminta Aidan mencegahnya. Agam bisa saja tetap keras kepala dan menemui Abel, tetapi satu kalimat dari Aidan hari itu menghentikannya.

"Lo nggak kasihan sama Abel? Gue tahu kalian sama-sama sakit, tapi dia mau ngelakuin semua ini supaya lo nggak jatuh dalam masalah, Gam! Abel sesayang itu sama lo sampai rela ngelepasin lo. Dia nggak mau lo kesusahan, seenggaknya nurut sama gue. Jangan temui dia dulu!"

Agam ingin berontak pada saat itu. Namun, setelah dipikirkan lagi, Agam memilih untuk menurut dan mendengarkan yang dikatakan oleh Aidan. Mungkin, jika ia melakukan itu, Abel akan berubah pikiran dan kembali menerimanya? Abel bilang padanya supaya jangan menyusahkan Aidan. Jika ia bersikap baik dan menurut, mungkin Abel mau kembali.

Sekali lagi, jari Agam menari di atas layar ponselnya. Ponsel yang sama dengan yang dibelikan oleh Abel. Meski Agam sudah punya uang untuk membeli yang lebih bagus, ia tetap ingin menggunakan ponsel itu. Abel yang memberikannya.

Agam kangen. Nggak boleh ya, Agam dengar suara Kak Abel?

Air matanya menetes saat pesan itu terkirim. Dua tanda centang abu-abu yang kelihatan muram menyambutnya. Agam menghela napas, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Ia tidak mau berpisah dari Abel, bahkan meski hal itu dilakukan demi kebaikannya sendiri.

Agam sangat rindu. Mereka sudah pernah tak bertemu selama berbulan-bulan, tetapi kali ini permasalahan mereka berbeda. Hubungan mereka berakhir dan tidak bertemu dengan Abel selama seminggu membuat Agam merindukannya setengah mati.

"Kamu berantem sama Abel?"

Agam mengerjap mendengar suara serak neneknya. Matanya beralih menatap Marsiah. Perempuan lansia itu terbaring lemas. Kondisinya kembali memburuk beberapa waktu belakangan. Begitu ada waktu, Agam langsung mengunjungi sang nenek, mengurusinya seperti yang biasa ia lakukan dan menemaninya.

"Nenek kapan bangunnya?" tanya Agam sambil memasang senyum paksa, mencoba mengalihkan perhatian. Ia yakin, Neneknya tadi sedang tertidur.

Marsiah tidak mengatakan apa-apa, mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Agam.

"Udah dari tadi," ujarnya.

Agam masih tersenyum, membalas genggaman tangan Marsiah dengan perasaan campur aduk. Marsiah terdiam, mengamati Agam sejenak lalu menghela napas.

"Abel datang jenguk Nenek beberapa hari lalu," ceritanya dengan suara pelan. "Dia minta maaf karena mungkin nggak bisa sering-sering ngunjungin Nenek, tapi dia janji bakalan tetap meluangkan waktu."

"Kak Abel... datang ke sini?" tanya Agam dengan nada seakan terkejut dan tak percaya.

Hati Agam sakit lagi, tapi bercampur dengan rasa hangat. Benar, 'kan! Abel masih menyayanginya. Jika tidak, mana mungkin ia masih peduli pada neneknya?

"Kalian udah putus, 'kan?" tembak Marsiah dengan senyum penuh pengertian. "Makanya kamu nangis tadi."

"Kami nggak putus, Nek," sanggah Agam. "Agam nggak mau putus. Bukannya, Nenek senang kalau Kak Abel jadi istrinya Agam?"

"Nenek senang, tapi kalau membebani Abel, gimana?" tanya Marsiah lembut.

Agam terdiam, sementara Marsiah mengulurkan tangannya untuk mengelus wajah Agam lembut.

No Strings AttachedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang