4. Tonkotsu Ramen

825 135 6
                                    

"Udah gila lo yeh? Tinggal nulis surat permintaan maaf doang apa susahnya, sih?! Lo harus mengalah demi kepentingan tim, Ka, biar tim lo nggak pecah dan kalah di semifinal nanti! Eh, tadi lo bilang lagi di mana? Woi! Barusan lo bilang lo lagi di mana? Kenapa nggak mau gue anter? Hei—"

Saka mematikan ponsel dan memasukkannya ke kantung celana. Sneakers Nike-nya menjejaki jalan setapak menuju pintu gedung utama yang terlihat muram dengan cat hijau lumutnya. Tidak seperti kebanyakan yayasan-yayasan yang pernah ia kunjungi (untuk keperluan pencitraan, tentu saja), tidak ada petugas sekuriti yang menyapa di depan pintu, tidak ada pula suara ramai derap kaki atau bahkan hawa dingin AC. Terlebih lagi, tidak ada kamera yang menyorot.

Suasana di panti jompo ini begitu senyap.

Saka langsung menemukan sosok Samara di depan meja admin, sedang mengisi data pada selembar kertas formulir.

Saka membetulkan topi Yankees merah yang dikenakannya, lalu menghampiri Samara. Perempuan itu menoleh dan terlihat kaget. Bibirnya mengulum senyum. "Pak Saka."

"Bu Samara," balas Saka dengan anggukan kecil.

Saka mengambil kertas yang digeser Samara untuknya, mengisi nama dan tanda tangan, lalu berjalan mengiringi Samara menuju tempat yang telah ditunjuk perawat.

Sepanjang langkah menyusuri lorong panjang menuju gedung sayap kiri, Saka berjalan di samping Samara. Dan sepanjang jalan itu pula Saka menahan diri untuk tidak tersenyum, saat angin semilir menerbangkan aroma Samara ke hidungnya.

Perempuan itu tidak memakai parfum. Hanya harum tubuhnya saja.

Aroma segar pakaian dari mesin cuci.
Bayi yang baru bangun tidur.
Kupasan pertama apel.
Toko bunga.

Hmmm ... ia masih belum menemukan nama yang tepat untuk aroma-aroma ini.

Saka menengadah ke langit saat dihirupnya bau dedaunan kering yang kuat. Awan gelap menggelung di atas sana. "Bentar lagi pasti hujan."

Samara mendongak melihat langit yang sama, lalu mengeluarkan ponsel dan—Saka mengintip—membuka aplikasi Weather untuk melihat prakiraan cuaca. "Cuma mendung."

"Lo serius lebih percaya alat prediksi daripada apa yang lo liat dengan mata sendiri?" Saka menuding ke atas. Mustahil awan segelap ini tidak turun hujan.

"Apa yang keliatan di mata kadang bisa menipu."

Saka mengerjap-ngerjap bingung.

"Bang Saka! Dek Samara!"

Andri, putra Pak Jaya, hadir mengusik lamunannya di depan pintu gedung sayap kiri. Pria itu tertawa bahagia merentangkan dua lengan. Ada aroma kecut menyapa hidung Saka.

"Wah, saya masih nggak nyangka, waktu Bang Saka tadi pagi mampir ke rumah saya nanyain lokasi panti!" Andri memeluk Saka erat-erat. "Terharu saya!"

"Pak Jaya di kamar berapa?" tanya Samara.

"Cendrawasih 3. Mari! Biar saya antar."

Suasana gedung sayap kiri bertolak belakang dengan gedung utama tadi. Saka tidak pernah mengunjungi panti jompo, jadi ia cukup terkejut melihat suasana yang ... 'normal' di sana. Pasien-pasien bersih yang sedang berkumpul di halaman untuk melakukan senam jasmani, perawat-perawat dan suster berwajah cerah yang berjalan santai membawa barang, hingga tawa canda dan sesekali celetukan humor terdengar di ruang kumpul. Untuk sejenak, panti jompo ini tidak terlihat sebuah tempat depresi.

"Pak Andri," Samara menghentikan langkahnya tak jauh dari pintu kamar Cendrawasih 3. Berbalik menatap Andri. "Biasanya, Anna manggil Bapak dengan 'bapak' atau 'ayah'?"

AmbrosiaWhere stories live. Discover now