6. Pangeran Kecil

705 112 4
                                    

Langit pagi ini gelap luar biasa.

Saka berkeringat sangat banyak di atas mesin treadmill-nya. AirPods menempel di kedua telinga dan pandangan fokus pada pertandingan basket yang ditontonnya di layar treadmill. Malam ini malam semifinal, dan meski Coach telah memanggilnya untuk datang latihan tanpa perlu menulis surat permintaan maaf, tetap saja Saka tidak datang dan malah memilih menganalisis kemampuan tim lawannya lewat Youtube.

Bola matanya bergerak-gerak serius mengamati pergerakan pemain nomor 7 yang nanti akan menjadi lawannya. Cukup tricky, sangat lincah, tapi tidak memiliki kemampuan tangan kanan dan kiri yang seimbang. Tembakan tangan kirinya terlalu lemah.

Meski kedua telinga Saka telah tersumbat AirPods, samar-samar ia masih bisa mendengar suara percakapan dua om-om di sebelahnya. Tentang pemadaman listrik yang akan dimulai nanti malam tanpa pemberitahuan jam berapa, tentang malam BBQ di Clubhouse—Saka sudah tahu dari Tante Tika yang mengajaknya tadi pagi—dan tentang Samara Lee.

"Itu yang namanya Samara Lee, kan? Yang baru pindah itu?"
"Yang lagi berenang itu?"

Saka memindahkan pandangannya dari layar Youtube menuju dinding kaca di depannya. Kebetulan tempat gym berada di lantai dua, dan dari kaca depan deretan mesin treadmill ini, semua orang bisa melihat kolam renang di bawah sana.

Tidak banyak yang berenang di Clubhouse pada pukul tujuh pagi begini. Apalagi dalam cuaca mendung begini. Hanya ada seorang ibu berparas bule dengan anak balitanya, dan Samara Lee.

Perempuan itu menepi dengan dua lengan berpegangan di pinggir kolam, mengobrol dengan si ibu yang tengah menggendong balitanya. Tatapan mata Samara masih selembut saat Saka melihatnya menyentuh bayi temannya di pesta ulang tahun itu.

"Dia baru pindah ke mana?" lanjut om-om di sebelah Saka.
"Blok B kayaknya ya? Bekas rumahnya si Welly udah kosong lama 'kan, tuh?"
"Masih muda ya. Gila, cakep kali tuh cewek!"
"Denger-denger dari bini gue, dia kawin sama anaknya si Krisna Suntext."
"Pinter juga dia cari laki."
"Ya daripada jadi piaraan, kan? Masih muda, cakep, seksi, mending cari anak pengusaha."
"Padahal gue mau-mau aja piara dia."
"Cakepan dia daripada bini lo ye?"
"Bini gue mah, mau suntik berapa kali juga tetep peyot."

Saka mematikan layar Youtube beserta mesin treadmill-nya. Menyambar botol minuman dan handuk.

"Yang ini mah nggak usah suntik-suntik juga nggak peyot. Sekel, kayak tomat seger."
"Tinggal kita 'suntik-suntik' di tempat tidur."
"Denger-denger, belom punya anak tuh."
"Belom 'maen' sama gue sih, sekali gue suntik juga—HEH BABI, ANJING, SONTOLOYO!"

Om Botak terhuyung ke sebelah menimpa Om Tahi Lalat. Keduanya terjatuh tanpa ampun dari mesin treadmill.

"Sori," Saka mengangkat tangan. Ia bilang, lengannya tidak sengaja menyenggol Om Botak waktu lewat tadi.

"NYENGGOL APA NUBRUK, LUH?! Badan you dari pantat truk, hah?!" Om Botak membanting handuknya. "You mau baku hantam sama I?!"

Om Tahi Lalat, yang jelas tahu siapa Saka Barata, langsung menarik tangan Om Botak untuk mencegahnya berkonfrontasi.

"Anak Mendagri," bisik si Tahi Lalat di Mulut. "Anak pejabat."

Si Botak yang masih terengah-engah emosi, memandang kawannya dan Saka bergantian, lalu perlahan mulai terlihat bingung dan ragu.

Saka tersenyum simpul pada kedua om-om itu, lalu berbalik pergi tanpa mengatakan apa-apa. Sayup-sayup sebelum pintu ruang gym menutup, ia mendengar Om Botak merutuk marah.

"Anak nggak tau diri! Berani kurang ajarnya sama orang tua!"

Dasar bau tanah campur tai kucing, gumam Saka dalam hati.

AmbrosiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang