5. Pena Bekas

684 119 0
                                    

Lima mangkuk ramen telah tandas dan semua masih bertahan di meja. Terkadang mereka—lebih tepatnya lagi Simon dan Tante Tika—bertukar cerita dengan serunya sampai-sampai seisi restoran ini hanya terisi suara mereka.

Simon bercerita tentang urban legend hantu perempuan cantik yang suka nangkring di atas genteng rumah sambil menggendong kucing hitam.

"Kalau kalian denger suara kucing meong-meong jam dua belas teng, malem Jumat pula, mending buruan ngumpet ke balik selimut deh. Jangan ngintip ke jendela, tau-tau ntar diliatin si Nona Belanda dan kucing hitamnya. Katanya, Akasia Residence itu dulunya kuburan Belanda dan si Nona itu mati ditembak sambil meluk kucing kesayangannya."

"Kenapa semua setan nona-nona itu harus dari Belanda, sih?" celetuk Tante Tika.

"Karena waktu itu belum perdagangan bebas dan produk Cina belum masuk, Tan," Simon mengangkat tangan pada Om Hendro yang mulai ingin bertanya. Ia melanjutkan cerita mistisnya. "Terus, katanya si Nona Belanda ini mati perawan. Jadi dia suka gentayangan ngincer penghuni Akasia yang laki-laki. Untunglah, eike aman."

"Haduh, gimana nih, Pak?" Tante Tika menatap cemas pada Om Hendro. "Bapak 'kan laki-laki."

"Ya elah, Tanteeee~ setan juga milih-milih, keleessss~"

Tante Tika menoleh pada Saka. "Berarti kamu, Saka. Diliat-liat, fengshui rumah kamu memang agak suram. Coba deh, piara tanaman ijo-ijo buat nyerap energi negatif."

Om Hendro menunjuk Samara. "Dek Samara yang punya Hijauku, kan? Coba Dek Saka tanya-tanya soal tanaman ke dia."

Seorang pramusaji berpakaian kimono menghampiri meja mereka dengan lima piring free dessert kue manju. Bu Tika mengucapkan terima kasih dengan senyum berseri-seri, sementara Simon mengeluh bahwa ia tidak seharusnya makan makanan manis lagi jika tidak ingin menjadi gajah bunting.

Lalu, blueberry pie itu diungkit-ungkit lagi.

"Kalau pie-nya Samara, gue rela deh makan sampe gembrot."
"Ya ampun, Mon, kamu jangan bilang-bilang lagi dong, saya jadi kepingin!"
"Saya juga."

Saka tidak tahan lagi. Maka ketika ketiga manusia itu sibuk mengobrol sesuatu yang seru, Saka menyingkirkan kue manju-nya dan menoleh pada Samara.

"Boleh gue tanya sesuatu?"

Samara bertopang dagu dengan senyum. "Boleh."

"Kenapa semua orang dapet blueberry pie tapi gue enggak?" Saka memastikan volume suaranya sudah serendah mungkin agar Simon dan Bu Tika tidak dapat mendengar. "Gue juga mau."

"Saya kira Pak Saka nggak suka pie." Samara pasti ingat dengan apple pie pemberiannya yang tidak disentuh sama sekali.

"Emang nggak suka." Saka mengutuk lidahnya yang terlampau jujur. "Tapi ... pasti gue makanin kok."

Senyuman Samara berubah jadi tawa kecil.

"Gue bayar," tambah Saka cepat-cepat. "Berapa harganya?"

"Saya nggak terima bayaran."

"Kalau gitu apa? Gold medal yang gue dapet di PON kemarin, mau? Kaos tanda tangan gue? Air Jordan yang gue pake waktu pertama kali masuk timnas?"

Mendengar semua itu, tawa Samara makin menderai. "Saya pikirkan nanti."

"Janji?"

"Janji."

"Kuenya ... gue boleh request less sweet?"

Samara menahan senyumnya dan mengangguk. "Boleh."

"Loyangnya jangan terlalu besar, karena gue bakal makan sendiri."

AmbrosiaWhere stories live. Discover now