Kak Satrio kaget

874 19 0
                                    

Jam menunjukan pukul 3 subuh dan Sasa merasa lega. Kepalanya yang tadi terasa sakit kini tidak sakit lagi. Suhu badannya pun sudah normal. Tangan kirinya terasa berbeda dan di lihatnya karena ada tangga yang mengenggamnya. Sasa merasa bahwa pantas saja tangannya seakan penuh ternyata tangan Mas Seno yang membuat tangannya seperri itu.

Senyum di wajah Sasa begitu cerah sekalih. Tangannya yang kanan pergi ke keningnya dan mendapatin handuk kecil yang sudah kering disana. Segitu banyak hal yang dilakukan Mas Seno kepadanya. Karena menurut Sasa bukan hal mudah untuk bisa merawat orang sakit.

Ucapan terima kasih pun kayanya tidak bisa membalas apa yang Mas Seno lakukan terhadapnya. Tidur dengan keadaan duduk bukan hal yang baik. Bisa saja badannya terasa sakit jika bangun. Tapi, lagi-lagi Sasa merasa dadanya mau meledak hanya karena semua hal yang dilakukan oleh Mas Seno kepadanya.

Jatuh cinta sampai berulang tentu bukan hal sulit apalagi yang di cintai adalah sosok pria yang dimatanya sempurna. Tapi, bukankah setiap orang jatuh cinta pasti merasakan itu. Merasakan orang yang di cintai adalah orang yang sempurna. Jadi terasa wajar jika Sasa tidak ingin apapun lagi hanya ingin Mas Seno bersamanya. Tapi, itu tentu tidak mudah karena mereka berbeda. Mas Seno tidak mungkin jatuh cinta kepadanya, kepada adik sahabatnya yang beda 10 tahun dengannya. Apalagi Sasa bukan kategori perempuan cantik dan menarik. Tentu semua hal yang ada di pikiran Sasa di buangnya secara terang-terangan agar tidak sakit hati lantaran melambungkan harapan yang tinggi mungkin berimbas dengan kekecewaan. Tidak di pilih adalah hal yang menyakitkan. Lalu sepegetahuannya, Mas Seno sudah punya pacar.

Sasa mencoba tidur karena jam masih menunjukan pukul 3 dini. Mengusap lembut rambut Mas Seno. Karena jika Mas Seno dalam keadaan bangun. Sasa tidak bisa melakukan hal itu. Melakukan hal yang di sukainya, yaitu memainkan rambut pria yang sudah merebut hatinya sejak dirinya berusia 10 tahun.

Kantuknya mulai hadir dan tidak lama matanya sudah tertutup. Kebahagian masih sangat di rasanya saat dalam tidurnya. Semuanya ingin di kenangnya dan disimpan dengan baik di memori otaknya. Membiarkan semua hal ini menjadi hal yang baru di hidupnya. Mencintai dalam diam memang berresiko tapi, bukankah cinta tidak pernah memilih siapa yang akan di pilihnya. Sasa akan menikmati semua itu, semua yang datang apalagi mengenai cintanya ke Mas Seno.

"Sa, bangun." Entah bagaimana suara kakaknya di dengarnya. Suara yang tiap pagi saat dirinya harus di bangunkan. Tentunya saat Mamanya keluar kota dan tanggung jawab di limpahkan ke Kakaknya. Tapi, bukan kah Sasa hanya berdua dengan Mas Seno? Ah masa ini mimpi. "Sasa bangun."

Guncangan di badan yang di rasa Sasa bukan main-main. Maka, wajar saja jika pada akhirnya Sasa membuka matanya dan mendapatin pria yang seumur hidupnya selalu bersamanya yaitu Kak Satrio. "Astaga Sa. Kamu bikin malu, liat tuh iler kamu. Iih menjijikan." Bukan Satrio namanya kalo tidak usil dengan Sasa.

Sasa langsung duduk dan mengusap kedua pigiran bibirnya dan tidak mendapatkan apa-apa disana. Sedangkan Satrio sudah lari keluar dengan tawa yang membahana.
"Kak Satrio." Teriak Sasa. "Awas yah Kak, aku laporin sama Mama. Isst." Sasa bangun, lalu melihat baju yang di pakai dari semalam hanya kaos Mas Seno, tanpa dalaman apapun. Maka, setelah membersihkan tempat tidur, Sasa pergi ke tempat jemuran untuk mengambil pakaian sekolahnya yang sudah kering lalu memakainya dan turun ke bawah.

Sasa hanya melihat kakaknya di meja makan. "Makan Sa, baru pulang." Baru juga menarik kursi tepat di samping Kak Satrio, Sasa sudah mendengar kalimat itu.

"Mas Seno, mana kak?" Tanya Sasa yang sudah ingin menikmati bubur ayamnya.

"Ngantor. Kamu ngga lihat jam sudah menunjukan pukul 9."

"Yah maaf. Kak, namanya juga orang sakit."

Satrio yang memakan anggur menengok ke arah adiknya. "Sakit, tapi jadi alhamdulilah yah kan? Di rawat oleh first love." Ejek Kak Satrio.

"Kakak." Hampir saja, Sasa tersedak oleh suapan pertamanya. Karena mendengar kalimat Kakaknya yang naudzubillah buat Sasa ingin menghilang dari sini. Untungnya Mas Seno tidak ada. "Isst, kalo ada Mas Seno Kak. Kan malu."

"Ngapain malu. Seno juga tahu."

Kali ini Sasa benar-benar tersedak mendengar kalimat Kak Satrio. "Kakak, yah Tuhan!" Sasa panik. "Ko bisa di tahu sih Kak." Raju Sasa. Karena bagaimana juga yang Sasa tahu bahwa cinta dalam diamnya tidak mungkin sampai ke telinga Mas Seno.

"Gimana ngga tahu. Kamu kelihatan sekalih Sa."

"Kelihatan apanya Kak? Sasa ngga ngerti."

"Kelihatan begonya di depan Seno." Tawa Satrio.

Sasa memukul bahu Satrio dengan kuat. "Awas yah kak. Aku laporin Mama."

"Kakak laporin balik. Kamu bermalam di apartemen Seno. Apartemen cowo loh yah." Ancam balik Satrio.

"Sasa sakit loh Kak. Jadi kakak tuh peka dikit lah. Adiknya sakit tapi, yang urus malah orang lain. Untung ada Mas Seno kalo ngga Sasa pagi ini masih sakit." Sasa hanya memakan buburnya 3 kali suapan lalu membalas ucapan Satrio dengan menyelipkan kalimat perbandingan.

Menyelesaikan kunyahannya lalu Satrio bicara. "Maaf tapi, kamu suka kan?"

"Isst, kakak! Nyebelin." Sasa berdiri dan memilih ke westafel untuk mencuci gelasnya dan membuang buburnya yang masih tersisa banyak.

"Buburnya kenapa tidak di makan, Sa?" Menyaksikan adiknya membuang bubur di tempat sampah. "Sasa, mubasir."

"Buburnya sudah encer kak. Engga enak lagi di makan. Sasa ngg nafsu makan." Bener saja. Bubur itu tidak lagi nikmat di makan karena encer mungkin di belinya sudah berjam-jam lamanya jadi yah gitu rasanya tidak lagi enak. "Kakak mau?"

"Tidak." Jawab Satrio tanpa mikir lama dan membiarkam Sasa membuang bubur itu. Setelah mencuci gelasnya dan membersihkan dapur. Sasa mengajak Kak Satrio pulang. Seperti biasa mereka akan berdebat ini dan itu. Perjalanan diisi oleh cerita Sasa yang ini dan itu dan akan di tanggapin dengan sinis oleh Satrio.

"Mama kirim pesan. Katanya kamu di telpon ngga di angkat Sa." Ucap Satrio membaca chat dari Mamanya setelah berhenti lantaran lampu merah dan ponsel di kantong celananya bergetar.

"Aduh, ponsel Sasa di kamar Mas Seno." Sasa memukul keningnya karena setelah menganti baju dan menyimpan baju kotor yang di gunakannya semalam. Sasa meletakan ponselnya di tempat tidur.

"Modus."

"Kakak. Isst kenapa sih Sasa harus punya kakak nyebelin." Di bilangin modus tentu Sasa tidak terima karena bagaimana juga. Sasa tidak berniat begitu tapi kalo jalannya untuk dekat dengan Mas Seno seperti ini mau di apa. Sasa terima dengan lapang dada.

"Alasan banget kamu Sa, kebaca tahu." Satrio berucap itu tentu melihat pengalaman sebelum-belumnya. Mengenai Sasa yang centil dan soh lupa di depan Seno. "Udah, ngaku Sa."

"Sasa benar-benar lupa kak. Lagian ngapain ponsel Sasa yang Sasa tinggal, kenapa bukan hati Sasa saja. Agar Mas Seno tahu." Ucap Sasa setelah lampu merah berubah menjadi hijau dan bertanda mereka harus jalan. Tapi, mendengar kalimat adik kecilnya membuat Satrio kaget bukan main. Adik kecilnya ternyata sudah besar, banyak hal yang di lewatinya sebagai kakak. Termasuk pria yang di suka. Satrio sebenarnya hanya memacing namun, kalimat Sasa tentu membut syok bukan main.

Pipp

"Kakak jalan." Suara klasok mobil yang berada di belakang membuat Sasa ngeri. Menyadari ucapannya membuat Kakaknya terdiam dan tidak konsentrasi dengan mengemudi. Membuat Sasa merutuki dirinya dan mulutnya yang suka ceplas ceplos. Karena biasanya Sasa tahu tempat tapi, kali ini tidak. "Astaga kak, itu juga orang ngga sabaran banget. Sampai klakson berkali-kali dia pikir jalanan ini. jalanan nenek moyangnya" Sasa mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Sa, kamu benar suka sama Seno?"

****

Sulbar, 09 Oktober 2023

Ragumu, Rugimu Where stories live. Discover now