Hei cupu

474 11 0
                                    

"Sasa." Cika menyikut Sasa yang masih menjatuhkan kepalanya ke meja, sementara di depan sudah ada guru yang baru masuk untuk memulai pelajaran. "Sa, Pak Arbel sudah masuk." Bisik Cika membuat Sasa menegakan duduknya.

"Kenapa lo ngga bilang dari tadi." Bisik Sasa dengan sinis, kepada Cika.

Memutar bola matanya tanda tidak suka Cika lakukan. "Lo aja budek." Cika tentu sudah lakukan dari awal. Sebelum Pak Alber masuk di ruangan dan memulai pelajaran.

"Ko gue ngga dengar?" Tanya Sasa dengan polos.

Jika tiada ada Pak Alber di depan Cika ingin membetak Sasa atau meneriaki Sasa, agar Sasa tahu kalo Cika tadi sudah berusaha untuk membuat Sasa sadar bawa kelas akan di mulai. Tapi, dengan sabar Cika hanya bilang. "Maafin gue, Sa." Untuk mempercepat semuanya Cika memilih minta maaf. Walau, sebenarnya Cika tidak tahu salahnya.

"Emang lo salah?" Entah mode apa Sasa lakukan. Tapi, yang jelas Cika terpancing.

"Yah engga, lo yang salah. Lo yang harus nya minta maaf ke gue." Ucap Cika dengan sinis.

Mengaruk sikunya yang tidak gatal Sasa lakukan. "Yah, terus kenapa gue yang salah?"

"Karena lo bego. Lo kenapa lagi? Mas Seno lagi ini yang mau di bahas." Cika sudah tahu banyak cerita mengenai cinta pertama Sasa untuk teman kakaknya yang bernama Mas Seno. Cinta dalam diam yang sampai sekarang tidak pernah berubah status. Hanya jalan di tempa. "Lo dan dia itu beda, Sa." Cika memperingat Sasa lagi, perihal perbedaan usia dan juga banyak perbedaan lainnya. Agar Sasa buka mata bahwa tidak semua yang ada di dunia ini, dia mau dan akhirnya dia dapat.

"Beda apanya? Gue manusia dia juga manusia."

"Sasa, Cika." Perdebatan Sasa dan Cika harus terhenti karena tiba-tiba Pak Alber yang ada di depan menegurnya. Sasa dan Cika yang tadi saling berpandangan kini mengalihkan pandangnya ke depan tepat dimana Pak Alber berdiri di depan mejanya.

Semua mata juga tertujuh pada Sasa dan Cika. "Masih mau ngobrol?" Pertanyaan Pak Alber membuat Sasa dan Cika mengelengkan kepala dan serentak menjawab 'Tidak pak'. "Kalo masih mau ngobrol silahkan keluar."

Setelah teguran itu. Sasa dan Cika memutuskan diam dan memperhatikan apa yang Pak Alber jelaskan di depan. Memang dasarnya Sasa dan Cika sangat tidak suka mata pelajaran muatan lokal (mulok). Apalagi yang mengajar Pak Alber yang kebanyakan cuman bicara ini dan itu tapi, sungguh tidak masuk di telingah mereka berdua.

1 jam 25 menit terasa begitu lama buat Sasa, apalagi di pikirannya hanya ada Mas Seno untuk saat ini. Kelas hanya terdengar suara Pak Alber sedangkan semua siswa hanya mendengar tapi, tidak jarang ada yang membuat pertahanan buku di depannya agar tidak kelihatan siswa tersebut tidur. Sasa ingin mencontoh hal itu tapi, mau bagaimana duduk di depan tentu akan jauh lebih cepat ketahuan.

"Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin IV (bin almarhum Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin III) adalah Sultan Sumbawa ke-18 (m. 5 April 2011-sekarang)." Jelas Pak Alber di tepat duduknya. "Tahun 1931 merupakan tahun dilaksanakannya Penobatan Sultan Sumbawa, Sultan Muhammad Kaharuddin III ( 1931 – 1958 ) sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, pada tahun 1950 melalui Surat Emasnya, Sultan Sumbawa menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Entah sudah berapa banyak kalimat yang keluar dari mulut Pak Alber. Sistem mengajar kaya baca dongeng tentu tidak efisien untuk anak SMA yang sebentar lagi lulus. Karena dari pada sibuk membacakan, yang padahal siswa/siswi mampu membca sendiri leboh baik memberika sistem mengajar yang lain.

Bunyi bell menyelamatkan semua yang ada di kelas itu. Teriakan syukur terdengar dari 1, 2 siswa yang cape duduk. Pak Alber keluar dan beberapa siswa dan siswi juga keluar entah ke kantin atau hanya di taman. 2 mata pelajaran terlewatin tentu membut perut minta diisi. "Ke kantin yuk Sa." Ajakan Cika tentu langsung di iyakan oleh Sasa. Memberesakan bukunya lalu berjalan beriringan ke kantin. "Lo, tahu Sa. Brian anak IPA 1?" tanya Cika.

Sasa mengeleng. "Engga tahu."

"Makanya, lo jangan di kelas mulu. Ngga tahu beritakan." Ejek Cika. "Brian baru putus sama Angel seminggu lalu. Jangan bilang kamu ngga tahu Angel." Selidik Cika, karena memang temannya satu ini jarang bergaul. Jangankan jarang bergaul, keluar kelas saja nanti ada dia kalo tidak Sasa lebih suka di dalam kelas menyendiri. "Upps lupa, dia kan selalu bully lo. Angel yang soh cantik itu."

"Angel yang itu?" tanya Sasa.

"Iya Angel yang itu, emang ada berapa Angel di sekolah ini. Tapi, lo ngga tahu Brian cowok paling tampan di sekolah ini dan Angel masuk kategori perempuan beruntung, karena sempat pacaran selama 1 bulan dengan Brian." Gosip yang di sampaikan oleh Cika seakan air mengalir yang sebenarnya sangat tidak penting buat Sasa. Tapi, Sasa tentu tidak ingin memadamkan semangat Cika untuk bergosip hal yang tidak penting. "Lo harus lihat Brian. Brian anak pindahan."

Sasa duduk di meja paling ujung dan sedikit bingung saat mendengar Cika menyampaikan mengenai informasi terakhir. "Bukannya anak kelas 3 seperti kita, ngga boleh pindah?"

Mengedipkan bahunya lalu menjawab. "Katanya sih keponakannya kepala sekolah." Jawaban itu sungguh masuk akal mengenai peraturan yang di langar, tentu tidak masalah jika orang penting ada yang urus. "Lo lihat yang di samping Angel." Sasa mengikuti telunjuk Cika yang mengarah ke tengah tempat dimana Angel berada. "Di sampingnya itu namanya Brian."

Sasa mengangguk. "Bagaimana tampan kan?"

Sasa meneliti lebih jauh dan entah berapa lama pria yang di perhatikan oleh Sasa melihatnya juga. Sehingga pandangan mereka bertemu lalu Sasa dengan cepat mengalihkan pandangannya saat menyaksikan senyum tipis dari Brian. Jantung Sasa seakan berdetak tidak karuan saat  menyaksikan senyum tipis itu. "Sa, lo pesan apa?" Pertanyaan Cika membuat Sasa bisa bernafas lebih legah.

"Mie ayam sama es jeruk. Lo?"

Cika berdiri dan bilang di samain lalu tinggallah Sasa sendiri di mejanya. Sasa tidak akan pernah mencoba melihat ke Brian lagi. Karena sempat dia coba hanya melirik tapi, ternyata Brian menatapnya dengan senyuman tipis lagi. Sasa tidak ingin tahun terakhirnya di sekolah jadi pusat perhatian atau apapun itu, Sasa tidak ingin terlibat. Cukup Angel yang selalu membully nya dan kali ini Sasa tidak ingin terlihat. Baik oleh siapapun.
"Ini nyonya." Gurau Cika setelah meletakan pesanan mereka berdua di atas meja.

"Eh, oke Bi." Memang begini lah mereka berdua saling bercanda tapi, pada akhirnya tertawa.

Mereka berdua menikmati makannya, kadang bercerita dan kadang pulang tertawa. Sikutan Cika membuat mie ayam yang ada di garpu Sasa yang siap masuk di mulut tergoyang dan untung saja tidak jatuh terkena bajunya. "Apaan Cik?" Kesal Sasa. Sambil menatap tajam Cika.

Cika mengerak dagunya. "Brian kayanya lihat ke meja kita deh.

Sasa lagi-lagi mencari ke benaran itu dengan cara melihat meja Brian dan benar saja pandangan mereka bertemu untuk ke tiga kali serta senyum tipis yang Brian berikan masih sama. Dengan gugup Sasa membuang pandangannya lagi. Karena rasa takutnya yang berlebihan membuat nafsu makannya kiang berkurang. "Dasar geer." Olohkan pada Cika. Agar Cika tidak menyadari bahwa dirinya berhenti memakan makanannya.

"Isst, coba lo lihat."

"Ngapain di lihat. Kan bisa saja lihatnya meja sebelah kiri atau kanan, kita." Setelah itu Sasa meminum jus jeruknya. Membiarkan Cika berargumen yang tidak-tidak. Karena benar saja bahwa Sasa juga menyadari itu. Menyadari bahwa ada hal yang istimewa di meja mereka sehingga Brian menatap tanpa henti ke meja mereka.

Entah kesialan apa, Angel yang menyadar di lengah Brian memanggilnya. "Hei cupu." Awalnya Sasa tidak ingin balik karena itu bukan namanya tapi, sumpit yang tiba-tiba mendarat di mejanya. Tentu membuat Sasa melihat ke arah meja Angel, Brian dan kawan-kawan. "Lo budeg, cupu." Teriak Angel.

****

Sulbar, 14 Oktober 2023

Ragumu, Rugimu Where stories live. Discover now