Kehebohan Cika

309 7 1
                                    

"Sa, lo gila." Sasa harus bersabar. Mendengar teriakan cempreng sahabatnya dari sebrang. Kali ini setelah semua selesai makan malam Sasa harus mencuci piring dan baru naik ke kamar setelah semuanya selesai. Ponselnya bergetar terus dan melihat ada 15 panggilan tidak terjawab dari Cika sahabat gilanya. "Katanya ngga suka, tapi pulang bareng. Cuaks..."

"Apaan sih Cik. Ngga jelas." Sasa menjatuhkan dirinya di tempat tidur begitu saja.

"Ngga usah pura-pura bego." Cibir Cika. "Lo pulang sama Brian, yah kan?"

Sasa di tempat memutar bola matanya. Karena benar saja gosip secepat itu tersebar. "Lo tahu dari mana?"

"Haha... jilat ludah sendiri, gimana rasanya?"

"Isst Cik." Sasa tidak suka saat Cika menertawainya seperti ini.

"Palingan tidak sampai sebulan. Lo jadian sama Brian dan lo ucapkan selamat tinggal sama Mas Seno." Kali ini Cika seakan puas. Mendengar Sasa berguma tidak jelas di sebrang sana. "Kalo di tembak sama Brian, jangan soh nolak yah..."

"Brian mau tembak gue? Kayanya lo belum tidur tapi, mimpi Cik." Kepercayaan diri Sasa memang terjung bebas selama ini.

"Percaya sama gue. Kalo Brian tertarik dengan lo."

"Ngapain gue percaya lo. Itu jatuhnya muzrik, setan."

Lagi-lagi Cika tertawa menertawakan Sasa yang terlalu sinis bicara dengannya. "Ngga gitu bego. Lo harus yakin kalo Briam memang benar-benar tertarik dengan lo."

"Yah elah, kenapa gue harus yakin. Itu terserah dia. Mau tertarik ke. Mau mati ke, gue ngga peduli." Ucap Sasa dengan cara mengebu-gebu sambil menatap langit-lamgit kamarnya. Karena menurutnya Brian hanya penasaran dengannya. Setelah penasaran Brian terpenuhi mungkin Sasa di hempas begitu saja.

"Astaga Sa. Kepercayaan diri lo lagi nyusep yah? Nyusep kemana? Sampai segitunya. Sama Mas Seno saja pedenya kelebihan. Ini sama Brian selalu bilang antar langit dan Bumi. Harusnya yang antara langit dan bumi itu lo sama Mas Seno yang umurnya 10 tahun lebih tua dari lo. Mana udah punya pacar lagi." Sasa sudah tahu. Kalo Cika akan mengomel panjang kali lebar juga melibatkan Mas Seno. Tapi, tetap saja Sasa sedikit tidak terima Mas Seno di bahas. "Ingat Sa, masa putih abu-abu kita akan berakhir. Setidaknya lo punya pacar sebelum umur lo menginjak 18 tahun. menjomblo abadi adalah julukan yang mengerikan mungkin tidak bagi lo untuk sekarang. Tapi, saat lo sudah dewasa lo akan sedikit menyesal. Banyak hal yang perlu lo coba, nunggu cinta Mas Seno balik sama aja nunggu kiamat besar datang."

Cika tentu tidak akan menyia-yiakan waktunya untuk menceramahi Sasa ini dan itu. Sasa juga tidak ingin mengelak terus-menerus sehingga membiarkan di sebrang sana Cika bicara. Sasa akui bahwa apa yang di bilang oleh Cika benar adanya. Selama ini Sasa tidak pernah pacaran karena cinta dalam diamnya untuk Mas Seno begitu besar. Tidak mempedulikan apapun yang datang karena yang Sasa mau hanya Mas Seno.

Kali ini mata Sasa tidak bisa tertutup jauh lebih cepat. Padahal jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Pikirannya kemana-mana apalagi mengenai besok dirinya akan ke sekolah, dengan gosip yang pasti menjalar kemana saja.

Sasa merutuki kebodohannya karena bisa-bisanya dirinya naik di motor Brian hanya karena Brian mengancam tidak akan memidahkan motornya walau Bis datang. Di atas motor pun Sasa tidak pernah bicara sama sekalih hingga tiba di depan rumahnya. Sedangkan Brian sudah bicara banyak tapi, hanya di diamin oleh Sasa.

Ponselnya bergetar, kali ini tiada nama tertera sehingga membuat Sasa malas untuk mengangkat telpon tersebut. Selain karena tidak penting pasti orang iseng. Lihatlah sudah malam seperti ini tapi, tetap saja menelpon.

Mengsugesti dirinya untuk tidur dan membiarkan ponselnya bergetar terus menerus. Sugestinya tidak manjur maka, Sasa bangun dari tempat tidur lalu mengambil novel yang berada di atas meja belajarnya. Melanjutkan membacanya dengan cara berbaring dan pada akhirnya Sasa tertidur nyenyak. Meninggalkan semua pikiran anehnya termasuk sifat Brian yang membuatnya tidak nyaman ke sekolah.

***

"Wow, pencetak rekor baru." Kak Satrio kaget melihat adik kecilnya yang baru turun sarapan di jam yang sebentar lagi proses pembelajaran di mulai. Karena tidak biasanya Sasa seperti itu. Sasa biasanya sibuk di dapur membantu Mama sebelum bersiap ke sekolah. "Sa, jam weker kamu habis baterai?"

Jawab Sasa dengan lesu. "Ngga Kak. Lagi malas ke sekolah."

3 orang di meja makan sungguh bertanya-tanya lantaran Sasa yang sangat rajin ke sekolah. Tiba-tiba bersuara dengan alasan yang sungguh membuat mereka kaget. "Eh, ko tumben anak Mama bilang gitu."

"Papa juga baru dengar." Mama dan Papa Sasa juga khawatir dengan apa yang di ucap oleh anak bungsunya. "Di sekolah ada yang gangguin, Dek?"

Sasa yang dari tadi sibuk mengunya. Kaget dengan pertanyaan Papanya. "Hm, ngga juga Pa. Cuman lagi malas saja." Bohong. Sasa Bohong, harusnya dia bilang iya ada yang menganggunya tapi, Sasa takut jadi panjang. Kak Satrio pasti akan ke sekolah. Jadi lebih baik berbohong.

"Yah udah. Ngga usah sekolah dulu, Dek."

"Boleh Pa?" Tanya Satrio. Karena menurutnya ada perbedaan yang sangat jauh. Dirinya di banding Sasa. Sasa selalu dapat toleransi dari Papa sedangkan Satrio tentu tidak.

"Boleh." Jawab Papa-Bio.

"Loh, ko beda yah. Satrio dulu ngga boleh absen dari sekolah tapi, Sasa boleh." Keluhan Satrio di utarakan.

"Sasa anaknya nurut beda dengan kamu. Bandelnya naudsubillah." Kali ini yang menanggapin yaitu Mama-Shiren.

Satrio menghentikan makannya. "Bilang saja Mama dan Papa pilih kasih." Cibir Satrio.

"Cielah. Kak Satrio ceritanya cemburu yah." Ejek Sasa.

"Sudah mau jadi suami orang. Masih saja tingkahnya kaya anak kecil." Gelengan dramatis Papa berikan.

Sasa dan Mama tertawa melihat bagaimana Satrio yang kesal karena mereka isengi. Sarapan seperti ini sudah menjadi rutinitas mereka. Mereka selalu mengusahakan untuk sarapan bersama karena dengan cara seperti ini mereka punya waktu yang kualitas walau sedikit.

"Non," Sasa yang lagi menumpukan piring bekas, agar Bi ina tidak repot. Berbalik melihat Bi ina yang memanggilnya sementara yang lain sudah sibuk untuk berangkat bekerja. Walau mereka memiliki asisten rumah tangga. Sasa sudah di ajarkan dari kecil untuk meringankan pekerjaan ART. Seperti menumpuk piring bekasnya.

"Yah, Bi."

"Itu teman Non, sudah lama di depan. Nungguin Non."

Kening mengerut Sasa tampilkan. Teman siapa yang di maksud Bi Ina? Otak cantik Sasa bertanya-tanya. Karena jika Cika, Sasa rasa tidak ada pembahasan mengenai Cika yang akan menjemputnya selama mereka telponan. Lalu ponsel Sasa hanya menampilkan 2 panggilan tidak terjawab dari nomor baru. Selebihnya tidak ada pesan apapun dari siapa pun.
Sasa berjalan ke depan sambil mengambil tasnya dan berhenti di dekat pintu untuk memakai sepatunya.

Mata Sasa hampir mengelinding keluar saat menyaksikan di teras ada Papanya, Kak Satrio dan tamu tidak di undang yaitu Brian. Sasa tidak menyangka kalo Brian senekat ini. Datang ke rumahnya dan bertemu sama Papa dan Kak Satrio. Sasa ingin menghilang saat Kak Satrio memanggilnya. "Sa,"

Langkah demi langkah terasa berat. Seakan ada 10 kg batu yang berada di kedua kaki Sasa. Jika membunuh tidak dilarang dan tidak berkonsekuensi masuk penjara, Sasa ingin membunuh Brian yang lagi tersenyum kepadanya. Senyum mengejek yang mengerikan di mata Sasa.

2 langkah lagi Sasa sampai tapi, Sasa ingin Papa dan Kak Satrio pamit deluan pergi kerja. Sayangnya semua itu tidak terjadi. "Lama banget jalannya." Memang dasar jail. Kak Satrio berucap seakan tragis saat Sasa sampai di samping Papanya. "Keong saja lebih cepat dari jalan mu yang tadi Sa."

"Isst, Kakak."

"Temannya Adek?" Papa-Bio bertanya.

Sasa tanpa ragu mengeleng. "Bukan Pa."

"Pacar?" Bukan Papanya yang bertanya tapi, Kak Satrio.

"Bukan yah. Kak." Brian hanya tersenyum dan bersyukur dengan keluarga Sasa yang welcome kepadanya.
"Nyebelin."

"Yah udah, Papa berangkat." Setelah Papa-Bio pergi. Sasa mencoba memutar otaknya agar dirinya bisa pergi ke sekolah dengan Kak Satrio. Karena belum selesai gosip yang kemarin tapi, kayanya akan tambah lagi.

"Brian titip adik gue."

****

Sulbar, 19 Oktober 2023

Selamat membaca 🥰

Ragumu, Rugimu Where stories live. Discover now