2nd

9.1K 1K 40
                                    

Jam digital yang ada di sudut kiri bawah tivi swasta sudah menunjukkan angka 21:24 saat telpon apartemen berdering. Dengan malas, Luna mengangkatnya. Dari seberang sana, terdengar suara satpam lobi.

"Mbak, ada pengantar pizza dari PizzaQ. Mau diizinkan naik?"

Luna mengernyit. PizzaQ? Seingat Luna, dia tidak memesan pizza atau apapun dari restoran pizza itu. Atau ada orang yang mengusilinya dengan memesan makanan lalu mengirim ke apartemennya? Luna menghela napas. Kasihan kalau diusir. Toh pengantar pizza itu hanya menjalankan tugasnya.

"Ya udah, kasih izin aja, Pak," ujar Luna akhirnya.

Empat menit kemudian, bel berdentang. Dari celah kecil di pintu, Luna mengintip. Tampak seorang lelaki berbadan tegap dengan topi dan jaket khas PizzaQ sedang membawa sekotak pizza ukuran medium. Luna menghela napas. Semoga saja, setidaknya, dia suka rasa pizza salah alamat itu. Dengan memegang dompetnya, Luna membuka pintu dan bersiap membayar.

"Hai, Lun," sapa pengantar pizza tersebut. 

"Astaga, Adil. Ini persis adegan sinetron. Pura-pura jadi pengantar pizza, seriously? How old are you?"

Adil hanya menyahut dengan sebuah senyum tipis. "Gue gak diizinin masuk?"

Luna menggeser tubunya, memberi celah untuk Adil berjalan masuk seolah mengenal apartemen itu seperti mengenal dirinya sendiri. Kotak pizza itu ia letakkan di atas meja sementara Adil memilih mendaratkan tubuhnya di atas sebuah sofa yang bisa beralih fungsi menjadi sofa bed--satunya-satunya sofa di apartemen yang berukuran kecil itu. Luna datang dengan segelas jus jeruk kotak dan sebelum Adil berkomentar dengan cepat Luna mengultimatum, "jangan minta minum lain. Cuma ada itu."

Adil menerimanya dalam diam. Tangan Adil membuka kotak pizza dengan sigap lalu menuangkan saos di atasnya. Pizza dengan taburan daging sapi dan jamur berpinggiran keju--favorit Luna. 

"Say 'aaaa'," pinta Adil. Patuh, Luna membuka mulutnya dan membiarkan pizza itu masuk ke mulutnya, satu gigitan, lalu dihabiskan oleh Adil.

"Lah, gue segigit lo seslice. Tukang pizza jaman sekarang maruk, ya." Adil hanya tertawa menanggapi komentar Luna.

"Lo gak ada TV? Nonton dong, HBO kek."

"Di kamar."

Adil hanya manggut-manggut. Tidak berniat melanjutkan.

"Dil, pulang gih," cetus Luna akhirnya. "udah jam 10."

Adil menatap Luna, wajahnya kosong. Tatapannya tak terarah. "Gue enggak mau ngusir, Dil. Cuma lo tau kondisinya kayak apa. Lo suami orang. Stella bilang, gue harus mulai jaga jarak. Kondisinya gak sama, Dil. Apa kata orang?"

"Sejak kapan, Lun?" potong Adil. "Sejak kapan lo perduli kata orang?"

"Sejak lo nikah. Sejak gue sadar diri posisi gue siapa. Dil, wake up. Posisi kita gak sama kayak dulu. Gue enggak mau orang berpendapat negatif tentang gue--walau gue gak peduli sama itu. Tapi, ngerti dikitlah. Lo kira siapa yang disalahin kalau ada yang liat lo di sini, Dil? Gue. Bukan lo. Gue yang dikata gatel, ngedeketin suami orang. Gue, Dil. Gue." 

"Lun." Suara Adil lembut. Tangannya terangkat, hendak menyentuh wajah Luna yang sudah dibasahi air mata. Dengan cepat, Luna menepisnya. Luna berdiri, masuk ke kamar mandi dan melanjutkan tangisnya di sana. Ia terduduk di kloset, menatap kaca westafel yang ada persis di depan wajahnya. Wajahnya memerah. Ingusnya mulai mengucur dari hidung--persis keran air. 

Kenapa nasibnya harus seburuk ini? Tidak cukup ia dicap mandul? Sekarang, dia harus didekati oleh lelaki beristri? Lelaki yang membuangnya karena dia infertil itu? Lelaki yang sama? Lelaki yang memilih Ibunya dibanding Luna. Demi dewa-dewi, Luna tau, surga di bawah telapak kaki Ibu atau apalah itu. Tapi, kenapa semenyakitkan ini?

[2/3] It's todayWhere stories live. Discover now