6

6.6K 771 8
                                    

Adil sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam. Seperti biasa, Lia menunggu di sofa depan dengan segelas earl grey yang sudah dingin--saking lamanya menunggu Adil pulang. Adil tersenyum menatap istrinya itu. Lia, dengan sopan, mencium punggung tangan Adil yang langsung dibalas dengan sebuah kecupan dahi--kebiasaan yang entah sejak kapan sudah tak bisa mereka lenyapkan lagi dari kulit mereka.

"Kamu harusnya langsung tidur aja, Lia," ujar Adil setelah menghabiskan earl greynya dalam satu tegukan cepat. Lia diam saja, tidak berkata apa-apa. Adil juga tidak terlalu memperhatikan. Ia tidak begitu merasa dekat dengan Lia. Ia hanya melakukan semuanya sebagaimana seharusnya seorang suami bersikap. Sopan. Iya, kan?

"Aku tidur dulu, Mas," pamit Lia yang segera disahuti Adil dengan sebuah anggukan paham. Adil berjalan menuju kamarnya tak lama kemudian, lalu mengunci pintu kamar itu. Tubuhnya yang lelah--secara fisik dan mental--ia rebahkan di atas ranjang berukuran queen, lebih kecil dari yang ada di kamar utama--kamar yang ditempati Lia. Di kepalanya, percakapan terakhirnya dengan Ari tadi masih terbayang. Ari tidak memaksanya, tapi Ari memintanya, dengan sopan--tingkat kesopanan yang membuatnya jengah, karena harusnya, sebagai sahabat, mereka saling terbuka saja. Iya, kan? Ari memintanya pelan-pelan berhenti menemui Luna dan fokus pada apa yang ada di depan matanya: seorang istri yang cantik, baik hati dan pengertian: Lia. 

Yang Ari tidak tahu: Adil tidur terpisah dengan Lia sehingga rasanya, status suami yang dijabatnya itu tidak sama dengan status suami yang seharusnya. Yang Ari tidak tahu: Lia masih terus mengingat mantan kekasihnya yang bahkan Adil tidak tahu rupanya. Ari tidak tahu. Wajar kalau ia tidak mengerti kondisi sebenarnya. Adil paham. Tapi, entah kenapa, kata-kata terakhir Ari sebelum mereka berpisah di basement karena pulang dengan mobil masing-masing itu terus terngiang di kepala Adil, "dari awal, lo tau kenapa lo ninggalin Luna dan nikah sama Lia. Apa itu gak cukup, Dil, buat lo untuk pertahanin pernikahan lo?"

****

Lia mengambil sebauh foto dari antara bajunya yang terlipat rapi. Foto seukuran post card yang warnanya sudah agak luntur saking lamanya foto itu ia simpan. Foto Lia dengan Yusuf. Mereka berkenalan di universitas dengan Yusuf berperan sebagai seorang senior yang baik. Yusuf menjadi tutor Lia yang waktu itu agak kesulitan karena diwajibkan mengambil ekonomi oleh Ayahnya, padahal satu-satunya yang ia mau adalah mengambil jurusan sastra inggris. Yusuf lulus dengan nilai membanggakan, membuatnya diterima di sebuah perusahan multinasional dengan gaji lumayan. Tapi, tetap saja, gaji tidak cukup. Babat, bibit, bebet dan bobot atau apalah itu yang dimiliki Yusuf tidak cukup sepadan dengan Lia--atau begitulah menurut Ayah Lia. Awalnya, Lia memaksa, karena ia begitu mencintai Yusuf. Tapi, begitu Ayahnya mulai mencair karena mengasihi anak perempuan satu-satunya itu, Yusuf sudah keburu menikah dengan seorang perempuan lain. Teman kerjanya, katanya. Semua begitu cepat. Lia bahkan tidak tau apa yang sebanarnya terjadi antara dia dengan Yusuf. Yang ia tau, Yusuf meninggalkan Lia untuk seorang perempuan yang tidak ia kenal setelah mengucap kata cinta berkali-kali. Lia tertinggal sendirian dalam keadaan berdarah. Meratapi nasibnya yang entah kenapa lebih buruk. Lalu, datanglah Adil, anak teman arisan Ibu yang tampaknya baik hati dan paling penting: sepadan secara kasta sosial dengan Lia. Setelah bertemu beberapa kali, Lia tidak menemukan kejanggalan dalam diri Adil. Apalagi, Adil tampak berkarisma karena tidak banyak bicara namun sekalinya ia bicara, ia tahu betul apa yang dia bicarakan.

Namun, sekarang, enam bulan sejak pernikahan mereka yang bagai mimpi, sosok sempurna Adil yang tanpa celah perlahan mulai mengabur. Lia tidak mengenali suaminya. Wajar, karena mereka berdua memang jelas-jelas menutup diri. Tapi, apa yang Lia ekspetasikan tentang Adil, kini terpecah. Adil bukan lagi sosok laki-laki sempurna yang sabar dan baik hati. Adil.. peselingkuh. Adil, yang Lia kira memang menunggunya siap melakukan hubungan seksual itu, ternyata memiliki perempuan lain. Perempuan yang dengan beraninya ia bawa ke rumah. Ia kenalkan sebagai teman dan berinteraksi dengan wajar.

Apa perempuan tadi bohong? Siapa namanya? Sella? Sheila? Ah siapapun. Tapi, perempuan itu menunjukkan sebuah pesan yang tampak.. nyata. Dan di tangannya kini, ada sebuah alamat yang tidak nampak fiksi dibarengi sebuah nomor ponsel yang harusnya bisa dihubungi. 

Lia tidak mencintai Adil, harusnya. Atau begitulah menurutnya. Tapi, kenapa kemungkinan lelaki itu bermain api dengan perempuan lain terasa begitu menyakitkan? Kenapa memikirkan kemungkinan Luna dan Adil saling menyentuh rasanya lebih buruk dari kematian Lia sendiri? Kenapa membayangkan Adil meninggalkan Lia untuk Luna seorang menekan dadanya dan meninggalkannya kesakitan, seorang diri? Apa ini namanya cemburu? Apa Lia bisa cemburu pada lelaki yang ia yakin tidak ia cintai? Dan kalau benar ini memang cemburu, salahkah ia? Pantaskah ia mencemburui seorang laki-laki yang sudah bersumpah di depan keluarga dan banyak saksi untuk menikahinya? Bagaimana dengan kemungkinan poligami? Entah kenapa, Lia tidak sanggup membayangkannya. Lia tidak mau berbagi Adil. Dengan siapapun. Meski Adil mencintai perempuan itu mati-matian, meski Adil hanya bisa bahagia jika hidup dengan wanita itu, meski Adil memaksa. Lia tidak rela.

Kepalanya berputar, tapi tangannya lebih sigap meraih ponsel. Dengan gemetar, ia memasukkan nomor-nomor itu ke ponselnya. Sekarang nyaris tengah malam, harusnya, orang di seberang sana sudah tertidur. Tapi, Lia tidak perduli. Ini mungkin terdengar egois, tapi cemburunya nyaris membakar dadanya. 

"Halo, sapa ni," sapa sebuah suara serak dari seberang sana.

"Halo, ini Sheila, betul?" 

"Sheila? Sapa tu? Salah sambung. Salah sambung."

Lalu, klik. Telepon terputus. Sial. Mungkin Lia salah menyebut nama, ya? Ia juga lupa-lupa ingat nama perempuan tadi. Dan wajar, orang mengantuk biasanya tidak perduli kalau ada telepon begitu. Wajar kalau perempuan tadi menganggap itu salah sambung. 

Lagi, Lia menelepon nomor tersebut. Di deringan pertama, perempuan itu segera merepet, "ini bukan Sheila. Gak percaya amat, si?"

Tapi, kali ini perempuan itu tidak langsung memutus sambungan telepon. Dengan sigap, Lia memotong, "ini Lia. Camelia. Istrinya Adil."

Diam sedetik. Disusul sahutan, "oh, camelia ya. Lo lupa nama gue, ya?" tebanya dari seberang sana. "Gue stella. Stella. Kayak pengharum ruangan. Bukan sheilaa."

"Oh, iya. Maaf."

"Napa nelpon malam-malam?" Entah karena mengantuk atau itu sosok aslinya, Stella Sheila atau siapapun itu di seberang sana tidak terdengar sekaku tadi saat berkunjung langsung.

"Saya mau membuktikan kata-kata kamu. Saya mau, hm," Lia mencari kata-kata yang tepat, "memata-matai," suaranya tidak yakin, tapi toh ia lanjutkan, "suami saya dan Luna."

Tawa terpecah dari seberang sana. "Good. Good. Nomor lo gue simpen ya. Tar kapan gue sempet nemenin, gue telpon. Gue kerja soalnya. Met malam ya Camelia. Byebye."

Lia belum sempat berkomentar apa-apa. Telepon kembali diputus. Lia hanya menatap ponselnya, dengan ragu, cemburu dan panik yang sekelebat namun bertumpuk-tumpuk. Stella meninggalkannya dengan rasa penasaran yang memburunya. 

Malam itu, Lia tidak bisa tidur.

[2/3] It's todayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang