8

7.7K 851 40
                                    

Tanpa Luna ketahui, Adil memasukkan nama Luna ke group Bandung. Di Bandung, Adibrata group memang baru membuka cabang baru. Adil sengaja mengirimnya ke sana, supaya ia bisa sedikit menjaga jarak dari Luna dan hubungannya dengan Luna bisa lenyap dari endusan Lia. Adil memang sudah sepakat untuk berhenti menghubungi Luna, Lia memberikan satu bulan untuk tahap beradaptasi. Kalau sampai Adil masih tetap memilih mempertahankan Luna, Lia lah yang akan mengambil langkah mundur. Kata kasarnya: bercerai.

Memindahkan Luna ke Bandung adalah langkah terbaik yang bisa Adil ambil mengingat ia tak mau hubugannya dengan Luna kandas tapi ia juga tidak mau bercerai dengan Lia karena perceraian itu sama saja membakar dirinya. Kalau sampai Anisa, Ibu Adil tau, Adil telah berselingkuh--apalagi kalau Anisa tau kalau wanita itu adalah Luna--Adil tidak yakin masih bisa dianggap anak oleh Ibunya itu.

Sewaktu Luna bertanya kenapa namanya dimasukkan ke group bandung, Adil berkilah Luna cukup berpengalaman untuk mengambangkan cabang di Bandung. Luna hanya mangguk-mangguk dan percaya saja. Toh, Jakarta-Bandung tidak begitu jauh dan Bandung juga cukup metropolitan meski tidak sehip Jakarta. Jadi, sedikit-banyak, ia tidak akan kehilangan arah hidup di kota itu.

Dalam dua minggu, kepindahan Luna secara bertahap akan benar-benar terealisasi. Dan selama dua minggu itu pula, Adil menunjukkan kesungguhannya sebagai suami yang baik. Segala alasan ia berikan pada Luna untuk absen dari kebiasaan sabtu-minggunya. Kalaupun mereka harus bertemu, Adil mati-matian mencegah supaya mereka tidak harus melakukannya di apartemen Luna. 

Tapi, malapetaka sebenarnya baru terjadi satu bulan sejak kesepakatan antara Adil-Lia tercipta. Di minggu kedua Luna menetap di Bandung, Adil datang ke sana, dengan alasan pekerjaan, pada weekdays. Sepulang kerja, Adil mengajak Luna untuk makan siang di foodcourt yang ada di sebuah pusat perbelanjaan. Malapetaka itu datang dalam seorang perempuan berambut pendek berwarna hitam indah, mirip bintang iklan shampo. Perempuan muda yang wajahnya mirip Adil. Perempuan itu Zahra, adik Adil. Makan di foodcourt yang sama karena memang sedang berlibur ke Bandung, mumpung libur kuliah--Zahra memang sedang mengambil program S2 di salah satu universitas swasta di Jawa Barat.

Apa yang Zahra liat benar-benar mengejutkannya. Kakak laki-laki satu-satunya, role modenya, pahlawannya, sosok yang ia idolakan sejak ayahnya meninggal sedang bercanda mesra dengan seorang perempuan cantik di foodcourt somewhere in Bandung. Orang bodoh pun bisa membaca gesture mereka yang persis orang pacaran itu. Zahra tak bisa menahan dirinya. Rasa laparnya menguap begitu saja digantikan rasa penasaran bercampur kesal.

"Mas Adil," panggil Zahra dengan suara lantang. Cukup keras sehingga cukup untuk membuat beberapa pengunjung yang mejanya berdekatan dengan Adil ikut menoleh. Adil yang merasa namanya dipanggil segera menatap Zahra. Tatapannya kosong dan sulit diartikan, seolah Zahra adalah penampakan mahluk halus atau apa. "Ini siapa, Mas?" tanya Zahra tanpa memperdulikan tatapan kosong Adil dan tatapan penasaran Luna.

Melihat Adil yang enggak bisa menjawab, Luna berinisiatif menjulurkan tangannya hendak berkenalan, "Luna," sebut Luna. Tapi, tangannya dibiarkan melayang di udara. Dengan gugup dan malu, Luna menarik tangannya. Hatinya serasa diremas. Sakit. Sakit bukan main.

"Pulang, mas," ultimatum Zahra.

"Zahra, aku lagi makan. Ini di foodcourt, kamu jangan malu-maluin." Suara Adil terdengar lemah dan putus asa. 

"Do I look like I care?" tanya Zahra ketus. "Because I don't."

"Kamu pulang aja, Dil," ujar Luna lemah. "I'm okay."

"Zahra, kamu pulang duluan. Nanti kita bicara di kosan kamu. Mas langsung ke sana abis ini. Okay?"

Zahra menggeleng. Keras kepala. "If I want you to go home now it means you have to go home now. Don't you understand?"

Tanpa memperdulikan Zahra, Adil berdiri, menarik tangan Luna. Tangan Luna yang sudah dingin saking paniknya itu Adil genggam erat. Mereka berjalan meninggalkan food court yang sudah diisi oleh beberapa pasang mata yang menatap mereka penasaran. 

"Lo gue aduin Mama, mas," ancam Zahra. Tapi Adil tidak perduli. Yang ada di kepalanya hanya bagaimana menyelamatkan Luna dari situasi tidak menguntungkan ini. Adil harus memastikan Lunanya, kebahagiannya, hidupnya, sampai di rumah dengan selamat.

****

Adil baru saja pergi lima menit lalu setelah memastikan Luna jauh dari benda tajam atau apapun yang bisa mengancam nyawanya. Tapi, Adil tidak tahu dan tidak perlu tau kalau sebenarnya, yang harus Luna jauhi adalah Adil. Adillah yang mengganggu kelangsungan hidupnya. Adillah yang menganggu degup jantungnya. Adillah yang membuat tidurnya tidak nyenyak. Adillah yang membuat ia menyandang status selingkuhan. Adillah yang membuat ia dijadikan tontonan umum di foodcourt tadi. Dan setelah semua itu, Luna bahkan masih gagal menyalahkan Adil. Di kepalanya, satu-satunya kambing hitam yang tersedia adalah dirinya sendiri: Luna, 28 tahun, selingkuhan seorang Adil yang sudah membuangnya dan meski sudah diingatkan berkali-kali oleh sahabatnya, Luna tetap memilih bermain api. Sekarang, persis seperti apa yang Stella katakan: Luna menemukan dirinya terbakar. Hangus.

Ia menangis, terisak di kontrakan yang baru ia tempati dua minggu. Ia menemukan dirinya begitu malu. Ia menemukan dirinya begitu rendah. Bukan ini kisah cinta yang ia baca di buku-buku. Bukan sakit seperti ini yang dia harapkan. Bukan ini.

****

"Mama udah dengar dari Zahra," ujar sebuah suara dari seberang sana. Suara Anisa. Terdengar berat dan lelah. Mereka sedang tersambung melalui webcam call di kosan Zahra, sebuah kosan sederhana tapi nyaman di pinggiran Bandung.

"Adil, mama cuma mau mengingatkan: mama enggak maksa kamu menikahi Lia atau meninggalkan Luna. Kamu sendiri yang minta mama carikan jodoh. Waktu kamu berkenalan dengan Lia, mama juga enggak nodong kamu nikah, kan? Kamu yang ikhlas. Kamu bilang, kamu ikhlas tepatnya. Tapi, kenapa jadi kayak gini?" tuntut Anisa dengan nada lembut dari seberang sana.

Zahra ada di luar kamar, membeli camilan atau apa katanya. Adil tidak perduli. Di kepalanya, perang abadi antara hatinya dan otaknya sedang berkecambuk. Ia mencintai Luna. Tapi, pertanyaannya, apa di abad ke 21 seperti ini, cinta itu cukup?

"Mama enggak butuh kamu minta maaf," ujar Anisa sebelum Adil meminta maaf. "Mama mau kamu tegas. Mama udah enggak bisa larang kamu lagi kalau kamu emang mau sama Luna. Dari dulu, ingin mama cuma satu: kamu bahagia. Dan kalau kebahagiaan kamu cuma ada sama Luna, kejarlah, nak. Mama sayang kamu."

"Adil sayang Mama, Ma."

"Mama tau," sahut Anisa. "Makanya, kamu jangan permainkan hati mereka. Kamu harus memilih. Mama sebagai perempuan tau rasanya dipermainkan itu enggak enak. Kamu menyakiti hati mereka, sama aja kamu nyakitin hati Mama. Ambil sikap, sayang," pinta Anisa, "jatuhkan pilihan kamu. Mama enggak bakal larang."

Yang Anisa tidak tahu salah satu harap Adil yang selalui ia ingin wujudkan tapi berkali-kali ia cederai adalah: Adil pengen liat Mama  bahagia karena Adil. Sesederhana itu.

Tapi, kenapa serumit ini?

Ponselnya berdering, nama Luna tercetak di sana. Bukan panggilan, hanya sebuah pesan singkat yang panjang dari Luna.

Dari dulu harusnya aku tau diri, posisi aku, darimana pun enggak bakal bisa terselamatkan. 

Kamu kejar kebahagiaan kamu sama Lia ya. 

Aku cinta kamu. Tapi cinta enggak harus memiliki, kan, Dil?

Makasih untuk semua kebaikan, cinta dan perhatian kamu. 

Maaf, tapi kita cukup sampai di sini ya. Sekali lagi: aku cinta kamu.

"Ma," panggil Adil kepada Mamanya yang menatapnya intens selama Adil membaca pesan masuk itu. "Luna minta bubar."

[2/3] It's todayWhere stories live. Discover now