7

6.7K 752 60
                                    

Apa yang dilihat Lia sekarang adalah mimpi buruk yang benar-benar buruk. Lebih buruk lagi, karena ternyata, semuanya nyata. Dia tidak bisa menampar dirinya, lalu menemukan kalau semua ini mimpi. Ini nyata. Lia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Adil dan Luna saling bercanda saling memeluk, saling mencium, saling tertawa.. bahagia. Kebahagiaan yang tidak pernah Adil tunjukkan di rumah.

Ini hari Minggu, enam jam sejak Lia menelepon Stella semalam. Stella yang sudah mengetahui tentang kedatangan rutin Adil tiap akhir pekan dari satpam yang sudah mengenalnya karena dia memang mantan penghuni apartemen itu, meminta Lia menemuinya langsung di depan apartemen itu. Dengan mudah, Stella dan Lia masuk ke dalam jogging track dan tepat seperti perkiraan, Adil yang tadi pagi pamit untuk lari memang sedang lari. Adil memang tidak bohong. Tapi, Lia tidak tahu kalau lari yang Adil maksud adalah tipikal lari seperti ini.

"You aren't okay," ujar Stella tanpa keraguan, "let's move."

Lia menggeleng. 

Stella menatapnya bingung. 

"Saya mau nemuin mas Adil."

Stella memutar mata, kedua tangannya ia tepukkan pada bahu Stella, tanpa ragu ia berkata, "Listen, lo mungkin kebanyakan makan mecin atau nonton sinetron atau dua-duanya, I don't know. Tapi, lo lebih baik ngomongin ini di rumah. Karena, satu, jadi attention seeker isn't a good thing dan dua, gue kenal Luna. Dia bisa ngebalik keadaan jadi ngerugiin lo. So yeah, we are better leave this place now. Okay?"

Lia yang tak punya tenaga untuk mendebat, akhirnya dengan berat mengangguk.

****

"You are so lucky," sindir Luna sambil memasukkan spageti instan ke keranjang belanja. Mereka sedang melakukan weekly groceries shopping yang sudah dua minggu absen dilakukan keduanya.

"Meaning?" Adil yang sedang membanding antara spagetti bolognase keju dan tomat menoleh, bingung.

"Yea, you can doing two girls everytime you need."

Adil menatap ke sembarang arah. Luna kenapa, sih? Kena siklus haid atau gimana? Sejak di Lembang kemarin itu, Luna jadi lebih cemburuan, posesif dan agak ribet seperti ini. Tapi, akhirnya Adil tersenyum menatap Luna yang sedang memasukkan minyak goreng ukuran satu liter ke dalam troli. Dengan yakin, Adil membisikkan di telinga Luna, "aku gak pernah nyentuh dia, kok, sayang. Aku, kan, cuma sayang kamu."

"Belajar dari mana tuh cheesy pick up line kayak gitu? 9GAG?" balas Luna, tapi wajahnya sudah lebih relax. 

"Dari pengalamanlah," sahut Adil. Luna hanya menatapnya dengan pandangan cuek lalu lanjut mengisi trolinya dengan barang-barang yang dia butuhkan. Luna mau saja melumat bibir Adil yang tambah hari tambah berisik itu, tapi, melihat supermarket di akhir pekan yang seramai ini.. ugh. Ditunda saja sampai di unit apartemennya nanti.

***

"Udah pulang, mas?" tanya Lia begitu kaki Adil melangkah santai memasuki rumahnya itu. Jarum pendek jam dinding di sudut ruangan sudah jauh melewati angka sebelas. Pergantian haris nyaris tersentuh oleh waktu. Tapi, Lia, seperti biasa tetap menunggu. Kali ini, tanpa ciuman tangan yang seolah mereka lakukan karena refleks dan tanpa secangkir earl grey yang sudah dingin. Kini, yang tertinggal hanya Lia, sendirian, menonton HBO dengan mata sembap.

"Kamu habis nangis, Li?" tanya Adil, suaranya pelan. Meski ia tidak mencintai perempuan ini dan meski perempuan ini dijodohkan oleh Ibunya, mau bagaimanapun, Lia adalah istrinya. Sudah hak Lia mendapatkan perlakuan baik dari Adil, sang suami.

"Iya, mas," jawab Lia tanpa tedeng aling-aling. Berbeda dengan perempuan di film roman-komedi atau Luna yang selalu mengelak, 'aku-gak-pa-pa', Lia malah menjawab jujur, lugas dan apa adanya. 

"Kenapa?" Adil duduk di sofa, persis di sebelah Lia. Lia refleks menggeser tubuhnya, menjauh dari Adil. Seolah jijik dengan lelaki itu--suaminya. Adil, yang melihat perubahan sikap Lia itu, memilih diam. Ia memilih untuk tidak ikut menggeser tubuhnya, mendekat pada Lia yang tampak risih dengan kehadariannya.

Setelah keheningan lama yang hanya diisi percakapan berbahasa inggris dari HBO, akhirnya, Lia menjawab pertanyaan Adil, "aku udah tau semuanya, mas."

"Maksud kamu?" Adil serasa disuruh menyatukan sebuah puzzle yang kepingannya tidak ia miliki. Membingungkan.

"Aku tadi ke Taman Rosevilt," Lia menyebut nama apartemen Luna yang sontak membuat Adil menegang, "aku udah liat interaksi kamu sama Luna, mas."

Lia mengekspetasikan sebuah jawaban, tapi satu-satunya yang Adil berikan hanya diam. Maka, Lia memutuskan melanjutkan, "mas, aku tau, sebagai istri, aku melanggar kewajiban aku memberikan kebutuhan biologis kamu. Aku tau aku salah, mas. Tapi aku enggak tau kalau kamu akan mencarinya dari perempuan lain."

"Bukan itu maksud aku, Lia," potong Adil. Adil sendiri tidak tahu, apa yang sedang ia lakukan. Apakah ia sedang menampik ucapan Lia supaya ia terlihat seperti suami sempurna? Atau ia malah sedang membela Luna, karena Lia baru saja meninggalkan kesan seolah Luna hanya pelarian Adil saja? Padahal, Adil tau Luna jauh lebih dari itu.

Lia mengangkat tangan kanannya, meminta Adil untuk mendengarkan, "Mas, kalau mas emang enggak suka sama aku, aku paham. Kita emang dijodohin. Aku paham. Tapi, mas, yang kamu lakukan ini," Lia berusaha menahan mati-matian supaya tidak terisak, "you hurt me."

"Ma-maaf," ujar Adil sungguh-sungguh. "Aku enggak ada maksud buat menyakiti kamu. I'm just..."

"It's ok, mas. Tapi, kalau kamu emang mau pertahanin dia, i'll quit this marriage. Aku enggak mau dinomorduakan. Aku akan panggil pengacara untuk--"

Kalimat itu tidak selesai, sebelum Lia sadar apa yang terjadi, matanya sudah terpejam, memagut balik lidah Adil dan membiarkan lelaki itu bermain sampai ke seluruh mulutnya.

"Shut up," erang Adil disela ciuman mereka. 

Adil tidak tahu bagaimana ia melakukannya. Yang ia tau, semuanya berbeda dengan saat ia melakukannya bersama Luna. This make up sex is not something he expect since the first place, but here he is. Adil sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Adil terperangkap dalam desire yang tak berujung. 

Bagaimana ia menjelaskan ini pada Luna? Bagaimana ia bisa bersikap biasa saja pada Luna saat ia sudah berbohong pada Luna? Bagaimana ia bisa menjelaskan pada dirinya sendiri, kalau perselingkuhan yang ia rasakan adalah sekarang. Ia merasa baru saja menyelingkuhi Luna padahal secara hukum maupun agama, Lia-lah istri sahnya. Tapi, apapun yang Adil lakukan satu-satunya yang Adil tau adalah hatinya terperangkap pada Lunanya. Bagaimana Adil bisa menjelaskan perasaannya saat ini? Because even when he kiss his wife's lips, all he can taste is Luna's lips

****

Di seberang sana, Luna menatap fotonya dengan Adil. Foto yang baru diambil tiga minggu lalu di sebuah foto box random di mall random yang mereka datangi. Mereka tampak bahagia. Tapi, apa itu cukup? 

Kalau saja hidup ini bisa semudah kisah cinderella, jatuh cinta lalu ditutup dengan kalimat: and the live happily ever after. Tapi, masalahnya, Luna bukan cinderella dan yang Luna hadapi bukan dongeng. Tapi, realita. Yang mengerikan sekaligus menjijikkan.

Kepala Luna berdenyut, sakit kepalanya menggila dengan membabi-buta.

[2/3] It's todayWhere stories live. Discover now