1

10.2K 1K 43
                                    

Tara ingat pertemuan pertamanya dengan Dera, delapan bulan yang lalu di kantin fakultas sastra, tempat Dera terdaftar sebagai mahasiswa baru sastra Indonesia. Tara yang hari itu sedang ingin mencicipi nasi dengan bulgogi, menu paling terkenal sekantin sastra, merelakan tubuhnya berjalan jauh dari gedung fakultas hukum yang jaraknya dari ujung ke ujung hanya untuk menemui Bulgogi. Lalu, di sanalah Dera. Jadi kambing congek sementara sahabatnya Audrey, pacaran dengan Alden, teman Tara yang juga sama-sama mahasiswa tahun terakhir fakultas hukum. Meski tidak terlalu akrab dengan Alden, penuhnya kantin membuat Tara akhirnya duduk semeja dengan Alden, Audrey dan Dera. The rest is history. Yang Tara tau, sekarang, dia sudah ada di depan sebuah rumah megah bersama Dera untuk sebuah hidangan makan siang bersama keluarga Dera. 

Tara melangkah pelan memasuki rumah itu. Tubuhnya sedikit berkeringat karena harus berjalan kaki dari gerbang perumahan yang jaraknya cukup jauh. Tara dan Ibunya memang sepakat untuk tidak membeli kendaraan bermotor, keduanya percaya Jakarta yang bebas macet bisa dimulai dari diri mereka sendiri. 

"Kamu pasti Tara," sapa seorang wanita paruh baya dengan hijab putih di kepala. Tara tersenyum. "Persis seperti deskripsi Dera, ya."

Tara tau apa yang wanita paruh baya di depannya ini maksud. Dera sering menceritakan kalau Tara, secara fisik sangat mirip dengan ayah Dera yang bahkan belum pernah Tara lihat secara nyata fisiknya itu. Itu juga salah satu aspek yang berhasil mendekatkan mereka. Di mata Tara, Dera adalah perempuan cerdas. Meskipun usia Dera masih 18, atau sama saja 2 tahun di bawahnya, gaya bicara dan cara berpikir Dera jauh di atas itu. Dia kelihatan mature. Dewasa. Sementara di mata Dera, Tara adalah sosok dari Ayahnya yang tak pernah bisa ia jangkau. Sosok dari ayahnya yang lebih terbuka, humoris dan kissable.

"Kamu duduk dulu, ya," ujar wanita tadi sambil mempersilahkan Tara duduk di depan pintu. "Dera lagi siap-siap." Tara dengan patuhnya duduk, tatapan matanya terkunci pada siaran TV entah apa yang sudah tersaji sejak sebelum ia tiba. 

Gelap. Tiba-tiba semuanya gelap. Hanya cahaya samar yang terlihat dari celah kecil. Tawa terdengar terkikik-kikik, disusul sebuah pertanyaan, "tebak ini siapa."

"Deraaaa," panggil Tara sambil tersenyum. 

"Salah," ujar Dera bersamaan dengan cahaya yang kembali menjelas di pandangannya. Dera muncul di depannya disusul seorang perempuan mirip Dera tapi tampaknya lebih muda dari belakang tubuh Tara. Perempuan yang tadi menutup mata Tara. "Itu tadi Marsha, Tar."

Tara tersenyum. Marsha. Dera sering menceritakan tentang Adiknya yang pintar itu. Marsha bahkan lulus SMA di usia 16 tahun, dua bulan lagi. Dan sesuai cerita Dera, Marsha memang tidak kalah cantik dari Dera. Tapi, berbeda dengan Dera, sudut mata Marsha menunjukkan kepribadian yang terbuka, supel dan sedikit jahil--tipikal orang yang paling tidak ingin Tara jadikan teman.

Makan siang hari itu dilakukan dalam formasi lengkap. Ibu Dera menyiapkan masakan itu dibantu seorang pembantu paruh baya. Dera duduk di sisi Tara. Sementara Marsha duduk di sebelah Saka, kakak sulung Dera. Dari sekilas pandangan Tara benar-benar bisa melihat perbedaan mencolok antara Ibu dan Ayah Dera. Ibu Dera sangat keibuan. Suaranya lembut, terbuka dan tampak penyayang. Berbeda dengan Ayah Dera. Ia sedari tadi hanya diam. Sibuk memakan makanan yang disediakan istrinya dan hanya berbicara seperlunya. Lelaki itu tidak tampak galak atau kasar. Ia hanya tampak.. pendiam.

"Pap, Saka mau nanya-nanya soal kerjaan sama Papa habis ini. Papa enggak ada rencana keluar, kan?"

Lelaki itu tersenyum, tipis tapi hangat. "Iya, Mas," sahut lelaki paruh baya itu.

Menurut cerita Dera, usia ayahnya sudah melewati kepala 5. Namun, apa yang dilihat Tara sekarang sangat berbeda. Lelaki itu tampak menunjukkan semangat hidup yang tinggi, suaranya masih jernih dan senyumnya masih mengkilat. Meski, ya itu tadi. Dia memang jarang tersenyum.

Mereka makan dengan tenang. Ibu Dera bertanya hal-hal sederhana seperti kuliah dan kawasan Tara tinggal yang Tara jawab dengan ringan. Tidak ada isu serius yang mereka bahas. Persis seperti pertemuan pertama keluarga pada umumnya.

****

Pintu diketuk, Adil menatap sekeliling. Ia menghela napas. Pembantunya pasti semua sedang di belakang. Hari ini, ia sendirian. Anak-anak dan istrinya sedang berlibur ke Puncak, dia memilih tidak ikut dan memilih menghabiskan akhir bekan dengan menonton CNN.

"Kamu.. Tara, kan? Pacarnya Adera?"

Tara mengangguk. Di wajahnya, terukir sebuah senyum. Senyum yang tidak bisa Adil jelaskan. Ada apa Tara ke sini? Apa dia tidak tau kalau Adera sedang tidak di rumah?

"Adera lagi ke Puncak.."

"Saya tau," potong Tara. "Saya kesini mau ketemu," Tara meneguk ludahnya, "..om?" ini pertama kalinya Adil mendengar Tara tak yakin menyebut kata 'om'. Mereka memang baru satu kali bertemu saat Lia memasakkan makan siang untuk kekasih putrinya itu. Dari cara Adera menatap Tara, Adil bisa melihat kesungguhan di putrinya itu.

"Kenapa?"

"Saya mau ngomong sesuatu, Om."

Adil menggeser tubuhnya, ia tak alasan yang cukup kuat untuk mengusir Tara. Apalagi, dari perkenalannya, Adil menilai Tara adalah pribadi yang cukup baik.

"Silahkan."

Tara duduk dengan gugup. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Adil menatap pemuda di depannya dengan bingung. 

"Kamu enggak menghamili anak saya, kan?" tanya Adil bingung.

Tara refleks menggeleng. "Saya ke sini, mau minta saran. Dari om selalu laki-laki dewasa."

Adil menatap pemuda di depannya bingung. Kenapa anak ini harus meminta saran dari Adil, memang ada apa dengan ayahnya di rumah?

Seolah bisa membaca kebingungan Adil, Tara berkata, "saya enggak punya Ayah." Adil menatapnya, tambah bingung. "Maksudnya, enggak tinggal bareng."

Adil menangguk, mengerti.

"Apa pendapat om tentang pernikahan beda agama?" tanya Tara langsung.

"Kamu... non-muslim?"

"Om gak tau?" tanya Tara balik.

"Dera gak pernah cerita."

"Apa itu mengubah penilaian om terhadap saya?" 

"Kamu..?"

"Katholik."

Adil terdiam. Pikirannya terbang. Kepada satu orang. Yang mengaku beragama katholik tapi supermalas ikut misa, "ngantukin," kilahnya, selalu.

"Kenapa, om? Ada yang salah?"

"Kamu masih taat?"

"Saya selalu hadir misa hari minggu. Hapal aneka doa dan," Tara mengeluarkan sebuah kalung dari lehernya. Kalung berbentuk mutiara kecil terbuat dari kayu, "saya selalu memakai rosario."

"Kamu ngingetin saya sama seseorang, Tar. Teman saya dulu waktu muda." 

Degup jantung Tara terpacu. Dia tau apa yang Adil pikirkan. Mati-matian dia menahan mulutnya, mengucapkan identitasnya sebenarnya. 

Belum saatnya. Belum saatnya.

"Jadi, gimana? Menurut Om gimana tentang pernikahan beda agama?"

"It's fine.. Menurut saya, enggak ada masalah. Tapi, saya enggak tau kalau menurut Lia. Maksud saya, istri saya."

"Menurut Om, laki-laki seperti apa yang masuk kategori pantas? Menjadi seorang suami dan Ayah untuk orang-orang dikasihinya?"

Adil terdiam. Ia mungkin bisa menjawab 1001 jawaban luar biasa, mengalahkan Mario Teguh dengan Sahabat Supernya itu. Tapi, satu hal yang berkecambuk di kepalanya adalah: apa dia bisa mengekspetasikan seorang suami yang baik untuk anak perempuannya saat ia benar-benar sadar kalau dulu ia pernah seburuk itu memperlukan perempuan--dua orang perempuan?

[3/3] It's tomorrowWhere stories live. Discover now