2

8.5K 960 19
                                    

Tara terlahir dengan bobot 3,1 kg dan panjang 53 CM di sebuah rumah sakit swasta rekomendasi Stella. Rumah sakit itu berfasilitas cukup baik, dengan predikat yang sama namun harganya cukup masuk akal. Tak ada yang menemani kecuali Arini, asisten rumah tangganya saat itu. Stella tidak bisa datang karena baru melahirkan dan bayinya masih terlalu merah sementara tubuhnya belum terlalu kuat. 

Coba, apa ada yang hidupnya lebih buruk dari Luna? Tinggal di panti asuhan sejak bayi, dipungut oleh keluarga yang hanya menjadikannya pancingan anak dan langsung 'membuang'-nya sejak mereka punya anak kandung. Membuangnya memang terkesan berlebihan, karena toh, seluruh biaya hidup Luna sampai Luna mendapat pekerjaan ditanggung seratus persen oleh sepasang suami-istri itu. Tapi, tetap saja, apa meletakkan seorang anak di asrama dan membuatnya mengambil perguruan tinggi di luar kota itu tidak bisa masuk hitungan membuang seorang anak? Luna ingat ketika ia masih sekolah dulu. Libur adalah hal yang paling dibencinya. Ia dipaksa harus meninggalkan asrama dan pulang. Tapi, bagaimana Luna bisa pulang sementara yang dianggapnya rumah adalah kamar asramanya itu sendiri? Di rumah Ayah dan Ibu angkatnya, Luna tidak dianggap ada. Bahkan, jika Luna tidak keluar kamar dalam 24 jam sekalipun itu, mereka tidak perduli. Dan karena sejak kecil tidak diajarkan dekat, Luna sama sekali tidak akrab dengan Reno dan Rina, anak dari kedua suami istri yang telah memungutnya itu.

Luna keluar rumah di usia 21, saat ia resmi mendapat pekerjaan. Sejak itu, ia tak pernah kembali lagi. Dan kedua orang tuanya pun tidak perduli. Dan sekarang, Luna hamil tanpa suami. Dan yang lebih buruk lagi: dia harus melahirkan seorang diri. Tidak ada yang menunggunya di luar ruang operasi selain Arini yang sedang mengantuk itu.

Begitu menghirup oksigen pertamanya, Tara menangis dengan kencang. Tangisan itu seolah membayar semua kelelahan Luna. Semua peluh yang mengucur dan tekanannya untuk membawa bayi itu ke Bumi terasa worth it. Luna bisa menatap bayi itu. Menyentuhnya. Memilikinya. Sebagian jiwa Adil yang ia miliki, utuh. 

Bayi itu ia beri nama Tara Abel Bumi. Artinya napas kehidupan. Napas kehidupan Luna setelah ia memastikan sisa hidupnya akan dilalui tanpa Adil, tepatnya. 

Semua kebutuhan hidup Tara, selama 21 tahun sampai anak itu sekarang mandiri, dipenuhi oleh Luna tanpa bantuan finansial siapapun. Stella memang menawarkan diri, apapun yang Luna butuhkan, kapanpun itu Stella pasti bantu. Tapi, sampai sekarang, Luna tidak pernah meminta bantuan Stella yang meskipun ada di seberang Samudera tapi tetap keep in touch melalui jalur maya. Ya, sampai di ulang tahun ke 21 Tara kemarin. Ia meminta Stella memperkenalkan Tara pada Adil. Tapi, Luna meminta mati-matian supaya Tara cukup tahu dan tetap menjaga jarak. Ia tidak mau lagi merusak hubungan pernikahan Adil. Cukup satu kali.

Sejak kecil, Tara tumbuh menjadi anak cerdas. Ia tidak pernah lepas dari posisi lima besar kelas dan sering mengikuti aneka lomba yang berhubungan dengan maju ke depan. Pidato, story telling--named it.

Tara kecil adalah pribadi extrovert yang sangat supel. Tapi, dari dulu, Luna selalu tahu ada satu sisi Tara yang tidak bisa ia lengkapi: keinginan anaknya untuk memiliki Ayah. Bukan salah Tara memang. Ia melihat anak-anak seusianya memiliki Ayah dan Ibu lengkap. Potret sempurna keluarga yang seharusnya. Keluarga normal. Untungnya, sosok Ayah berbeda dengan sosok Ibu yang selalu menemani di sekolah, sosok Ayah masih terlihat kabur di mata anak-anak. Maka Tara tidak terlalu memikirkan. Ia memang mulai menanyakan keberadaan ayahnya saat SD tapi ia tidak terlalu perduli. Sampai ia masuk SMP dan ia sadar: tidak memiliki Ayah bukan hal yang normal--meskipun ditunggui pengasuh sejak kecil juga bukan hal yang normal karena anak TK biasanya ditemani Ibu mereka.

Di ulang tahun yang ke13, seperti biasa, Luna menyiapkan sebuah makan malam sederhana untuk Tara. Dan seperti biasa, Luna mengizinkan Tara memberi satu permintaan. Dan permintaan itu pun datang: Luna diminta memberi kejujuran tentang sosok ayah yang diinginkan Tara. Apa Tara punya Ayah? Kalau tidak, apa itu artinya teori biologi yang diajari gurunya tentang sel telur dan sperma itu hanya omong kosong? Atau ia seperti Yesus, yang dilahirkan di Bumi tanpa perkawinan sel telur dan sperma namun dalam bentuk karunia? Apa Ayah yang dulu Luna katakan ada itu bukan fiktif?

Luna tidak bisa lari lagi. Tara pantas mendapat kejujuran. Tara pantas mengetahui kebenaran, "Tara, mungkin ini akan merubah pandangan kamu tentang Mama. Mungkin habis ini, kamu akan melihat Mama 180 derajat berbeda--dalam artian negatif. Mama ngerti. Tapi, Mama mau minta kamu tau satu hal: tolong, apapaun yang kamu ketahui, jangan larikan dirimu ke hal negatif. Kamu bisa minta Mama daftarin kamu ke karate, atau les drum atau apa aja. Cari pelarian positif kamu. Mama cuma enggak mau, masa lalu Mama bikin kamu jadi rusak. Kamu berhak mendapat sebuah masa depan yang baik, sayang."

Tara meneguk ludahnya. Pre-ambule Ibunya benar-benar membuatnya terdiam. Ada apa? Ia hanya meminta informasi tentang Ayahnya. Tapi, kenapa seolah yang ia minta adalah tambang mas freeport? Kenapa sepertinya konsekuensi yang harus ia tanggung seberat itu? Apa ia siap? Apa jiwa 13 tahunnya siap? Tapi, siap tidak siap, ia harus menerimanya. Bukannya ia yang meminta semua itu?

"Tara benar siap dan janji sama Mama enggak bakal berbuat hal yang negatif?" tanya Luna memastikan.

Berat, Tara mengangguk disusul ucapan mantap semi tak yakin, "Tara siap, Ma. Tara janji enggak bakal melakukan hal negatif."

Berbeda dengan buku-buku yang ia baca, yang menyarankan Luna sebaiknya memberikan karangan fiktif jika belum siap, seperti mengatakan kalau Ayah Tara ada di surga atau semacamnya Luna memilih menjawab, "papa kamu punya keluarga, sayang."

"Maksudnya?" Tara benar-benar tidak paham. Tentu saja Ayahnya punya keluarga. Semua orang punya keluarga. Ya, kecuali Luna. Dan dirinya.

Luna menatap ke sembarang arah, menghindari wajah anaknya sendiri. Tatapan yang begitu penasaran, tatapan yang tidak pernah Luna terima selama 13 tahun ia menjadi ibu anak ini. "Mama hadir di saat yang salah. Papa kamu punya istri."

"Istri Papa itu.. Mama, kan?" Tara bertanya polos. Itu konsep yang didoktrin semua orang di sekolahnya. Papa menikah dengan Mama lalu memiliki anak-anak. Sesederhana itu, kan?

Luna menggeleng. "Dulu, Mama pacaran sama Papa kamu. Tapi, karena Mama dan Papa kamu beda agama, kami enggak bisa bersama. Ibu dari papa kamu, harusnya kamu bisa panggil dia nenek kalau kalian saling kenal, mencarikan seorang istri dan menjodohkan papa kamu. Lalu, papa kamu menikah. Mama pikir, semua berhenti sampai di situ. Tapi, papa kamu, dia enggak nyerah. Dia bilang, dia enggak cinta sama istrinya dan cuma cinta sama Mama. Kami enggak memikirkan apapun saat itu sampai Zahra, adik papa kamu, melihat kami. Mama bisa liat dengan jelas kalau dia marah. Dari situ, Mama sadar posisi Mama. Sekeras apapun Mama dan Papa kamu berusaha, kami emang enggak bisa nyatu. Apalagi, Papa kamu udah punya istri. Semua usaha kami, sia-sia. Mama akhirnya mutusin untuk berhenti dari hubungan itu. Karena, buat apa? Enggak ada gunanya mengusahakan hal yang sia-sia, iyakan? Enggak lama setelah hubungan kami selesai, Mama sadar kalau Mama hamil. Papa kamu tau Mama hamil, tapi Mama minta, dia enggak perlu ninggalin istrinya. Karena dari awal, Mama yang harusnya sadar diri, posisi Mama yang salah."

Tara terdiam. Tubuhnya lemas.

Jadi ini rasanya jadi anak haram

Ini yang namanya anak haram--seperti apa yang menjadi bahan ejekan di TV-TV?

Setelah hari itu, Tara tak bisa lagi memandang dirinya dengan sorot yang sama. Tara tidak bisa berlari pada narkoba atau rokok, dia sudah berjanji pada Ibunya dan terlalu menyayangi Luna. Ia tak mungkin mengkhianati janjinya pada Ibunya. Maka Tara mencari pelarian lain. Ia menjadi pribadi posesif dan perfeksionis. Semua pekerjaannya harus sempurna. Nilainya di kelas harus paling tinggi. Semester selanjutnya dan selanjutnya dan selanjutnya lagi, Tara tidak pernah lepas dari peringkat pertama kelas.

Luna tidak tahu harus bagaimana menjelaskan ini. Luna semestinya bangga karena guru memuji kecerdasan Tara dan usaha Tara yang sekarang tak berujung, tapi apa yang harus ia lakukan saat ia jelas-jelas menyadari tembok tinggi yang dibangun anaknya itu di antara mereka berdua? Apa yang harus Luna lakukan saat ia sadar anaknya.. tak lagi sama?

Di ulang tahunnya yang ketujuh belas, Tara meminta satu hal, sesuatu yang sejak awal Luna tau tak bisa ia hindari: Tara ingin tahu siapa Ayahnya. Hari itu, Luna berjanji Tara akan mengenal Ayahnya di usinya yang ke-21. Hari ini, Luna gamang. Apa seharusnya dulu ia mengarang kisah fiktif saja? Membohongi Tara dan mengatakan, "ayah kamu sudah bahagia di surga, Tara."

Tapi, bagaimana dengan masalah lain yang muncul setelahnya? Bagaimana jika Tara meminta Luna mengantarnya ke pusara lelaki itu? Apa yang harus Luna berikan saat satu-satunya yang ia tahu adalah kenyataan kalau lelaki itu masih hidup?

Kalau ada yang harus bertanggung jawab dalam kehancuran hidupnya, Luna tau itu siapa: dirinya sendiri.

[3/3] It's tomorrowWhere stories live. Discover now