3

7.9K 1K 70
                                    

Stella tidak bisa tidur malam setelah ia mengantar Tara ke depan rumah Adil. Apa yang didengarnya adalah berita yang luar biasa buruk. Satu, ternyata Tara sudah mengenal Ayahnya. Atau sebutlah begitu. Dan kedua, dia berpacaran dengan anak Adil. Adik tirinya sendiri. Stella tidak sanggup membayangkan apa yang sudah Tara lakukan pada Adiknya itu. Maksud Stella: Tara kan laki-laki dewasa yang masih normal!

"Tante jangan cerita ke Mama, ya," pinta Tara. Tatapannya kosong dan itu lebih buruk dari air mata, teriakan atau apapun. Tara hanya terdiam. Membatu. Seolah jiwanya mencelos dan beterbangan dalam bentuk partikel debu atau apa.

"Mama kamu kenal pacar kamu?" tanya Stella.

Tara menggeleng. "Mama ngelarang aku pacaran sama yang beda agama."

Stella terdiam. Kutukan Luna terbawa hingga anaknya. Kenapa, sih, Ibu dan anak ini selalu mencari mati dengan berpacaran dengan orang beda agama? Kayak yang seagama udah punah aja. 

"Trus kamu mau gimana sama siapa tadi namanya? Dora?"

"Dera, tante."

"Iya, Dora. Kamu mau gimana sama dia?"

"Aku gak tau, tante," keluh Tara. "Aku gak mungkin mutusin dia tanpa alasan tanpa terkesan brengsek. Tapi, ngasih tau dia kalau papanya punya anak dengan perempuan lain? Bukannya aku lagi mencari justifikasi?"

Stella menatap anak sahabatnya itu. Benar-benar sudah bertumbuh dengan sempurna. Bukan hanya fisiknya yang rupawan, pemikirannya juga sudah matang. Luna benar-benar berhasil menjalankan perannya sebagai seorang Ibu.

"Tapi aku pasti keluar dari hubungan ini. Ini... salah. Dia..," Tara meneguk ludahnya, "adik aku."

Dalam hati, Stella merasa bahagia. Cinta tidak membutakan Tara sebagaimana yang terjadi dengan Luna dulu. Sekarang, dia tak perlu mencari cara menyadarkan Tara posisinya seperti yang dulu dilakukannya pada sahabatnya itu. Tara memang lebih dewasa dari Ibunya. Atau karna kondisinya yang lebih.. complicated?

****

Adil menatap anak lelaki di depannya ini. Bagaimana ia menjawab pertanyaan itu? Apa itu artinya Tara mau melamar Dera sehingga Tara menanyakan lelaki seperti apa yang menurut Adil pantas? Tapi Dera masih belasan tahun. Mereka masih terlalu muda untuk menikah.

"Tapi, bukannya kamu masih terlalu muda untuk menjadi suami atau ayah?"

"Apa umur berpengaruh?" cecar Tara. "Bukankah menjadi seorang ayah dan suami adalah tanggung jawab mental dan jiwa--bukan fisik?"

Adil terdiam, Tara benar. "Dan dibanding dengan umur, kenapa om enggak lebih memikirkan ke perbedaan agama kami? Kami mungkin bisa menikah di luar negeri, tapi apa pro dan kontra akan lenyap begitu saja?"

Entah apa yang merasuki Adil, ia memutuskan membuka dirinya, menyatakan, "om dulu pernah punya perasaan sama perempuan. Agama kami.. berbeda. Om cuma gak mau, penyesalan om untuk enggak menikahinya terulang pada Dera. Atau anak om yang manapun. Om cuma mau melihat mereka bahagia."

"Jadi om nyesal menikahi istri Om?" tanya Tara. Melihat perubahan wajah Adil, dengan cepat ia menambahkan, "maaf kalau saya lancang."

"Kata sesal itu enggak diperlukan lagi. Kadang, satu-satunya jalan yang bisa dipilih ya cuma menerima keadaan. Apalagi mengingat mesin waktu enggak pernah diciptakan, rasanya, menyesali apapun itu cuma kesia-siaan. Buang tenaga."

"Jadi, kembali ke pertanyaan saya tadi: kriteria apa, menurut Om, yang membuat seorang laki-laki pantas menjadi seorang Ayah dan Suami?"

Adil adalah seekor kacang. Yang dibuang oleh kulitnya. Sekarang, Adil menemukan dirinya begitu tidak berguna, karena nyaris busuk. Ia kedinginan, merindukan kulitnya dan butuh tidur siang. Tapi, kekasih putri sulungnya itu tetap menatapnya intens, seolah menyeretnya kembali ke masa lalu. Ke Lunanya yang lenyap lebih dari 20 tahun lalu. Adil menatap Tara, kalau dia mengenal anaknya itu, pasti dia sudah sebesar Tara dan Saka. Harusnya, anak lelakinya itu bisa bermain dengan Saka lalu mereka akan memastikan kedua adik perempuan mereka tidak didekati laki-laki brengsek--seperti Ayahnya.

"Menurut saya, seorang sudah pantas menjadi seorang suami dan ayah ketika dia yakin, apapun yang terjadi pada dirinya, istrinya atau anak-anaknya tidak akan mengubah apapun karena dia sudah bisa mencintai bukan fisik melainkan jiwa. Dan yang paling penting, dia bersedia mengorbankan apapun untuk mempertahankan apa yang dia mau. Kedengarannya egois? Mungkin. Tapi, untuk mendapatkan apa yang kita mau, kadang memang egois adalah hal terpenting."

"Tapi, bagaimana bila semesta seolah menolak? Gimana kalau yang benar itu salah dan yang salah itu benar. I mean, our life isn't as easy as black is black and white is white. We have grey area, right?"

"Betul. Dan itu salah satu hal yang harus dicoba wujudkan seorang suami dan ayah: memastikan kalau dia bisa bertahan. Meski hitam dan putih bersatu jadi abu-abu."

"Apa om berhasil?" tanya Tara.

"Maksud kamu?"

"Apa om berhasil bertahan saat hitam dan putih itu menjadi abu-abu?"

Adil tidak tahu harus menjawab apa. Mana mungkin dia mengakui di depan Tara, pacar anaknya sendiri, yang baru kedua kali ia temui kalau sekarang ia bahkan tidak tahu apalagi itu hitam, putih atau abu-abu? Dunianya gelap. Yang ia tahu adalah ia harus terus hidup untuk memenuhi janjinya pada Ibunya: bertahan pada pilihan yang sudah ia tetapkan. Dan ia menetapkan untuk memilih Lia dan membiarkan Luna pergi dengan bayinya yang tak pernah ia ketahui kabarnya itu.

Tara juga terdiam. Ia tahu Adil pasti memikirkan Luna. Atau mungkin begitulah tebakannya. Tapi, di kepalanya berkecambuk sebuah kemungkinan: bagaimana jika ini semua sia-sia? Bagaimana kalau Adil sudah tidak lagi perduli lagi pada Luna dan kedatangannya hanyalah satu bagian dari hidup Adil yang mirip iklan youtube, akan segera diskip secepatnya? 

"Saya gak pernah punya ayah, om," ujar Tara. "Saya gak tau gimana rasanya punya ayah. Semua yang saya tau, Ibu saya berhasil mencukupi apapun yang saya butuhkan meski saya enggak pernah mengetahui Ayah saya. Saya enggak tau rasanya memamerkan profesi ayah di depan teman-teman, saya enggak tau rasa kesal ketika nama ayah saya dipanggil teman sebagai bahan ejekan, saya enggak tau harus bertanya pada siapa jika nanti saya harus memilih seorang istri. Mungkin ini aneh karena saya datang ke sini di saat Dera enggak ada, tapi, jujur saja, saya cuma enggak mau menyakiti perasaan dia. Kalau saya enggak bisa tau standar baik menurut ayah saya, setidaknya, saya bisa tau standar baik menurut ayah dari Dera. Mungkin ini terdengar cepat, tapi saya pernah berencana menghabiskan sisa hidup saya dengan Dera."

"Pernah?" tanya Adil, suaranya meninggi. "Maksud kamu, kamu sudah enggak mencintai anak saya?"

"Saya mencintainya. Sangat. Tapi, sekarang cinta saya bukan lagi eros yang dasarnya adalah desire. Ini bukan eros yang sepantasnya dialami dua orang perempuan dan laki-laki. Ini storge, kasih keluarga. Kasih yang mengalir dalam darah. Porsi seharusnya yang mesti saya tumbuhan untuk Saka dan Marsha."

"Saya enggak ngerti maksud kamu apa."

"Tiga hari lalu saya ulang tahun ke-21, Om. Dan Mama saya mengizinkan saya mengenal Ayah saya. Tapi, dia minta, Ayah saya tidak perlu mengetahui kehadiran saya. Tapi, mana bisa? Mana bisa seorang cinderella menolak ibu peri?"

"Saya tambah gak ngerti kamu bicara apa."

"Saya sudah ketemu ayah saya."

Satu degup jantung Adil dan Tara lepas di tempatnya masing-masing

[3/3] It's tomorrowWhere stories live. Discover now