7

7.5K 943 13
                                    

Sesuai instruksi dari kakak iparnya, Lia benar-benar mengacuhkan saat Adil memintanya cerai sesaat setelah ia dan anak-anaknya sampai di rumah. Ia bahkan mendiamkan saat Adil memintanya mereview ulang hubungan mereka. Tapi, Lia belum menceritakan permintaan Adil pada siapa-siapa kecuali si sulung Saka.

"Menurut Mama kenapa papa ngelindur kayak gitu?" tanya Saka sesaat setelah Lia menceritakan semuanya--permintaan Adil dan telepon dari kakak iparnya. Lia bahkan tidak bertanya apa alasan Adil ingin bercerai darinya. Karena, kalau memang Adil hanya berbicara ngaco, alasan itu jelas tidak penting.

"Mama gak tau, Saka." Suara Lia berat. "Tapi, mau gimana pun Bude kamu bilang, susah. Yang papa kamu bicarain itu perceraian. Lucu banget kalau dia becanda.."

"Saka boleh saran, Ma?" tanya Saka. Suaranya meragu. Lia mengangguk, disusul kalimat Saka, "Mama mending nginap di rumah Bude aja dulu. I mean, dia paling ngerti dan aku juga enggak tau papa kenapa."

Lia tersenyum, tapi ia menggeleng, "ini yang akan kamu pelajari nanti kalau kamu menikah, sayang. Masalah apalagi di pernikahan itu enggak bisa dianggap gak ada. Harus dituntasin. Kalau keburu membatu, gak bakal ketolong."

"Hands up," canda Saka sambil mengangkat kedua tanganya. "Tapi, kalau ada apa-apa, Mama cerita sama Saka dan adik-adik, ya. Masalah kayak gini harus kita bicarain bareng, Ma."

Lia mengangguk. "Iya, sayang."

***

Satu jam setelah sampai di Jakarta dari Puncak, Adera sampai di Clichy, sebuah kafe kecil tak jauh dari rumahnya. Ia mengenakan terusan hitam selutut, seperti janjinya pada ibu Tara di SMS tadi. 

Bel yang ada di atas pintu kafe bergemerincing begitu Dera melangkahkan kakinya ke dalam. Seorang perempuan yang belum terlihat tua dan masih cantik melambai pada Dera.  itu pasti adalah Ibu Tara karena ia mengenakan kemeja casual warna navy seperti yang dikatakan di SMS balasan untuk Dera tadi. 

Luna segera berdiri saat Dera sudah ada dua langkah dari mejanya. Meski degup jantungnya sulit diatur, ia toh tetap mencium pipi kiri dan kanan perempuan di depannya: mantan kekasih anaknya, anak dari mantan kekasihnya yang juga ayah dari anaknya. 

Selama Dera menatap menu untuk memesan minum, mata Luna tak bisa lepas memandang gadis belia di depannya. Cantik, tentu saja. Matanya fokus, diturunkan dari sepasang mata Adil yang dulu dengan intens menatapnya. 

"Ada apa, ya, tante ngundang Dera ke sini?" tanya Dera to the point begitu waiter meninggalkan meja mereka, dia juga agak tidak nyaman dengan pandangan Luna yang merupakan campuran antara menerawang bengong dengan menatapnya penuh selidik itu.

"Tante minta maaf, sebelumnya. Mungkin, kamu akan terkejut. Mungkin kamu enggak pernah diberi tau oleh orang tua kamu. Tapi, tante harap kamu cukup dewasa menerima ini."

Dera menatap Luna intens, seolah mencari tau tujuan sebenarnya. Kalimat pembuka Luna tadi tidak menjelaskan apa-apa. Berbeda dengan Luna yang sedang menahan dirinya. Berusaha mengontrol tiap sudut hatinya supaya tidak pecah berantakan. Di depannya sekarang ada Dera. Anak Adil dengan Lia. Perempuan yang membuat Adil meninggalkan dirinya. 

"Kamu janji ya, jangan ninggalin tante di sini sebelum tante selesai cerita? Walau mungkin kamu merasa enggak siap denger sampai akhir cerita. Janji?"

Meski tidak yakin, Dera mengangguk juga. Ia terlalu penasaran untuk menolak.

"24 tahun yang lalu, tante pernah kerja di Adibrata Group," ujar Luna membuka pembicaraan. Sebelum Dera sempat berkomentar, Luna meneruskan, "iya, Adibrata group punya keluarga kamu. Dan iya, saya kenal ayah kamu."

Luna mencari napas, mencari kekuatan, "dulu, saya sempat pacaran sama ayah kamu. Tapi, kami tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi--pernikahan--karena.. perbedaan agama dan dulu saya pernah operasi kista. Jadi, kecil kemungkinan saya bisa menghasilkan keturunan. Nenek kamu, ingin Adil menikah dengan orang yang bisa memberikan keturunan. Makanya, akhirnya, saya dan Adil pisah.."

Dera terdiam. Dari cara wanita di depannya ini mengucapkan nama Ayahnya, Dera tau ia sedang tidak dibohongi. Nada keakraban terdengar jelas dan tidak dibuat-buat. Tapi, Dera memilih diam. Ia tau wanita di depannya belum sampai pada inti cerita.

"Dengar perjodohan, akhirnya, Adil menikah dengan Mama kamu," lanjut Luna. Suaranya dibuat sedatar mungkin, seolah tak ada emosi padahal hatinya bergejolak hebat. "Tapi, yang terjadi setelahnya tidak semudah itu. Saya dan Adil saling mencintai. Tapi, pada akhirnya, saya sadar, being second choice isn't a good thing. So, i decided to quit that relationship because I understood the fact that we were not going to make it. Apalagi Adil itu suami orang. Saya harus tau diri."

Dera membuang wajah. Dia ingin pergi dari tempat itu. Tapi, janjinya pada Luna tak bisa ia ingkari. Lagipula, rasa penasarannya memaksanya tinggal. 

"Dan seperti kamu tau, Tara enggak pernah mengenal Ayahnya." Dera membatu, ia tidak siap mendengar kelanjutan cerita Luna. Untungnya, waiter datang dan meletakkan dua gelas minuman: satu earl grey hangat milik Luna dan satu iced lemon tea milik Dera yang dengan cepat ia teguk nyaris setengahnya (iya, diteguk. saking bergejolaknya emosi di dadanya). 

Luna memilih tidak meminum earl greynya. Entah karena sangsi akan kepanasan atau karena memang meneguk air saja dia tidak mampu saking emosionalnya. Luna melanjutkan, "dan kalau kamu penasaran siapa ayahnya Tara: iya, kalian kakak-adik."

"Tan, ini masalah serius. Tolong, jangan becandain aku pakai topik ini. Ultah aku masih jauh," pinta Dera sungguh-sungguh.

Luna menatap wajah di depannya, nanar. "Kamu pikir tante bisa becanda dengan topik seserius ini? Tara mau papa kamu ninggalin kalian: kamu, saudara kandung kamu dan mama kamu. Dia mau punya keluarga yang lengkap. Dia mau Ibu dan Ayah. Dan kamu tau apa? Papa kamu udah setuju buat ninggalin kalian!" Mati-matian Luna menahan emosinya supaya tidak berteriak. Kafe itu cukup lenggang, tapi ia tetap tidak ingin siapapun mendengar pembicaraan mereka.

Dera membekap mulutnya. Matanya terbelalak. Air mata kecil membatu di sudut matanya, siap meluncur kapan saja, tapi yang meluncur malah sebuah pernyataan dari bibirnya: "enggak mungkin!"

"Dera, dengar tante. Tante gak mau ini terjadi. Tante juga gak mau Tara termakan dongeng kartun yang kebanyakan mendoktrin kalau kebahagiaan cuma bisa didapat dari keluarga utuh makanya tante ke sini mau minta tolong sama kamu." Suara Luna benar-benar memelas.

Dera tertawa, datar dan terdengar menyindir. "Tante kira aku percaya?"

Luna tau pertanyaan itu akan datang. Tanpa menunggu lama, ia mengeluarkan sebuah foto. Berwarna tapi nyaris luntur: ia dengan wajah nyengir terlalu lebar dan Adil yang sedang mencium pipinya. "Sekarang kamu percaya?"

Dera menatap lekat foto di depannya. Ayahnya dalam wajah yang lebih muda dan luar biasa mirip dengan Tara. Bibirnya persis kakaknya: Saka, yang konon lebih mirip Ibunya daripada Adil. Dan perempuan yang dipeluknya... mirip dengan perempuan di depan wajah Dera dalam versi lebih muda. 

"Tante bahkan masih pakai cincin dari Ayah kamu. Cincin yang harusnya dia jadikan cincin lamaran tapi enggak pernah terealisasikan," kata Luna sambil memperlihatkan tangan kirinya: tempat cincin itu bersemayam di jari manis. "Dera, dengar, kalau tante mau ngambil papa kamu, tante enggak ngelakuin setelah lebih dari 20 tahun. Dari dulu. Jadi, Dera, tolong.."

"I'm done," ujar Dera sambil berdiri. Tangannya mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dan meletakkannya di bawah gelas ice lemon teanya yang masih tersisa setengah. Cepat, ia berjalan keluar pintu yang diikuti oleh Luna yang barusan juga melakukan hal yang sama terhadap earl greynya yang belum tersentuh sama sekali. Secepat mungkin, kakinya mengejar Dera yang lebih muda, fit dan panik. Tapi, sebelum Luna sempat melakukan apapun, tubuh Dera telah pergi. Terbawa taksi kosong yang kebetulan melintas. Persis adegan sinetron.

Air mata jatuh di wajah Luna, membasahi pipinya yang tidak terbalut bedak apapun saking buru-burunya dan dia tadi. Ia meraih ponsel, mendiall nomor Stella yang segera disahuti pada bunyi dering kedua, "Stell, gue ke tempat lo, ya?"

[3/3] It's tomorrowWhere stories live. Discover now