5

7.9K 1K 120
                                    

"Om ngapain?" tanya Tara dingin. Ia bahkan tidak meminta Adil yang sedang berlutut itu bangkit. "Om kira saya anak Om? Om salah."

Adil menegakkan punggungnya. Menatap mata Tara. Pertama kalinya sejak ia menatap mata lelaki yang dikenalkan Dera sebagai kekasihnya itu, Adil menatap api kebencian yang berkobar. Tak ada perasaan kasihan atau titik air mata. Adil malah diserang dengan kasar, "ayah saya sudah mati. Dia sudah mati sejak saya berhenti mengharapkan dia hadir di dalam hidup saya. Hidup mengajarkan saya untuk melepas yang tak bisa saya paksakan. Jadi, meski mungkin dia masih hidup, di dalam benak saya: dia sudah mati."

Adil sadar dia pantas mendapatkan itu semua. Anggap saja ini karma, tapi ini tetap menyiksa Adil. Setelah bertahun-tahun ia bisa mengetahui kehadiran anaknya, tapi, kini ia malah dianggap mati. Kematiannya diakui di depan wajahnya sendiri. Seolah belum cukup, Tara masih menambahkan, dengan wajah tanpa ekspresinya. 

"Tara, Papa minta maaf," mohon Adil. Ia tidak lagi merendahkan dirinya tapi masih tetap berlutut. "Papa tau papa salah, tapi kondisinya.."

"Saya tau kondisinya. Maka dari itu, saya lebih memilih untuk tidak punya Ayah daripada tidak dianggap sama sekali."

"Tara, kamu dianggap. Kamu sama seperti Saka, Dera, Marsha. Kamu bisa ke sini. Hal kalian sama."

"Kalau aja semua bisa semudah itu, ya," sinis Tara.

Adil, 54 tahun, dengan rambut keabu-abuan yang tidak pernah disemir dan wajah tegas bekas kerupawanannya pada zaman muda, menatap Tara penuh harap. Darah dagingnya yang hilang. Pelepas rindunya yang kembali. Apa yang bisa Adil lakukan supaya Tara mau menganggapnya Ayah? "Tara, papa akan lakukan apa saja, supaya kamu mau memaafkan Papa. Papa mau nebus dosa Papa."

"Apa aja?"

"Apa aja."

"Aku mau jadi anak satu-satunya. Aku mau punya keluarga utuh. Aku enggak mau punya saudara tiri."

Adil mengerti ingin Tara. Tapi, apa bisa? Membuang anak-anak dan istrinya? Ia menatap Tara mencari celah untuk melunakkan anaknya itu, tapi, ia tidak mendapatkan apapun selain.. kekeraskepalaan sekaligus keteguhan yang tidak terbantahkan. Adil bahkan tidak perduli saat menyadari asisten rumah tangganya jelas-jelas mencuri dengar. Kalau 21 tahun lalu ia melepaskan Luna, tidak kali ini.

***

"Mama," sapa Tara dengan ramah. Luna sedang memasak spageti di dapur saat Tara sampai. 

"Dari mana aja kamu? Sabtu kok seharian di luar? Pacaran, ya..."

"Mama mau tau aja," sahut Tara sambil tersenyum-senyum. Aura kebahagiaan benar-benar terpancar dari diri Tara. Seolah Tara sudah kembali. Tara yang extrovert sebelum mengetahui kebenaran tentang Ayahnya sudah kembali.

"Kamu enggak ngelamar cewek, kan?"

"Nope. Pacar aja gak punya." Malam ini, Tara akan memutuskan hubungannya dengan Adera. Dia akan menghancurkan perempuan itu sehancur-hancurnya. Dia akan melunasi semua yang direbut oleh Saka dan adik-adiknya. Tara akan mengambil alih semua haknya. Kasih sayang tanpa batas yang sudah sepantasnya ia dapatkan sejak pertama kali menangis di ruang melahirkan.

"Trus kamu kenapa senang banget gitu?"

"Aku dapat jackpot!" Tara mengumumkan dengan gembira.

"Kamu judi?" 

Cepat, Tara menggeleng. "Ini lebih menyenangkan dari judi, Ma," ucapnya sok tahu. Padahal seumur hidup ia tidak pernah berjudi kecuali taruhan dapat nilai paling bagus di kelas zaman SD dulu. 

"Kamu ngapain, sih, Tar?"

"Ini bukan hal kriminal kok, Ma," sahut Tara sambil mencium kening Ibunya, seolah membaca ketakutan Ibunya itu. "Mama tidur ya. Besok bakal jadi hari yang panjang."

[3/3] It's tomorrowWhere stories live. Discover now