4

7.8K 1.1K 107
                                    

Note: halo, untuk yang baca dari it's yesterday dan merasa bingung sama timeline waktunya "karena udah 20 tahun berlalu", nggak usah dipikirin ya. anggep aja waktu dan masa adalah fana. sekian.

--

Dari Lia, Adil memiliki tiga orang anak. Tiga orang anak yang seharusnya anak Luna karena yang ia bayangkan tiap bercinta dengan Lia adalah Luna. Jabarkan semua definisi brengsek, maka Adil akan dengan mudah masuk kategori sangat brengsek. 

Setiap nama anaknya memiliki jiwa Luna. Luna berarti bulan. Setiap nama anaknya akan memiliki hubungan dengan nama Luna. Saka Alistair artinya Penanggalan yang menyelamatkan manusia. Itu arti harafiahnya. Namun arti tersisipnya adalah: Luna yang menyelamatkan. Menjijikkan? Tunggu sampai kalian mengetahui arti dua nama anak lain. 

Adera Mahesa lahir dua tahun kemudian, Adera berarti kecantikan sementara Mahesa berarti Kekuatan atau keagungan. Arti harafiahnya adalah kecantikan yang agung sementara arti tersiratnya adalah kecantikan Luna sebab mahesa adalah perubahan dari kata Mahesi--penanggalan. Sama seperti Lunar dan Saka. 

Putri bungsu mereka menyusul nyaris dua tahun kemudian. Diberi nama Marsha Adrianna arti harafiahnya adalah bangsawan yang idealis. Tapi, kata Marsha sendiri berarti banyak. Marsha diambil dari kata Mars yang berarti dewa perang atau bulan maret pada kalender Masehi: Gregorius atau angka tiga yang berarti anak ketiga karena Marsha adalah anak ketiga yang terlahir di bulan Maret. Namun, arti nama Marsha Adrianna di dalam kepala Adil adalah peperangan yang akhirnya tak pernah Adil menangkan atas kepemilikan Luna.

Adil tidak mencintai Luna. Tidak lagi. Kini, ia memuja perempuan itu. Menanggapnya adalah kebutuhan ketiga setelah oksigen dan air. Tapi, kenyataan yang harus ia hadapi adalah ia tidak pernah berhasil mengenggam Luna secara utuh.

Di antara ketiga anaknya, anak yang paling Adil sayang sekaligus yang paling Adil benci adalah putra semata wayangnya: Saka. Saka adalah alasan terkuat Adil tak bisa meninggalkan Lia saat ia mengetahui Luna mengandung. Tapi, Saka adalah anaknya yang paling pantas diperlakukan seperti caranya memperlakukan anak Luna. Ia bisa menganggap Saka terlahir dari rahim Luna. Semua hutangnya untuk anak dari Luna yang tak pernah bisa ia berikan: mandi bersama, membacakan dongeng, mengajarinya naik sepeda, mengantarnya ke sekolah, ia bayarkan bersama Saka. Meski ia bahkan tidak pernah tau apa jenis kelamin anaknya yang dikandung Luna. Perempuankah atau laki-laki? Apa ia secantik Luna? Apa ia supel seperti Luna? Apa ia pintar di kelas? Atau anak itu malah mirip dirinya sendiri--penyendiri dan keras kepala? Adil tidak pernah mengetahui jawabannya. 

Tapi hari ini, seolah semua pertanyaannya terbayar. Ia menatap Tara. Menatap kekasih anaknya itu. Menatapnya seolah Tara adalah master piece yang paling ia tunggu. Tapi, dengan tololnya, Adil malah bertanya, "kamu ketemu Ayah kamu di mana?"

Adil tidak mau buru-buru. Bagaimana jika yang dimaksud Tara bukanlah dirinya? Lagi pula, secara fisik, lelaki muda di depannya ini tidak mirip sama sekali dengan Lunanya. Tapi, menurut Dera dan Lia, Tara mirip sekali dengan... dirinya.

Di antara semua anaknya, Adil paling tidak dekat dengan Dera. Dera seolah membangun tembok di antara mereka. Atau malah Adil yang secara tidak sadar membangun tembok di antara dirinya dan anak-anaknya? Entahlah. Yang Adil tau, Dera tak pernah menceritakan apa-apa padanya. Dan sorot matanya tidak menunjukkan hal yang sama seperti yang ditampakkan Saka maupun Marsha. Sorot kasih yang tampak di mata Dera tertutupi ketakutan. Padahal, seumur hidup, Adil tak pernah melakukan kekerasan pada anaknya itu atau anaknya yang lain.

Tapi, di suatu hari, Marsha pernah bercerita pada Adil, betapa Dera mengasihi Ayahnya. "Kak Dera sayang Papa, tapi dia enggak tau gimana cara nunjukinnya. Kak Dera pengen deket papa, tapi dia enggak tau mau mulai dari mana, Pa."

Adil menatap Marsha, tidak mengerti, "menurut kamu, kenapa Mbak menjauhi Papa, dek?" Dera memang mendapat panggilan Mbak, Saka mendapat panggilan Mas dan Marsha mendapat panggilan Adek. 

Marsha mengedikkan bahu. "Gak tau, Pa. Menurut Papa kenapa?"

"Papa juga gak tau."

"Pa, kemarin mbak cerita. Dia lagi deket sama cowok. Katanya, dia mirip papa."

"Apanya? Sikap? Muka?"

"Muka. Fisik. Pembawaan. Aku juga enggak pernah ketemu. Cuma, pas aku liat fotonya, dia lebih cakep dari Papa. Jauuuh. Kenapa Mbak bisa ngira dia mirip Papa, ya?"

"Mungkin Mbak selama ini nganggap Papa cakep."

"Papa pede."

Hari ini, kepingan puzzle itu seperti sebuah bumerang yang kembali menyerang dirinya. Menunggu waktu hingga tersatukan dan berubah menjadi sebuah gambar yang utuh. Sebuah gambar yang selalu ia idamkan dan akhirnya bisa menjadi nyata. 

"Saya enggak tau Papa saya di mana, Om." Sahutan Tara membuat Adil kembali ke realita. Membuat semua kenangan masa lalu di kepalanya terpecah dan membuat Tara kembali menjadi pribadi yang utuh di depan wajahnya.

"Mungkin saya tau," imbuhnya lagi. "Tapi, Mama saya enggak mengizinkan saya memberitahu ayah saya keberadaan saya. Mama saya bilang, kami harus menyadari kalau kami adalah pihak yang tidak diinginkan."

"Kenapa kamu bisa merasa kamu enggak diinginkan?"

"Kalau memang kami diinginkan, dia sudah mencari saya dan Mama saya dari dulu. Tapi, apa yang saya rasakan seumur hidup adalah kenyataan yang pahit. Tidak ada yang mencari saya. Tidak ada yang tiba-tiba datang dan memperkenalkan diri sebagai sosok Ayah. Yang ada hanya saya yang terus berdoa untuk bertemu dengannya."

"Gimana kalau dia mendoakan kamu juga? Gimana kalau dia mencari tapi tidak pernah ketemu?" Rasanya sesak. Sesak sekali. Kalau Tara memang benar anaknya, rasanya ia benar-benar melukai Tara sedalam itu. Rasanya, ia sedang ditusuk berkali-kali dengan samurai sampai berdarah. Bagaimana mungkin Tara dan Luna merasa tak diinginakan saat nama mereka tak pernah alpha Adil sebutkan di tiap doanya? Lebih sering dari intensitasnya menyebut nama istri, anak, saudari atau siapapun di Bumi bahkan dirinya sendiri. Hanya Luna dan bayinya yang tak pernah nyata.

"Saya sudah 21 tahun, Om. Sudah terlalu tua untuk percaya keajaiban bim-salabim macam itu. Badut sulap saja terakhir datang di ulang tahun saya yang ketujuh. 14 tahun lalu."

"Tara," panggil Adil. "Boleh saya ketemu Ibu kamu?"

"Buat apa?"

Adil terdiam. Ia tidak punya alasan yang cukup kuat. Satu-satunya yang dia inginkan adalah memastikan kalau Ibu Tara adalah Lunanya. Mimpinya. Bulannya yang selalu ia rindukan. Ia adalah punuk yang selalu merindukan Luna, sang Bulan yang tak akan teraih sekuat apapun ia berusaha. "Atau saya bisa liat fotonya?"

"Buat apa?" tanya Tara lagi. 

"Saya gak boleh liat kalau tanpa alasan?" tekan Adil.

"Enggak ada gunanya. Semua yang sudah hilang, tidak akan kembali. Semua yang sudah berlalu tidak bisa dipaksa datang. Mama saya sudah bahagia."

"Tara," Adil memanggil dengan hopeless. Tara benar-benar menekannya. Perasaan Adil meyakini Tara adalah anaknya. Anaknya yang dulu Luna bilang pantas ia kenal tapi tak pernah terealisasikan. Tapi, tanpa foto, bagaimana ia bisa menguatkan semua itu. Bagaimana ia bisa memastikan kalau yang ia lihat adalah anaknya?

"Saya suka nama saya," ujar Tara tiba-tiba. "Karena saya punya nama tengah dan belakang. Tapi, Mama saya enggak. Namanya cuma satu kata."

Adil terdiam. Luna. Luna tidak memiliki nama belakang atau depan atau tengah atau marga atau apapun. Hanya Luna. 

Tara melanjutkan, "Mama saya enggak benci namanya. Tapi, dia selalu membenci orang yang salah mengartikan namanya. Banyak yang menganggap nama Mama saya diambil dari Bahasa Latin artinya Bulan."

Degup jantung Adil berhenti. Luna. Bahasa Latin dari Bulan adalah Luna. Lunanya. Tara.. anaknya?

Tanpa memperdulikan perubahan ekspresi Adil, Tara melanjutkan, "tapi, arti nama Mama saya adalah 'kesungguhan', sesuatu yang nyaris selalu gagal ia raih."

Adil tidak bisa menahan dirinya lagi, ia terlepas dari kursinya, merosot ke lantai dan mencium kaki Tara, matanya basah, dengan penuh kesungguhan, ia mengucap, "papa minta maaf."

[3/3] It's tomorrowWhere stories live. Discover now